menghamburkan tabungan kebahagiaan

48 10 0
                                    

Aku ... senang.

Senang. Riang. Gembira. Bahagia.
Bukankah kalimat itu nyaris tak pernah kusebutkan? Apalagi dengan aku sebagai subjek yang menyandangnya. Apalagi dalam buku ini, sebuah tempat sampah yang isinya tak lebih tak kurang hanya sambatku tentang kehidupan. Tentang bagaimana aku merasa sebagai standar kenormalan yang mau tak mau tersingkir dari cerita utama kehidupan.

Persetan dengan semua itu, tapi sungguh, kali ini untuk pertama kalinya aku menulis dengan senyum terpartri dan bukannya air mengalir. Rasanya tenang dan bersemangat? Aku tak pandai mendeskripsikannya, tetapi aku begitu bersemangat, hingga barangkali kalau aku ingat letak pensil warnaku kala sekolah dasar, buku ini sudah kuhias warna-warni.

Mungkin mengherankan, karena aku kemarin yang menulis buku ini dengan begitu ogah-ogahan, tiba-tiba menulis dengan menyatakan rasaku terang-terangan dengan riang. Nanti kuceritakan. Bukan nanti yang lama, seharusnya. Sehabis ini, setelah tiba pada antreannya dalam jaringan-jaringan otakku yang sibuk terhubung.

Jujur aku sedikit bingung dari mana aku memulai cerita tentang mengapa aku begitu girang. Seperti yang kusinggung, otakku malah sudah begitu sibuk hendak membahas ini dan itu, makin kontras dengan tulisan pada halaman sebelumnya yang aku bahkan harus memutar otak dan memilih diksi sedemikian rupa untuk menggenapkannya hingga tiga ratus kata.

Sepintas di balik sensasi menyenangkan dalam diriku, ada sedikit rasa curiga pada semesta. Harusnya kutahan sedikit diriku hingga tidak tampak begitu tenggelam dalam euforia. Bukannya apa-apa, selapis rasa takut mulai menggerayangiku, mengingat bila bahagia bisa membludak, ia bisa surut, habis, atau menghilang begitu saja sebagaimana semesta senang mempermainkan manusia, terlebih Lee Chaeryeong yang sedang menulis dalam tempat sampah batin miliknya di meja belajarnya.

Aku terpikir seandainya bahagia itu layaknya sebuah tabungan, yang bisa disimpan dan digunakan secara irit, sedikit demi sedikit sambil mengisinya sehingga tak akan ada hari yang begitu suram atau begitu bahagia. Semuanya sedang, terstruktur, dan berkelanjutan. Lalu aku saat ini seakan sedang menghambur-hamburkan tabungan kebahagiaan dengan tersenyum sambil menghubungkan cabang-cabang pikiran, bahkan belum sampai topik utama yang hendak kuceritakan. Setelahnya mungkin saja tabungan kebahagiaanku itu benar-benar kosong, bahkan tak ada sedikitpun jaminan yang dapat dikembangkan untuk mengisi ulang kebahagiaanku hingga aku harus menjalani hari-hari sialan nan menyebalkan, lagi.

Ini mengingatkanku pada sebuah paham atau semacam kepercayaan akan adanya hal buruk yang terjadi setelah kebahagiaan. Apalah namanya, lupa. Nanti akan kutulis di bawah, bila ingat. Ia akan mengambil antrean di belakang cerita utamaku hari ini, bila sempat. Dan ya, aku tidak menganut paham entah-apa-namanya itu, hanya saja sedikit curiga.

Buru-buru kupotong semua ranting pemikiran panjang yang menghinggapi kepalaku yang sedang direndam serotonin ... atau dopamin. Sebentar, atau endorfin? Entahlah, aku benci istilah biologi. Kembali ke yang hendak kusampaikan, alasan dari kebahagiaan yang membuncah dan kutumpahkan saat ini.


Aku menjadi orang yang lebih baik.


Jika kau bertanya "dalam hal apa?", jawabnya adalah dalam beberapa aspek yang sering kurenungkan. Tentang bagaimana berantakannya diriku, tentang rusaknya jam tidurku, tentang rupaku yang biasa saja, tentang pelarianku yang melulu di situ saja. Aku berubah, dan aku senang melihat diriku sendiri yang tertidur sebelum jam sebelas malam, atau tangan kakiku yang langsung awas pada debu di sekeliling dan reflek membersihkan, dan berbagai hobi baru yang kucoba, dan diriku yang meninggalkan dunia maya.

Ya, aku salah satu pelaku dalam dunia maya. Meski benar, dapat ditebak kalau di sana aku juga bukan pemeran utamanya. Hanya figuran yang terlupakan dan terbuang. Kapan-kapan akan kuceritakan, dan tentu bukan di halaman ini, karena kisah itu menyebalkan dan hanya akan menyia-nyiakan tabungan kebahagiaan yang kugunakan hari ini. Janji, akan kutulis lain waktu.

Kembali pada topik senang-senang, sedikitnya aku merasa bangga pada diri sendiri, meski pencapaian-pencapaian itu tak lantas menjadikanku pemeran utama dalam cerita karangan semesta. Dari sini, aku  dapat melihat progresku. Sebuah progres kecil-kecilan yang jelas bukan milik para pemeran utama di luar sana yang sedang susah payah menghadapi klimaks dalam kisahnya. Ini lebih seperti sebuah progres seorang figuran yang menjadi motivasi bagi pemeran utama untuk turut berprogres hingga mengalahkan si figuran, mendobrak kenormalan.

Biasalah, nasib seorang figuran.




(Omong-omong, yang kusebutkan tentang "kepercayaan akan adanya hal buruk yang terjadi setelah kebahagiaan" di atas ternyata bukan sebuah paham atau kepercayaan. National Geographic—tempat ku mencari informasi—menyatakan bahwa hal ini adalah suatu kondisi mental yang ditandai dengan kecemasan atau ketakutan untuk merasa bahagia karena mereka merasa bahwa kebahagiaan akan membawa kesialan. Kondisi ini disebut cherophobia.)

pemeran utama; lee chaeryeongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang