1. Aku dan si menyebalkan

77 12 7
                                    

Sumbatan earphone hijau mint di pendengaranku sukses menjejal bisingnya pengunjung bercampur alunan musik yang tak terputar laun.

Sore itu, coklat panas berhasil menyelinap masuk kedalam kerongkongan. Hujan yang belum berkesudahan membuatku masih bertengger di atas kursi dengan meja bundar di pojokan.

Tampak lalu lalang muda-mudi maupun sepasang keluarga melenggang masuk sekadar berteduh memesan beberapa menu seraya bersenda gurau.

Aku merengut sebal. Sendiri di sudut kafe tak lantas membuatku beranjak. Hanya coklat panas yang nyaris habis dan piring pasta yang tak lagi tersisa dan terakhir koneksi wifi. Cukup menjadi dalih mengapa aku enggan angkat kaki dari sini. Sementara tetes hujan kian deras tak kunjung reda.

Pengunjung di ambang pintu sana nampak menyeringai, agaknya lantaran tak ada lagi kursi dan aku masih berdiam damai memenuhi lapak. Padahal jika mereka hendak duduk pun tak apa, toh tiga kursi di depanku masih tak berpenghuni dan aku bersedia bungkam agar mereka tidak terusik. Ya, katakan saja aku orang yang tidak mau peka.

tuk...tuk...tuk

"Lima puluh lima menit, bisa lo balik dari sini?"

Aku mendongak, ketukan jari dengan tempo lambat jelas kentara di meja bundar ini.

Satu remaja lelaki ber-hoodie hitam ditemani kedua teman berkemeja SMA lepek di sampingnya yang menatap keheranan. Kutatap balik sekilas, lantas kembali merunduk fokus dengan gawaiku. Masa bodoh.

Iya. Aku dengar apa katanya meski disumpal earphone terus terang tak cukup menulikan dengan jarak dekat ia bicara. Entah etika seperti apa yang diaplikasikan dalam hidupnya.

"Kayaknya lo budeg." Si cowo ber-hoddie menyambar ponselku yang masih tersemat earphone di sana. Memasukan benda pipih bersama untai alat pendengar itu ke saku celananya.

Aku terngaga begitu kedua benda itu dirampas tanpa permisi. Menggeleng pelan, ada rasa tak percaya sebenarnya, mengapa spesies songong seperti ini yang disisakan untuk bertemu denganku?

Menghela napas panjang sebelum akhirnya aku berujar, "Apa-apaan nih? Punya kuasa apa lo di kafe ini?" Dengan nyalang menatapnya.

Sudah kubilang kan, jika hanya sekedar duduk menyantap menu, silahkan saja. Aku tidak akan merecoki acara makan mereka. Tapi pria asing ini tetap tidak mau mengerti tindak-tandukku yang sedari tadi acuh tak acuh.

"Lima puluh lima menit lo sibuk gak ngapa-ngapain di sini."

Aku berkerut dahi pertanda heran. Siapa lelaki ini? Mengapa bisa menguntitku sampai-sampai menghitung tiap detiknya? "Lo mata-matain gue? Lo stalker? Ah iya, apa mungkin lo fans gue?" Cercaku.

Ia menatap remeh, menyingsingkan senyum menyeringai. Lantas menyahut seruanku, "Waktu gue lebih berharga daripada mata-matain manusia individualis kayak lo. Gue yakin lo ga punya responsif yang baik. Buktinya lo lebih milih jadi manusia egois ketimbang ngasih lapak lo ke orang yang ada di luar sana. Keluar." Katanya berseru gemas. Tekanan katanya terujar frontal beruntung tak serta-merta mengundang minat khalayak banyak.

"Ngusir secara halus gak bisa? Gak diajar-"

"Gak bisa. Tapi bisakan lo keluar sekarang?" Tetiba sanggahan cepat menahan titik lidahku. Lagi-lagi si cowo berkulit sawo matang itu menyahut tak etis. Tabiat yang membuatku geleng kepala kini.

"Manusia gak jelas, gue katain jin juga lama-lama." Cibirku yang nyaris tak terdengar sembari membenahi beberapa tumpuk kertas yang sejak tadi tak minat kusentuh.

"Gue denger." Aku mendelik sinis, kukira ia tak dengar.

Tak ingin bicara banyak, adu argumen yang tak berbobot ini memang seharusnya segera diberi finis. "Gak akan beres ngomong sama orang yang gak mau ngalah." Kontan aku menggaet totebagku, lekas mengayun langkah besar berjalan pulang bersama perasaan jengkel yang masih terpatri.

***

Rintik hujan enggan berhenti dipukul 17.20 ini. Percikan demi percikan terasa lebih dingin dari sebelumnya mengenai buku jari yang sedari tadi memayungi indera penglihatanku.

Aku menggerutu mengingat lelaki tak tahu adab dengan sekehendaknya mengusirku yang tengah berpangku tangan menikmati wifi sekaligus bernaung di kafe itu dari lebatnya hujan.

"Cowo bedebah! Gak lagi gue ketemu dia. Huft mana lupa hp gue masih nyantol di sakunya awas aja kalo sampe diloakin gue pites tuh pala. Ck, apes banget gue nangkring di sana!" Aku yang tak henti bersungut-sungut.

"Kalo Gajah Mada bisa Sumpah Palapa, gue bisa sumpahin tuh cowok ketiban kelapa! Auu!"

Perih di ujung kaki menghentikan langkahku di trotoar jalan, aku merintih walau tak terlalu terasa sakitnya. Pantas saja, luka lecet di sana bukan tanpa sebab. Rupanya ada hal yang tertinggal, kaus kaki. Benda itu seringkali lupa kupakai. Tapi ternyata tak bisa dibuat remeh.

Kaki kiriku memang kerap kali menjadi imbas rasa nyeri, karena sebelumnya ada luka bekas tancapan paku dan peniti di sana. Kendati begitu, kulepas kedua sepatu hijau toska yang di bawahnya terdapat namaku, meletakkannya sementara di bahu jalan tempatku duduk kini.

Bahaya sekali jika hanya satu yang kupakai, bisa mendapat label gila aku dari sekitar pengguna jalan yang lalu lalang.

Sengaja aku tidak berehat di halte bus, semilir angin berbaur dengan dinginnya atmosfer membuat lambat-laun turut kurasakan sensasi damai di bawah deru hujan. Diantara serba-serbi perkara bumi yang silih berganti.

***

Saya gak pandai basa-basi, tapi terimakasih untuk kalian yang menyempatkan waktu untuk baca tulisan ini. Kurang lebihnya maaf, karena saya hanya penulis amatir. Farewell! Take care of u n stay safe guys!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 20, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Laras Bahasa RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang