2

150 19 0
                                    

Liu Yu sedang memakai masker ketika mendengar suara bel rumahnya berbunyi. Siapa lagi yang bertamu? Temannya Lin Mo lagi? Bersungut-sungut ia membuka pintu. Rupanya itu adalah Keyu, salah satu tetangganya. Ini bukan kali pertama dia ke sini, atau yang lain. Tapi semua itu bukanlah masalah bagi Liu Yu. Ia punya banyak cara untuk menyingkirkan mereka semua.

"Maaf, Tuan. Saya mau protes. Anak Anda mencoret dinding rumah saya lagi, bisakah Anda ikut bertanggungjawab? Saya tidak bisa menemukannya, jadi saya kemari."

"Bentar, saya ambil uang dulu. Omong-omong, panggil nyonya saja. Hm, panggilan nyonya rumah ini terdengar bagus juga." Liu Yu merogoh saku celana. Sudah rutinitasnya mengganti biaya perbaikan dinding tetangga.

Sementara Keyu tidak habis pikir kenapa seorang laki-laki mau dipanggil nyonya. Kabarnya, Liu Yu memang aneh sejak ia pertama kali datang ke sini. Bukan hanya dia, seluruh warga di kompleks ini juga sudah tahu tabiatnya yang satu itu. Penampilannya memang tidak seperti perempuan, masih seperti laki-laki pada umumnya. Selain itu, dia terlihat sangat muda. Keyu lebih curiga bahwa dia memakai susuk.

"Ini bukan masalah uang, Tuan."

"Nyonya, bukan Tuan. Lalu mau minta ganti rugi apa? Kalau biaya perbaikan, saya bisa memberikannya." Liu Yu berkacak pinggang. "Lin Mo itu masih anak-anak, saya tidak mau menghalangi dia berkarya."

"Berkarya di rumah tetangganya?" Tanya Keyu balik dengan nada kesal. "Saya ingin agar Lin Mo tidak mengulangi perbuatannya."

"Hmm, oke, deh." Liu Yu mengangguk saja. Ia berjalan ke arah Keyu dan memberikan segepok uang yang tadi ia cari. Keyu berusaha menolak, tetapi Liu Yu justru terjatuh ke arahnya.

"Anda baik-baik saja, Tuan?"

Liu Yu berbisik di dekat telinganya, jemarinya meraih bahu pemuda itu. "Kalau kau tidak mau ambil uang ini, apa aku harus membayarnya dengan tubuhku, hm?"

Wajah Keyu langsung berubah warna seperti tomat. Buru-buru ia mendorong Liu Yu agar tidak lagi mengatakan hal aneh. Tangannya mengambil uang dari Liu Yu dan berkata gugup. "T-tidak! Aku akan ambil ini saja. Terima kasih!"

Keyu pergi membawa uang ganti rugi. Liu Yu tertawa pelan. "Dasar anak muda, begitu saja sudah K.O. ...

... Ah, maskerku!"

                              ***

"Santa, kau ada ide gak untuk kontenku selanjutnya?"

"Tidak tahu, Riki. Aku tidak begitu mengerti dengan media sosial."

Rikimaru sedang nongki di gerobak bakso milik temannya, Santa. Mereka berdua adalah teman sejak Rikimaru yang kelaparan di jalan diberi semangkuk bakso gratis oleh Santa. Keduanya memiliki hubungan yang baik sampai saat ini, Riki bahkan sering mempromosikan bakso Santa.

Chikada Rikimaru adalah selebgram yang cukup terkenal. Ia datang ke kompleks ini karena sedang pindah rumah. Sebenarnya, kompleks ini juga tidak begitu wah. Tapi karena itulah Riki kemari. Ia ingin mencari kesederhanaan dalam hidup, seperti kata Ustadz Cakbo yang kebetulan pernah ceramah di lingkungan lamanya.

"Abang! Tolongin kami!"

Patrick dan Lin Mo berlari menuju gerobak bakso Santa—plus Nine yang masih diseret. Mereka tampak terengah-engah. Santa sudah hapal kelakuan adik-adiknya dan juga teman mereka yang bernama Lin Mo itu.

"Kalian ini, sudah abang bilang. Jangan suka bikin mural di rumah tetangga."

Riki bertanya. "Tapi aku heran, kenapa tetangga gak pernah protes? Pak RT juga diam saja????"

Santa juga tidak tahu. Selama ini ia terlalu sibuk berjualan bakso hingga tidak mengawasi perkembangan adik-adiknya sepulang sekolah. Meski Nine dan Patrick nakalnya amit-amit jabang bayi, semua orang tidak pernah datang padanya untuk protes.

"Itu karena mamanya Lin Mo!" Seru Patrick. "Dia itu Medusa!"

"Hush, jangan ngejek orang tua!" Pesan Santa. Sejak kapan adik-adiknya jadi tidak berbudi begini? Ia benar-benar harus meluangkan waktu untuk mengawasi mereka!

"Memang Medusa, om jangan ke sana pokoknya. Nanti kaya Nine." Lin Mo justru mendukung pernyataan Patrick. Riki dan Santa melihat Nine masih konslet.

"Kalau dipikir, aku belum pernah melihat mamamu, Lin Mo." Ujar Riki. "Dia kerjanya apa, sih?"

"Mama pemain e-sports." Lin Mo menjelaskan.

"Oh, mamamu pinter main game, ya? Terus papamu?" Tanya Riki penasaran. Dia termasuk penghuni baru kompleks ini, rasanya tidak salah jika ingin tahu tentang orang-orang di sini, 'kan?

"Papa aku ... " Lin Mo menunduk. "Aku gak punya papa."

"Eh, maaf ... aku tidak bermaksud ... " Riki merasa bersalah karena menanyakan hal sensitif.

"Tidak apa, om. Saya sudah biasa ditanya begitu."

"Pasti sulit membesarkanmu sendirian ... nanti abang boleh kasih bakso buat mama kamu, Lin Mo? Sekalian sebagai tanda terima kasih karena sudah membantu Nine dan Patrick."

Santa jadi merasa tidak enak karena selalu mama Lin Mo yang mengurus masalah adiknya. Ia juga harus melakukan sesuatu.

"Boleh-boleh aja, sih, om. Mama bisa makan semua makanan." Sahut Lin Mo. Seingatnya, mamanya memang tidak punya alergi.

"Oke, deh. Abang buat baksonya dulu, ya."

"Jangan, bang! Nanti abang jadi kaya Nine!" Patrick mencegahnya. "Tapi kalau ngotot, tolong pakai kacamata, bang! Ini penangkal ampuh! Beli di aku sekarang diskon lima puluh persen!"

Santa sweatdrop.

Kompleks ChuangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang