Bunga Kita yang Layu

9 0 0
                                    


Semilir angin menerbangkan daun jati kering. Berterbangan senada dengan lantunan ayat-ayat suci Alqur’an dari Masjid Pesantren.  Aku duduk di bawah pohon jati, akarnya begitu besar sampai-sampai menjadi tempat duduk ternyamanku tiap kali murojaah hafalan Alqur’an sembari menunggu teman dekatku setor hafalan Alqur’an.

Dari kejauhan aku melihat sosok menjulang tinggi bersarung dan berpeci. Di tangannya terdapat kitab kuning yang ditempelkan di dada. Aku tersenyum malu padahal sosok itu tak melihatku. Kualihkan pandangan mataku ke atas langit yang gelap bertabur bintang. Derap langkah seseorang mendekatiku, ku kira sita, ternyata sosok menjulang tinggi yang tadi kupandangi dari kejauhan. Dia kupanggil Mas Fakhri, salah satu pengurus pesantren yang sekarang ku singgahi.
“ Belum pulang?” Tanyanya dengan suara lembut. Aku malu bercampur senang. Mungkin pipiku merah bersemu.
“ Belum Mas” Jawabku dengan pandangan mata yang masih ke bawah. Aku lebih fokus pada sandal jepit hitamnya yang besar, demi megalihkan kegugupanku.
“ Jangan kelamaan di bawah pohon, nanti kesambet engga betah di sini. Mas kesepian nanti kalo kamu engga ada di sini”. Mendengar itu, Aaah aku ingin loncat-loncat saking girangnya. tapi aku sadar diri. Setelah itu Mas Fakhri pamit, katanya dipanggil sama Abah Yai. Dasar, sempat-sempatnya menemuiku disaat Abah Yai memanggil. Abah Yai adalah Pimpinan Pesantren Alhikam. Tidak heran Mas Fahrilah yang selalu dipanggil, kata mbak-mbak Pengurus, Mas Fahri masih ada hubungan keluarga dengan Abah Yai.
“ Sal, Yuk wangsul. Aku engga jadi setoran. Ada tamu di ndalem” . Entah sejak kapan Sita sudah berdiri di sampingku. Wajahnya berubah kusut. Pantas saja, jika mala mini Ia tidak setoran, maka besok malamnya dua kali lipat.
“ Yaudah ayo pulang”. Dengan tidak rela Aku bangkit dari duduk ku yang nyaman ini. Di perjalanan menuju asrama putri, Aku dan Sita membicarakan siapa tamu Abah Yai. Aku jadi bermonolog dalam diam tanpa mengajak Sita. Pikiranku sepenting apa dengan kehadiran Mas Fakhri di ndalem Abah Yai. Ah, mungkin saja memang berhubngan dengan pesantren, jadi wajar saja jika Mas Fakhri terlibat.
Namaku Salma, setiap malam sepulang ngaji kitab Nurul Yaqiin, Aku ditugaskan membimbing Santriwati kelas satu SMP belajar bahasa Arab. Terkecuali malam Jum’at, karena di malam Jum’at seluruh Santri diwajibkan mengikuti amalan sunah pembacaan Barzanji di Masjid. Tempat pojok dengan bersandar tembok adalah tempat favoritku ketika malam Jum’at di Masjid. Masjid sangat ramai dengan alunan Barzanji dan tabuhan Hadroh. Santri putra dan putri disekat dengan kain panjang berwarna hijau.
Malam ini adalah malam Jum’at. Aku dan Sita terlambat mengikuti pembacaan Barzanji, akibatnya Aku dan Sita duduk di bagian paling belakang Masjid yang tirai sekatnya tidak ada. Sebenarnya malu, tapi mau bagaimana lagi, kalau absen ada hukumannya. Aku fokus saja ke depan, untuk menoleh ke bagian putra terlalu takut dan malu.
Pembacaan Barzanji telah usai. Baru saja Aku dan Sita ingin bangkit dari tempat duduk, seorang Santri putri berdiri di depanku.
“ Mbak Salma, punten dipanggil sama Ka Fakhri. Ditunggu di bawah pohon jati samping ndalem Abah Yai”. Aku linglung sebentar, merasa tidak asing dengan wajah perempuan di depanku. Apa mungkin dia adik Mas Fakhri, wajahnya begitu mirip, bagaimana cara dia masuk ke Masjid. Dia bukan santri sini.
“Mbak Salma, Hai” Tanganku dipegang tangan perempuan di depanku. Aku canggung.
“ Eh, Enggih, matur suwun Mbak” Kataku tersenyum. Aku langsung pergi meninggalkan masjid.
Bukannya pergi, perempuan tadi mengikutiku di belakang. Tangannya sibuk memandangi gawai warna merah muda. Aku dan Sita diam dalam perjalanan. Aku menoleh ke belakang lagi, dan perempuan tadi masih di belakang kami. Dia tersenyum, langkahnya dipercepat, kini berdampingan dengan ku. Aku di tengah-tengah antara Sita dan perempuan tadi.
“ Maaf baru kenalan, tadi aku bingung ngawalinnya, jadi langsung main sapa Mbak ajah. Aku Fitri Mbak, adik Ka Fakhri, Kita seumuran”. Dia tersenyum sembari mengulurkan tangannya menyalamiku.
“ Aku Salmah, pantas wajahnya enggak asing Mbak, oh ya jangan panggil Mbak, kan kita seumuran” Kataku tersenyum sembari menyambut uluran tangannya. “ Oh ya, ini Sita, teman dekatku” Aku memperkenalkan Sita pada Fitri. Mereka bersalaman, tersenyum ramah.
Di dalam perjalanan, aku hanya tersenyum dan mengangguk mendengarkan cerita tentang Mas Fakhri dari Fitri. Perasaanku campur aduk, memikirkan pantas atau tidak jika hanya berduaan di bawah pohon jati dengan Mas Fakhri.
Sampai di tempat, Mas Fakhri belum menyadari kehadiranku. Tingkahnya sama seperti Fitri tadi sebelum berkenalan. Mas Fakhri sibuk dengan gawai di tangannya. Prinsipku masih sama dari dulu, Aku tak akan menyapa duluan. Aku merasa menjadi ratu dengan siapapun.
“ De, tadi adiknya Mas, Namanya Fitri. Mas merasa lebih cantikkan kamu disbanding dia”. Matanya beralih menatap ke arahku sambil memasukkan gawai di saku bajunya.
“ Eh” Aku tersenyum, mendapatkan keberanian untuk menatap matanya. Matanya tajam seperti mata elang tapi terlihat teduh menggemaskan seperti kucing.
“Mas ada apa?”. Aku tidak mau lama-lama berduaan dengannya. Langsung saja menanyakan maksudnya.
“ Mas kangen sama kamu, boleh kan?”. Jawabnya masih dengan tatapan ke arahku.
“ Mas, Mas enggak takut ketahuan Abah Yai?”. Tanyaku was-was sambil melirik ke arah ndalem Abah Yai.
“ Enggak usah khawatir, Mas udah izin ko. Abah Yai mah baik sama Mas”. Masih saja bercanda, kesalku. Aku masih diam, menundukan pandangan, memandangi daun jati yang kering.
“ Mas mau berangkat ke Yaman. Kamu mau ikut?”. Pandanganku kembali ke matanya, ada raut wajah yang berbeda di sana. Bukan senyum lagi yang ditampakkan, namun mata yang sendu dan bibir yang tersenyum sederhana.
“Kapan Mas?”. Tanyaku dengan suara hati-hati.
“Minggu depan”. Jujur aku terkejut, secepat itu dia berangkat. Mungkin aku memang bukan siapa-siapanya, sampai-sampai Akulah orang yang terakhir mendapatkan informasi keingiannya ke Yaman.
“Oh selamat Mas, hati-hati di jalan. Semoga ilmunya berkah”. Kataku berusaha tenang.
“Maaf, Mas baru ngabarin sekarang. Mas belum siap sebenarnya. Kamu ikut yah?”
“Mau ngapain ikut Mas?”. Tanyaku tersenyum dengan nada suara bergetar.
“Hidup bareng, tapi kita nikah dulu” jawabnya masih dengan bibir tersenyum dan mata berair.
“Aku masih kecil Mas, Aku belum lulus sekolah. Mas silakan nikah sama yang lain aja”. Kataku sembari tersenyum, Aku menatap langit gelap, taka da bintang dan rembulan di sana. Berusaha menahan air mata karena takut air mataku tumpah.
“Mas becanda, Kamu jaga diri yah, tunggu Mas pulang”. Tangannya terulur ke depan, aku mundur dua langkah ke belakang. Tangannya seperti mengelus kepala namun yang dielus hanya udara di depan.
“Mas engga boleh ngelus kepala kamu, jadi Mas ngelus udara ajah”. Tangannya masih bergerak mengelus-elus ke depan dengan pandangan mata ke arahku. Aku ingin menangis, entah kehilangan, kecewa atau apa.
“Mas waktunya udah habis, Ayah udah nelpon tiga kali ini”. Fitri dan Sita datang menghampiri kami. Aku bersyukur masih bisa menahan bulir air mataku sedari tadi.
“Mas pamit ya, sampai jumpa di masa depan”. Mas Fakhri benar-benar pergi, badannya tidak berbalik ke arahku. Aku memandanginya dari belakang, berharap Mas Fakhri menoleh ke belakang dan tersenyum. Akhirnya air mataku lolos, tangan kanan Sita menggenggam tanganku, sedangkan tangan kirinya mengelus pundakku. Dia tidak berkata apa-apa, tapi langkah kakinya membawaku pergi meninggalkan pohon jati.







Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 08, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bunga Kita yang LayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang