Rara terkekeh, "Ya, bisa jadi begitu. Kamu bisa saja dimakan hewan buas! Kan di hutan banyak hewan buas."
"Kalau Donia dimakan sama hewan buas, kamu juga harus melakukan hal yang sama!" sahut Brandon kepada Rara. Semua orang terkejut, termasuk Rara yang langsung melongo.
"Kok aku harus melakukan hal yang sama dengan Donia?" tanya Rara, nada paniknya semakin jelas di suaranya. Wajahnya tampak pucat mendengar ucapan Brandon, sementara Ryan terlihat bingung.
"Maksud kamu apa, Brandon?" Ryan bertanya, tidak mengerti dengan pernyataan itu.
"Melakukan hal yang sama dengan Donia? Emang Donia melakukan apa?" tanya Ryan, kepalanya sedikit miring, tampak bingung.
"Ryan, kamu bodoh atau apa sih? Masa hal seperti itu saja nggak tahu!" suara Arvin melengking, penuh rasa kesal. Dia menatap Ryan dengan tatapan yang tak percaya, seolah-olah temannya itu baru saja mengucapkan sesuatu yang luar biasa absurd. Arvin menggeleng pelan, mencoba mencerna betapa ignorance-nya Ryan dalam memahami lelucon sederhana dari Brandon.
"Kejam sekali kau, Arvin!" balas Ryan, nadanya tak kalah kesal. Dia melipat tangannya di dada, matanya memicing menatap Arvin. "Aku seriusan nggak tahu maksudnya ucapan Brandon! Jangan asal ngomel saja!" tambahnya, kali ini dengan raut wajah yang lebih serius.
Arvin hanya mendengus pelan, sementara Ryan terus saja bertanya, "Emang Donia melakukan apa? Apa maksudnya Rara harus melakukan hal yang sama dengan Donia?" Dia benar-benar kebingungan. Tapi bukannya menjawab, semua orang di ruangan itu justru diam, tenggelam dalam kesibukan masing-masing seolah-olah Ryan tak ada di sana.
"Hei, kenapa kalian semua diam? Maksud Brandon itu apa sih? Donia melakukan apa? Kenapa Rara harus ikut-ikutan?" Ryan masih terus bertanya, suaranya semakin lantang, tapi tetap tak ada respons. Ia memandang ke sekeliling ruangan dengan putus asa, menatap satu per satu wajah teman-temannya yang tampak sibuk dengan hal-hal remeh, seperti memainkan ponsel atau melamun.
Hening terus menggantung hingga akhirnya Daniel, yang sedari tadi hanya memperhatikan sambil menahan tawa, memutuskan untuk angkat bicara. Dengan langkah santai, dia mendekati Ryan yang masih bingung. Dia menepuk pundak Ryan perlahan, menarik perhatian temannya itu.
"Maksudnya itu begini," Daniel mulai menjelaskan, suaranya tenang seperti guru yang sedang mendidik murid paling lambat di kelas. "Kalau Donia dimakan hewan buas, berarti Rara juga harus dimakan hewan buas. Kau paham sekarang?" jelas Daniel, mencoba menjelaskan dengan cara yang paling sederhana.
Ryan memiringkan kepalanya, matanya menyipit sedikit. "Dimakan hewan buas? Apa-apaan ini?" gumamnya pelan, sebelum akhirnya matanya melebar. Setelah beberapa detik mencerna kata-kata Daniel, sesuatu tampaknya mulai klik di kepalanya. Namun, bukannya merespons dengan wajar, dia malah berteriak histeris.
"BRANDON GILA! BAGAIMANA BISA KAU BERPURA-PURA MEMBUAT RARA MELAKUKAN HAL YANG SAMA SEPERTI DONIA?!" Suaranya menggema di seluruh ruangan, mengejutkan semua orang yang sedari tadi berusaha mengabaikannya.
"AKU TIDAK SETUJU, KALAU KAU MEMAKSA KEKASIHKU MENGALAMI HAL YANG SAMA!" lanjut Ryan, tangannya mengepal, matanya penuh kemarahan.
Semua orang di ruangan itu menoleh, sebagian menahan tawa, sebagian lagi hanya menatapnya dengan bingung. Daniel, yang berdiri di samping Ryan, menghela napas panjang sebelum melayangkan tangannya ke kepala Ryan.
"Pletak!" Suara jitakan itu terdengar keras, memecah keheningan sesaat.
"Ssst! Jangan teriak-teriak di rumah sakit! Emangnya ini rumah sakit punya nenek moyangmu?!" tegur Daniel tajam, tatapannya menusuk Ryan yang kini terdiam, meringis sambil memegang kepalanya.
"Hei, sakit tahu!" protes Ryan sambil mengusap-usap jidatnya yang nyeri.
Daniel hanya memutar matanya, malas menanggapi. "Ngapain teriak-teriak? Ini rumah sakit, bukan hutan!" balasnya dengan nada datar.
"Biarin!" Ryan menjawab singkat, masih kesal sambil mengerucutkan bibirnya. Dia merasa hari ini sudah cukup menyakitkan, baik secara fisik maupun emosional, tapi sepertinya tak ada seorang pun yang peduli.
"Pletak!" Untuk kedua kalinya, Daniel menjitak kepala Ryan. Kali ini lebih keras dari sebelumnya.
"ASTAGA, DANIEL!" Ryan hampir melompat dari kursinya, wajahnya memerah karena campuran marah dan malu. "Bisa nggak sih jangan jitak-jitak terus? Sakit tahu!" protesnya, mencoba mengusap-usap jidatnya yang kini terasa panas.
Daniel hanya menatapnya datar, lalu kembali ke kursinya seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Sementara itu, tawa pelan mulai meletup di sudut ruangan. Satu per satu, mereka yang tadinya diam mulai tertawa terbahak-bahak, tak kuasa menahan kelucuan situasi. Ryan, yang masih kesal, hanya bisa mendengus sebal. Tapi, dalam hatinya, ia tahu ia juga tak bisa menahan senyum kecil.
Daniel hanya mengacuhkan ucapan Ryan, tampak tidak peduli dengan cowok yang berada di sampingnya itu. Ryan pun baru menyadari bahwa dia belum mengenal Daniel dengan baik.
"Tunggu," sahut Ryan tiba-tiba.
"Kamu siapa?" tanyanya sambil menunjuk jari telunjuknya ke arah Daniel. Semua orang di ruangan langsung tertawa mendengar pertanyaan Ryan. Betapa lucunya, dia bahkan tidak tahu siapa Daniel, orang yang sudah menjitaknya dua kali.
Bersambungg...

KAMU SEDANG MEMBACA
Benang Merah Brandonia [TAMAT]
RomanceBrandon terang - terangan menyukai Donia, tapi saat hubungan mereka mulai tumbuh, Brandon tiba- tiba pergi ke luar negeri tanpa kabar. Bertahun - tahun kemudian, saat hampir lulus kuliah, ia kembali masih dengan rasa yang sama, dan satu harapan semo...