BUK! BUK! BUK!
“Dasar anak haram!”
Seluruh tubuhku terasa remuk. Aku menyeringai. Bahkan rasa seperti ini sudah terasa nikmat bagiku. Darah mengucur dari pelipis dan ujung bibirku.
“Kalau kau berulah lagi, aku tak akan segan-segan menyiksamu.” Lelaki itu pergi dengan menggebrak pintu kamar.
“AHAHAHAHA.” Aku sudah tak bisa menahan tawa lagi. Dia berkata seolah-olah tak pernah berperilaku kasar padaku. Lantas yang barusan itu apa bukan penyiksaan? Atau dia tak sadar telah melakukan penyiksaaan? Hei ini bukan pertama kalinya dia melakukan itu padaku.
Diluar terdengar suara orang berbisik. “Kau memukulnya lagi?”
“Biar saja.”
“Bagaimana kalau Ibu tahu?”
“Ibu tak akan datang secepat itu. Besok dia juga akan sembuh.”
Hening sejenak.
“Apa yang kau lakukan?!”
“Aku ingin mengobatinya! Aku takut jika Ibu menemukannya dengan kondisi seperti itu.”
Terdengar suara derit pintu. Seorang perempuan masuk, dia adalah kakak perempuan tiriku. Aku membuka mata perlahan, samar-samar aku bisa melihatnya mencoba memapahku, menidurkanku di atas ranjang dan mulai mengobati. Begitulah rutinitas yang dilakukan saat Ibu dan Ayah tiriku pergi.
“Harusnya saat mereka pergi, kau pergi saja.” Gumam perempuan itu. “Tidur di rumah temanmu misalnya.”
Aku tahu itu. Dia selalu mengatakan hal itu. Mereka semua memang berniat membuatku meninggalkan rumah ini. Kakak laki-laki tiriku dengan cara memukuliku, kakak perempuan tiriku dengan berbicara seolah-olah dia peduli padaku, dan ayah tiriku yang bahkan selalu melihatku seperti seonggok sampah. Mungkin hanya Ibu harapanku satu-satunya yang bisa membuatku bertahan sampai sejauh ini.
Sejauh ingatan yang tersimpan, Ibu selalu memperlakukanku seperti anaknya yang lain. Kata saudara tiriku, aku adalah anak hasil selingkuhan Ibu. Dan itu terbukti benar saat aku bertanya pada Ibu sendiri. Dengan mata berkaca-kaca, dia mengangguk mengiyakan nasib pahitku itu.
Aku juga sedikit lega mendengar kenyataan itu. Aku jadi tahu alasan kakak laki-lakiku sangat membenciku. Aku tahu alasan kakak perempuanku saat memberiku makan dengan porsi yang lebih sedikit dibanding yang lain. Aku tahu mengapa Ayah tak pernah berbicara padaku bahkan tak pernah menegurku sekalipun.
“Tapi kau tetap anak Ibu.” Kata Ibu membesarkan hati.
Pernah sekali Ibu membawaku ke tempat Ayah kandungku. Aku menginap disana selama beberapa hari, menginap di neraka itu. Ayahku itu seorang pemabuk, kerjanya hanya terus menerus berjudi. Jika kalah judi, dia akan melampiaskannya padaku, memukuliku, menghajarku. Hampir setiap hari dia kalah judi.
Suatu hari Ibu berkunjung untuk melihat keadaanku, saat melihat tubuhku babak belur, dia langsung membawaku lagi.
Aku tidur meringkuk. Diluar sudah gelap. Baru saja kakak perempuan tiriku datang membawakan makanan dengan porsi seperti biasa namun sampai saat ini makanan itu belum kusentuh sama sekali. Bukan karena ingin memberontak, hanya saja tubuhku tak kuat bahkan hanya untuk mengangkat sendok.“Nak…” Suara yang amat kukenal, menyentuh lembut telingaku. Membuat kesadaranku kembali.
Mataku perlahan terbuka. Pemandangan pertama yang kulihat adalah raut wajah Ibu.
“Ibu… sudah… datang…?”Ibu mengangguk. “Kakakmu memukulimu lagi ya?” Ibu berusaha keras untuk tersenyum.
Aku menggeleng. Bukan karena takut, hanya saja aku tak ingin memperburuk suasana keluarga ini. Disini, aku hanya dianggap sebagai benalu bagi mereka.
“Ibu sebenarnya sudah tahu. Sejak dulu.” Suara Ibu bergetar, dia lembut membelai rambutku. “Maafkan Ibu…”
Aku hanya diam menatapnya.
“Ibu… tak bisa berbuat apa-apa lagi. Maafkan Ibu, ini semua kesalahan Ibu tapi kau yang terkena imbasnya. Ibu benar-benar minta maaf.” Ibu sudah tak dapat membendung lagi air matanya. Dia memelukku, tangisannya pun pecah.
Aku hanya bisa diam sambil menunggu tangisannya reda.
“Ibu pesan makanan?” Teriak kakak perempuanku dari luar.
Segera Ibu mengusap air matanya. “Iya. Bawa kemari.”
“Buat apa Ibu pesan makanan malam-malam begini?” Bisik kakak perempuanku yang bahkan masih bisa kudengar samar-samar.
“Buat adikmu, dia belum makan apapun. Makanan yang kau beri itu sudah dingin.” Ibu segera mengambil makanannya dan menutup pintu kamar. Dia tersenyum menatapku. “Ibu suapin ya.”
Jika ada sesuatu yang bisa menggambarkan Ibu, bagiku dia bagaikan malaikat. Ibu setiap hari merawatku sampai semua luka sembuh. Saat aku bertanya mengapa dia tak bekerja, Ibu menjawab Paman yang menggantikan Ibu untuk sementara.
“Kita mau kemana?” Kami pergi menaiki kereta.
Ibu tersenyum. “Jalan-jalan. Bukankah kau tak pernah menaiki kereta sebelumnya?”
“Apa tak apa, tak mengajak kakak-kakakku?”
Ibu menggeleng. “Tak apa.”
Kami menghabiskan waktu seharian berkeliling kota yang tak pernah kukunjungi sebelumnya. Kata Ibu ini adalah Ibukota. Taman hiburan, kebun binatang, museum, bangunan bersejarah, semua lengkap disini. Aku semakin bersemangat saat mengunjungi bioskop. Film yang diputar di layar lebar dengan volume besar. Sensasi itu belum pernah kurasakan sebelumnya. Aku hanya pernah mendengar teman sekolah perempuanku bercerita.
“Tadi seru sekali.”
Ibu lagi-lagi tersenyum. Senyum yang belum pernah kulihat sebelumnya. “Kau senang?”
“Tentu saja.” Jawabku cepat.
“Syukurlah.”
“Apa kita akan pulang? Sudah sore juga.”
Ibu menggeleng. “Ada satu tempat lagi yang harus kau kunjungi.”
Aku bersorak riang dalam hati. Saat itu juga aku ingin waktu berhenti, agar aku bisa merasakan kesenangan itu lebih lama lagi. Di dalam perjalanan, aku bertanya-tanya tempat seperti apa yang akan Ibu tunjukkan padaku. Setelah sekali lagi menaiki kereta dan bus, hari sudah gelap, mataku sudah sayup-sayup.
“Kita sudah sampai, Nak.” Ibu mengembalikan kesadaranku.
Kami turun di sebuah bangunan besar. Karena gelap, aku tak bisa membaca tulisan besar diatas bangunan itu. Kami akhirnya berjalan mendekat. Seorang satpam menyambut hangat Ibu, dia mengantarkan kami untuk masuk lebih dalam. Saat tiba di depan pintu masuk, aku baru bisa membaca tulisan itu.
Aku terpaku, menatap Ibu yang sedang berbincang dengan pemilik bangunan itu. “Ibu…”
Mata Ibu sudah berkaca-kaca, dia memelukku. “Mulai sekarang, kau akan tinggal disini, Nak. Di panti asuhan ini. Ibu benar-benar minta maaf.” Ibu beralih menatap pemilik panti asuhan. “Saya titip anak saya.”
“Dengan senang hati, Hana.” Pemilik panti itu menggandeng tanganku. “Kau punya banyak teman disini.” Dia tersenyum menatapku.
Aku masih terpaku dengan semua yang terjadi begitu cepat. Padahal tadi aku masih bisa merasa senang, berpikir bahwa masih banyak tempat di dunia yang harus kukunjungi sebelum kehidupan berakhir. Lalu sekarang seakan-akan aku terkena pukulan bola telak. “Ibu…”
Ibu memelukku erat-erat sambil menangis sebelum dia meninggalkanku, pergi begitu saja. Bahkan aku tak sempat bertanya apakah dia akan mengunjungiku lagi atau tidak.
Jika ada seseorang yang bertanya hal apa yang paling kuinginkan, mungkin dulu aku masih belum bisa menemukan jawabannya. Namun jika sekarang aku diberi pertanyaan itu, mungkin aku sudah punya jawabannya. Sesuatu hal yang paling kuinginkan adalah mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta untuk Langit dan Bumi
RomanceKisah tentang langit dan bumi yang meskipun sama luasnya, namun tak dapat bersatu. Angkasa adalah anak hasil perselingkuhan ibunya. Dia dibenci banyak orang. Kekerasan dan pembullyan yang sering dia dapatkan membuatnya ingin mengetahui alasan untukn...