Berbeda Arah

20 3 0
                                    

Yang berawal pasti akan berakhir. Keabadian sangat sulit ditemukan. Apalagi jika ditentukan oleh dua insan yang katanya satu hati, tapi berbeda arah tujuan.

Sabda dan Naraya sudah berjalan bersama sejak tiga tahun yang lalu. Namun, kata manis bukan lagi penyelamat untuk sekedar saling bertahan.

"Kita udahan aja, Sab."

Sabda bergeming sejenak saat mendengar kata pertama yang Naraya ucapkan sejak mereka berdiri berhadap-hadapan di depan ruang sekre.

"Loh, kenapa, Nar? Aku ada buat salah?"

"Sejak awal kita emang gak bisa bareng. Tujuan kita beda. Aku capek selalu memaksakan diri untuk memahami jalan pikiran kamu."

"Tapi, kenapa kamu gak bilang dari awal? Tiga tahun ternyata kamu cuma main-mainin perasaan aku, Nar?"

"Nggak gitu. Awalnya, aku berharap kalau seiring waktu, kita bakal berada di tujuan yang sama. Tapi, ternyata gak ada yang berubah."

Sabda mengacak rambutnya dengan kasar. Ia tidak akan pernah mengelak jika ditanyai apakah ia sayang Naraya atau tidak. Justru Sabda akan berseru sekeras-kerasnya kepada dunia bahwa hanya Naraya yang boleh menetap dalam hatinya.

Namun, ternyata gadis itu hanya sekedar singgah, mengguratkan luka, lalu pergi.

"Kamu serius, Nar?"

Naraya menghembuskan nafasnya dengan mata yang memburam. "Untuk urusan hati, aku gak pernah bercanda, Sab. Aku pamit. Maaf kalau perpisahan kita bakal meninggalkan kesan yang buruk."

Sabda hanya menunduk, menahan setitik air yang berdesakan di ujung matanya. Sementara Naraya sudah berbalik sambil mengusap kasar air matanya.

Hari ini, mereka sama-sama terluka.

***

"HAH?! LO PUTUS SAMA SABDA?!"

Naraya menempelkan sebelah pipinya pada meja kantin, membiarkan Lia yang terus-terusan heboh.

"DEMI APA, NAR?! LO PADAHA---"

"Sttt, Lia! Jangan keras-keras!" tegur Yuna sambil sesekali menepuk-nepuk pelan punggung Naraya, berusaha menenangkan.

Lia berdeham. "Lo padahal cocok banget sama Sabda. Kenapa lo tiba-tiba mutusin dia?"

Naraya tidak langsung menjawab, melainkan menyangga dahinya di atas kedua telapak tangan. "Gue gak mau semakin nyakitin Sabda. Dia cowok yang baik dan gue gak pantas buat dia."

Lia dan Yuna saling berpandangan sejenak. "Dengan lo mutusin secara tiba-tiba gini, bukannya malah tambah nyakitin, ya?" tanya Lia.

Yuna mengangguk, mengiyakan. "Sabda bisa aja berpikir bahwa dia cowok yang buruk dan gak bisa bikin lo nyaman. Ujung-ujungnya dia bakal trauma buat memulai sesuatu yang baru dengan orang yang berbeda, Nar."

"Lo berdua ngerti gak? Justru gue mau menghentikan diri gue biar gak semakin jauh berjalan bareng dia. Gue gak mau dia semakin lama, semakin berharap lebih," jelas Naraya dengan nada frustasi.

Rasa sesak di dadanya semakin menjadi. Padahal ia sudah berlatih semalaman agar tidak menitikkan sedikitpun air mata. Namun, raga dan perasaannya seakan menolak untuk dikendalikan.

"Lo ... terluka, Nar?" tanya Lia dengan wajah cemas. Naraya yang ditanya begitu terlihat menggeleng lemah.

"Gue gak tau."

***

Seumur hidup, Sabda belum pernah jatuh sedalam-dalamnya. Hanya Naraya yang bisa menarik segala pusat perasaan yang Sabda punya. Gadis itu seakan menenggelamkannya ke dasar palung hati agar tidak dapat berpaling kepada siapapun.

Sabda, Naraya, dan Makna Pelangi [Lee Haechan]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang