1. Orang Tua

8 2 0
                                    

"Nilai matematikamu benar-benar bagus, Ayah rasa kamu bisa masuk ITB." Pria dengan perawakan lenih tua menatap setiap kolom pada map bercotak batik. Tatapannya yang tetap tajam namun menunjukkan kecerdasan pada waktu bersamaan saat melihat matanya.

"Nilai dengan rata-rata Sembilan, cukup membanggakan. Kau bisa keluar sekarang. Belajar yang benar, alu dapatkan beasiswa penuh." Si muda masih tetap menunduk. Berencana mundur perlahan sampai sang ayah kembali berucap.

"Kurangi kegiatan yang tidak perlu, Seperti acara lukis-lukismu. Itu hanya mengurangi waktumu untuk belajar." Yang baru saja berusaha mundur tadi mendadak kaku, untuk kesekian kalinya ayahnya melarangnya untuk berhenti mekukan kegiatan tercintanya. Rasanya Renjun ingin menghujatnya.

Pria muda yang sebentar lagi menginjak Sembilan belas tahun itu hanya menatap sekilas tubuh ayahnya yang terduduk di kursi nyamannya, mengangguk, lalu pergi begitu saja ke dalam kamarnya.

Menatap sekilas baju SMA yang masih bersih, bergantung di samping lemarinya. Fokusnya tertuju pada pin berwarna perak polos dengan tulisan 'OSIS' tepat di bawah namanya, menjadi bukti bahwa perjuangannya menjadi anak untuk investasi masa tua orang tuanya baru saja di mulai.

Merebahkan tubuh pada tempat tidurnya, menghela nafas pada setiap memori yang datang dalam pikirannya. Rasanya Renjun menangis, rasanya sungguh sakit. Dia ingin berteriak pada semua yang dia terima.

Meninggalkan mimpinya untuk menjadi seorang pelukis. Memfokuskan diri agar saat dewasa nanti dia pergi bekerja dengan memakai dasi dan jas hitam untuk pergi ke 'kantor'.

Tidakkah orang tuanya menyadari bahwa dia tidak ingin menjadi budak 'perusahaan'? Rasanya dia ingin mengamuk di hadapan orang tuanya, Tapi teriakan yang menusuk telinganya kembali berkumandang.

"Kamu tidak mengerti rasa sakit yang kami alami renjun!"

Kalimat dengan satu tarikan nafas, yang membuatnya diam saat ingin melawan.

Ya, mau bagaimana lagi. Menjadi anak tunggal dan hidup dalam keluarga yang pas-passan. Orang tua mana yang tidak ingin masa tuanya menjadi menyedihkan.

Memang sesedih itu, terkadang mereka menyuruh anaknya mengerti tentang mereka, tapi mereka lupa untuk mendengar setiap kesedihan dan kesulitan anaknya. Miris.

Matanya mulai memerah, air mata yang terus turun secara perlahan membuat baju berkerah tingginya menjadi basah, membiarkan dadanya sesak karena dirinya menangis tanpa suara.

Dia mendadak rindu bagaimana rasanya menjadi bocah berumur emapat tahun dulu. Saat dia berulang tahun, lalu ibu dan ayah memberinya hadiah yaitu septu roda berwarna kuning kesukaannya. Rasa pelukan dan kalimat sayang yang diucapkan orang tuanya. Menjadi salah satu dia bertahan di rumah ini.

Untuk menemukan senyuman yang kini hilang tertutup nasib dari masalah bernama ekonomi dan lingkungan sosial.

Renjun memang berusaha, walau dia hanya mendapat tatapan sekilas dari ayahnya dan senyum tipis yang begitu singkat dari ibunya.

Tapi setidaknya Renjun berusaha kan?

Renjun yang terbaring di tempat tidurnya menatap cermin yang berada di pojok kamarnya. Pantulan wajahnya terlihat di sana. Ekspresi menyedihkan dari rasa lelah dan bukti bahwa dia butuh istirahat.

Bermonolog dalam hati sambil menatap wajahnya. Menunduk dan menghela nafas dalam keadaan mata tertutup. Hingga satu kalimat terucap dari bibirnya yang kering dan dan terkelupas.

"Apa saat aku menjadi dewasa, aku akan seperti mereka?"



To Be Continue... 

[Huang Renjun]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[Huang Renjun]

Mereka membuatku berpikir untuk tidak menjadi orang tua.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 10, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Wishing (Renjun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang