Saat cinta sesederhana secangkir kopi dan cerita tentang hari ini.
Find someone who knows your coffee order, it's enough to me.
***
Yana masih tidak habis pikir.
Sahabat yang ia kenal paling cantik, pintar, kaya dan ramah itu harus melabuhkan hatinya pada seseorang dengan level yang jauh darinya. Sudah menjadi idaman setiap orang memiliki kekasih dengan paras menarik, yang setiap kali melihatnya membuatmu tidak bisa memalingkan wajah pada yang yang menarik lainnya.
Yana masih ingat kejadian sore minggu lalu, di tempat ini juga. Saat itu, ia yang masih harus menunggu pacarnya, hanya bisa menatap sahabatnya bersama sang kekasih duduk di depannya, memakan sepotong cupcake sambil mengaitkan kedua ujung kelingking mereka. Sialnya hal itu mengganggu Yana yang entah mengapa terlihat romantis.
Sesekali wanita berkacamata dengan beberapa bekas jerawat di pipinya itu merapikan rambut kekasihnya yang berantakan karena kipas angin Cafe yang diputar kencang, sambil bercerita dan saling melepas tawa. Lagi-lagi hal itu membuat Yana mendadak mules karena iri.
Suara lonceng pintu menghapus lamunan Yana, matanya bergegas melihat pintu, berharap menangkap sosok yang dinanti, tapi sayang kenyataan tidak sesuai harapan. Ia melirik jam dinding Cafe, lalu mendengus kesal karena selalu dibuat menunggu setiap janjian untuk double date.
"Kenapa?"
Yana memberengut kesal, bibirnya manyun beberapa senti, menggemaskan. "Capek kalau harus nunggu tiap janjian, Del. Bedak gue selak habis."
Della sahabat Yana yang juga menunggu kekasihnya tersenyum. "Bukan salah pacar kamu juga."
"Kok lo malah belain Geni sih?"
"Ya kan Geni udah bilang kalau dia nggak bisa sabtu ini, lembur. Tutup buku tiap bulan, kan?" Della melihat Yana sesekali bergantian dengan ponselnya.
Yana menjatuhkan pipinya ke meja. "Iya sih."
"Seharusnya kamu bersyukur Geni masih mau usahain datang."
Yana hanya berdehem panjang, tidak mau berdebat karena hal itu sama sekali tidak membuatnya menjadi lebih sabar. Jadwal kosong Yana dan Geni memang jarang ketemu, sehingga sering membuat salah satu dari mereka harus menunggu setiap membuat janji.
"Eh, Del. Tapi tumben deh pacar lo telat? Biasanya dia selalu nunggu, terus udah nyiapin aja apa yang lo suka tanpa harus lo bilang."
Della tertawa tanpa suara, matanya masih sesekali fokus pada ponsel dan Yana bergantian. "Erni hari ini sidang tesis, sore baru selesai. Kalau udah siap, ntar dia juga langsung ke sini."
Mulut Yana membulat. "Udah S2 aja pacar lo ya, Del. Hebat." Hanya direspon anggukan oleh Della.
Suasana pun kembali hening. Jika Della masih terus sibuk dengan ponselnya, Yana justru lebih memilih memandang pintu sambil berharap kekasihnya datang membawakan sesuatu karena lebih sering membuatnya menunggu. Namun sekali lagi, kenyataan sangat jauh dari harapan. Geni yang terkenal pelupa sering melewatkan hal-hal kecil yang penting dalam sebuah hubungan. Meski tidak masalah bagi Yana, tapi hati kecilnya berharap Geni bisa sedikit lebih romantis kepadanya, walau hanya sebatang cokelat.
Yana melirik Della saat suara tawa Della terdengar olehnya. "Bahagia banget kayaknya, Mba?"
Della menoleh dengan wajah yang mampu membuat sakit gigi siapapun yang melihatnya. "Kenapa?"