prolog

150 15 2
                                    

"Ibu enggak setuju kamu ambil seni. Nyari jurusan itu yang kerjanya jelas. Kamu pikir lagi, deh. Buat apa kuliah tinggi-tinggi kalau akhirnya jadi serabutan? Ibu juga enggak mau kamu jadi berandal, Nala." Sambil menggosok-gosok setrika pada seragam putih merah milik adikku, ibu melanjutkan kalimatnya, "Ingat adikmu, mereka masih kecil. Mending kalau ada bapak, tapi kan bapak udah enggak ada setahun lalu. Nala, kamu tuh satu-satunya harapan ibu. Harusnya kamu ngerti."

"Tapi, Bu. Nala kan suka gambar. Nala pengin banget jadi pelukis. Itu kayak udah bakat alaminya Nala." Aku merapatkan alis, tanganku sibuk memasang kancing seragam yang kedua.

"Nala, ini bukan soal bakat. Kalau kamu suka gambar, silakan, ibu nggak akan melarang. Tapi kalau sampai ambil kuliah seni, ibu nggak setuju. Kamu harusnya bersyukur ibu setuju kamu kuliah. Coba tanya sama teman-teman kamu. Banyak dari mereka yang pengin kuliah, tapi orang tuanya enggak setuju." Ibu untuk ke sekian kalinya mengusap keringat di dahi. Tak henti mencerocos sementara aku mengangguk-angguk.

Seminggu lagi penutupan pendaftaran tes tertulis masuk perguruan tinggi. Sementara aku perlu menimbang betul-betul jurusan dan universitas mana yang akan aku pilih. Kali ini aku memutuskan bilang pada ibu, memintanya berpendapat tentang aku yang ingin mengambil kuliah seni. Dan seperti dugaanku, ibu menolak keras.

Soal modal kuliahku, bapak berwasiat untuk menjual sepetak sawah warisan dari kakek. Sisanya aku akan bekerja paruh waktu. Bapakku seorang guru honorer di sekolah dasar. Gajinya sekadar cukup memenuhi sehari-hari kami. Dia sungguh tidak mau melihat kami yang seakan hidup segan mati pun tak mau. Dengan meletakkan tangannya di pundakku, bapak bercita-cita melihatku wisuda.

"Kecuali kamu kayak anak bibi, bisa kuliah gratis jalur nilai. Lagian kenapa, sih, kamu ngga ikutan?"

"Bukan enggak ikutan, tapi emang ngga bisa. Wong Nala engga masuk eligible. Nala juga enggak pernah masuk sepuluh besar. Ibu lupa, ya? Makanya kalau anak bagi raport itu hadir. Jangan sawah mulu yang dipikirin."

"Bersyukur, Nala, sebelum sawah itu dijual buat kamu. Kalau mau hadir, belajar dulu yang bener. Kan enak gitu kalau anak dipanggil pas juara satu, persis anak bibi. Jangan gambar mulu yang dipikirin, dikit-dikit gambar, dikit-dikit gambar, ada uang dikit, lukis." Ibu menggeleng, sialnya secara bertahap mulai mengeluarkan ulti.

"Oh ya, Bu. Tadi ibu bilang soal kuliah gratis. Kalau aku juga gratis, berarti bebas dong mau pilih jurusan apa, boleh dong coba ke seni?" Aku menemukan sedikit celah, menyerang balik.

"Ya, boleh, cuma, emang kamu bisa kuliah gratis?"

"Oke, besok sebelum Nala berangkat kerja. Kita selfie berdua dulu ya, depan rumah. Buat persyaratan beasiswa."

"Ngapain? Beasiswa apa? Emang bisa orang bodoh dapet beasiswa?"

"Bisa, namanya beasiswa miskin. Tenang, Bu, kita masuk kriteria utama."


.
.
.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 06 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Melukis Pelukis (new version of Erotomania)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang