02-PERIH

1.5K 175 131
                                    

hello
-
-
-
happy reading💗

Jeri jemari tangannya bergerak, menggoreskan pena dikertas putih bersih, Alaska Kinanta Ravindra sedang menggambar sosok wajah lelaki yang ada dibingkai foto, itu ayahnya. Ayah Alaska meninggal saat dirinya masih berusia tujuh tahun. Alaska Mengambil dan mengusap bingkai foto tersebut dengan perasaan rindu yang tak bisa terobati. Aliska mengingat memori-memori bersama ayahnya dulu, saat ia bermain dengannya.

"Rindu yang paling menyakitkan adalah rindu kepada orang yang sudah tiada, karena tak ada kesempatan untuk bisa bertemu lagi, walau hanya sekedar mengatakan rasa rindu itu." Alaska mengusap wajahnya, karena tak terasa air matanya keluar terus membasahi pipinya.

Lalu, ia melanjutkan menggambar nya. Dari kecil Alaska sangat suka menggambar, bakat yang ia miliki diturunkan oleh almarhum ayahnya, dari sifatnya, bentuk wajah, dan kepintarannya pun sangat mirip sekali.

Setelah menyelesaikan gambaran nya, Alaska mengambil album usang, yang ia simpan di atas lemari, itu merupakan pemberian dari sang ayah saat hari-hari terakhirnya. Tangannya membuka halaman demi halaman, terdapat banyak sekali foto Alaska dengan Aliska, saat masih kecil.

Nama Alaska dan Aliska hampir sama, karena orang tua mereka berdua bersahabat, dan hal itu sudah direncanakan jauh-jauh sebelum mereka lahir, untuk memberi nama buah hatinya yang mirip-mirip. Harapannya supaya mereka berdua bisa bersahabat dengan baik, seperti orang tuanya.

Sesudah melihat album itu sampai akhir, Alaska berjalan ke arah ranjang, lalu merebahkan tubuh tegap nya ke atas kasur yang empuk, dan memejamkan matanya, sesekali ia membukanya menatap langit-langit kamar. Namun, yang terlintas dibenak nya wajah manis milik Aliska.

"Gue sayang banget sama lo Liska, gue nggak mau lo sampe sakit, biar gue aja," ucap Alaska, sembari menaruh lengannya ke atas mata yang tertutup.

🥀

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun, Aliska masih saja berkutat pada buku novel yang saat ini ia sedang baca. Setelah belajar tadi, bukannya ia langsung tidur, tapi malah mau menyelesaikan bacaannya terlebih dahulu.

Aliska sangat suka mengkoleksi novel, sampai-sampai kamarnya sudah seperti perpustakaan yang dipenuhi dengan buku-buku dirak. Setiap Minggu ia pasti akan membeli buku baru untuk stok bacaannya, katanya sehari tanpa buku, hidup terasa sepi tak berwarna. Maka dari itu ia selalu sedia buku-buku novel, untuk memberi warna pada hidupnya.

Walaupun kisah hidupnya, bertolak belakang dengan novel bacaannya, dengan kehidupan yang begitu indah. Tapi bersama novel Aliska dapat merasakan bagaimana kehidupan yang bahagia, tanpa tekanan.

Cklek...

Bunyi gagang pintu kamar terbuka, menampakkan papah Aliska yang sedang berkacak pinggang di ambang pintu, lalu berjalan ke arah Aliska yang sedang membaca novel di atas ranjang.

"Kenapa baca buku novel, buku pelajarannya nggak punya ya?" tanya papahnya.

"Udah pah, tadi Aliska udah belajar," jawab Aliska dengan sabar, agar tidak tersulut emosi.

"MAU JADI APA KAMU, SETIAP HARI KERJAANNYA HALU MULU, MAU JADI GILA KAMU!" bentak sang papah, lalu Aliska langsung menutup novel dan membuangnya asal, menenggelamkan kepala serta tubuhnya ke dalam selimut, menahan sesak di dadanya.

"POKOKNYA KAMU HARUS JADI DOKTER, KALAU NGGAK DOKTER PAPAH NGGAK ANGGAP KAMU SEBAGAI ANAK."

"BUANG JAUH-JAUH CITA-CITA KAMU JADI PENULIS. KERJAANNYA CUMA MENGKHAYAL," lanjutnya.

Sesak di dada Aliska semakin kuat, tangan kecilnya meremas selimut dengan keras, menahan emosi yang bergemuruh, ia tak berani menyuarakan isi hatinya. Jika bersuara, tetap tak akan didengar oleh orang tuanya. Jika kebanyakan anak seusia nya itu merancang masa depannya sendiri, tapi tidak dengan Aliska ia harus menuruti tekanan dari orang tuanya, yang membuat batinya tersiksa setiap hari dan setiap saat.

Kemudian sang papah berjalan ke arah meja belajar Aliska, sorot matanya tertuju pada kertas soal yang ada di atas meja tersebut, dengan tulisan nilai 50 sontak saja papah nya mengambil kertas itu dengan emosi yang bergemuruh.

"KENAPA BISA SEPERTI INI ALISKA?" tanya papah dengan suara yang keras, sembari membuka kuat selimut yang Aliska kenakan.

"Ma-maaf pah, Aliska nggak tahu kalau ada ulangan harian," jawab Aliska dengan suara bergetar ketakutan. Kini ia bangun dan duduk menyender pada papan ranjang, serta kaki yang ditekuk, kedua tangannya merangkul kuat lututnya, untuk melampiaskan rasa takutnya.

Benar saja ketakutan pada waktu itu, terjadi malam ini, ia dimarahi karena nilai ulangan fisika nya yang jelek. Ya, hasilnya sudah dibagikan ketika jam istirahat kedua. Bu Sri guru tercepat dalam mengoreksi jawaban dari anak muridnya.

"HARUSNYA KAMU BISA! ALASKA DAPAT NILAI BERAPA?"

Aliska tak menjawabnya, terus memalingkan wajahnya dari sang papah ke arah samping. Matanya sudah berkaca-kaca, tak kuat membendung air matanya, dan menetes. "Se-semmbilan puluh lima," ucapnya memberanikan diri.

"APA?! KAMU ANAK MACAM APA, NGERJAIN 20 SOAL SAJA NGGAK MAMPU, BEGO!"

"KALO PAPAH BISA PILIH. PAPAH AKAN PILIH ALASKA YANG JADI ANAK PAPAH, BUKAN KAMU!" lanjutnya penuh penekanan.

"YAUDAH, ALISKA JUGA NGGAK MAU PUNYA ORANG TUA KAYA PAPAH," balas Aliska dengan suara keras, karena tak tahan lagi dengan sang papah yang terus membandingkannya.

"BENAR-BENAR ANAK NGGAK BERGUNA!" bentak papahnya, sembari menampar pipi kanan Aliska, tanpa rasa kasihan sedikitpun atas perlakuan dirinya terhadap anak perempuannya, lalu ia melenggang pergi keluar dari kamar Aliska.

Aliska terisak-isak dalam tangisnya, kini yang sakit bukan hanya hatinya, tapi pipinya juga terasa panas dan sakit. Ini bukan pertama kalinya Aliska mendapat perlakuan keras dari orang tuanya, tetapi rasa perih di dadanya tetap tidak dapat dibohongi.

drtt... drtt...

Tangis Aliska berhenti saat ada panggilan masuk dari Alaska, ia cepat-cepat menghapus air matanya. "Shht aw!" rintih Aliska ngilu, lalu ia mengangkat telponnya.

"Hallo," ucap Alaska, dari seberang sana. Dirinya terus memikirkan Aliska, jadi ia telpon saja, toh biasanya Aliska juga belum tidur karena masih belajar.

"Hallo, kenapa Laska?" tanya Aliska, seraya menahan tangisnya.

"Nggak. Lo kenapa Lis?" tanya Alaska balik.

"Lis, Lis, Lis, nama gue bukan Lilis!" bantah Aliska tak terima dipanggil dengan sebutan itu.

"Maksud gue bukan Lilis, tapi geulis," goda Alaska.

Tanpa sadar bibir tipis Aliska membentuk senyuman kecil. "Aw!"

"Kenapa? lo nggak habis dimarahin kan? apa jangan-jangan..." Alaska menjeda ucapannya sebentar. "Dipukul lagi," lanjutnya.

Tangis yang sedari tadi Aliska tahan, tak dapat ia tahan lagi, tangisnya kini semakin kencang, meluapkan rasa perih yang menyayat hatinya. Alaska yang ada disembarang telpon membiarkan Aliska menangis dulu, supaya bisa mengungkapkan isi hatinya lawat tangisan.

"Sudah ya, jangan nangis lagi. Nggak apa-apa didalam rumah belum bisa menghargai jerih payah lo, tapi ingat di luaran sana pasti banyak yang bangga sama lo, termasuk gue. Gue bangga sama lo. Perempuan terkuat di bumi itu, cuma lo dan bunda gue, nggak ada yang lain," ujar Alaska, berusaha memberikan ketenangan walau hanya sebatas lewat suara saja.

Hanya Alaska yang tahu bagaimana tak mudahnya menjadi seorang Aliska, hanya Alaska yang tahu bagaimana kondisi dan suasana rumah Aliska, dan hanya Alaska yang bisa menjadi penenang saat Aliska sedang tidak baik-baik saja.

"Istirahat ya, besok lo bisa ceritain semuanya ke gue. Gue akan selalu ada buat lo." Setelah mengucapkan itu Alaska menutup telponnya sepihak. Kemudian Aliska menidurkan kembali kepalanya ke bantal, ia mulai memejamkan matanya dan tertidur.

~TBC~

Tunggu kelanjutan cerita antara Alaska dan Aliska ya...
Sampai jumpa di bab selanjutnya💗

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ALAISKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang