Dari Mata Marsha

21 0 0
                                    

Jam tangan menunjukkan pukul 07:58. Marsha berlari terburu-buru menyeberangi selasar gedung, mengejar kelas pagi yang dua menit lagi hampir dimulai. Selasar yang seharusnya sudah sepi karena para mahasiswa dan dosen sudah memasuki kelasnya masing-masing, menjadi ramai dengan langkah lari Marsha. Kalau hari ini Marsha terlambat, jatah bolos di kelas itu tinggal satu, padahal masih ada sepuluh pertemuan lagi. Marsha lari tanpa melihat sekitar dan hampir menabrak tiga orang sebelum sampai ke depan pintu kelasnya. Marsha, seorang mahasiswi semester enam yang kelakuannya masih seperti mahasiswi semester satu. Kesiangan dan terlambat kelas.

Marsha masuk. Kelasnya sudah setengah penuh, sisa barisan kursi paling depan yang masih kosong. Kursi dosen kosong. Maudy, sahabat Marsha bingung melihat temannya. "Lo lari pagi dulu sebelum kelas?" "Ah, bawel." Lama-kelamaan kelas semakin penuh, dan dosen pun datang. "Tau gini gue gausah lari 5K dulu sebelum kelas," ketus Marsha.

Kuliah berjalan lambat. Seakan-akan waktu berjalan sangat lambat. Pak Dosen menjelaskan materi dasar-dasar penulisan penelitian, materi yang Marsha sangat tidak suka dan sangat membosankan. Sialnya, kelasnya wajib diambil kalau ingin lulus jadi sarjana. Hampir semua penjelasan dari Pak Dosen tentang bagian-bagian dalam pendahuluan terdengar seperti lagu pengantar tidur bagi Marsha. 

"Marsha, tolong jawab pertanyaan nomor dua!" tanya Pak Dosen. Marsha yang setengah sadar pun langsung terbangun dan panik. Dia bertanya ke Maudy, "Soalnya yang mana, Mod? Panik gue." Bulir-bulir keringat dingin menetes di pipinya. Namun, belum sempat Marsha mencari soal, seseorang mengangkat tangan dari belakang. "Saya saja, Pak!" sahut Ario. Sontak, Marsha kaget. Ada suara laki-laki berteriak dari belakangnya. Namun, kekagetan Marsha tak lama berubah menjadi rasa lega ketika pertanyaan yang ditujukan untuknya ternyata dijawab Ario. Huft.

Kelas selesai. Kelas dua setengah jam serasa dua setengah tahun bagi Marsha. Setelah disiksa, saatnya makan. Mereka berdua langsung lari ke kantin. "Bu, pesen soto ayam ya. Pake kerupuk. Minumnya es teh manis. Gapake lama ya, Bu,"  ucap Marsha. "Samain aja, Bu," kata Maudy yang tidak mau repot memesan makanan. Tak lama kemudian, makanan mereka datang. Acara makan siang yang sakral berubah jadi acara gosip dan gibah.

"Si Ario tuh kenapa sih, dia caper ke dosen ya? Tiba-tiba sok-sokan mau jawab gitu," tanya Marsha. "Eh, gitu-gitu dia nyelametin lo tau. Harusnya lo bilang makasih sama dia. Makasih ya Ario udah nyelametin gue dari Pak Dosen, hahaha," cela Maudy sambil tertawa. "Ih apaan sih lo Mod, najong banget ngomong gitu, apaan banget," ketus Marsha. "Duh gue ga demen banget deh materi kuliahnya, ga masuk di otak." Sebagai mahasiswi, Marsha sangat tidak menyukai pelajaran yang disampaikan di perkuliahan. Entah karena salah jurusan, atau memang kapabilitas otak Marsha yang tidak sampai, pokoknya dia tidak menikmati perkuliahannya.

Sebaliknya, Marsha anaknya sangat musikal. Sebagai anak musik yang baik dan benar, dia mengikuti band di fakultasnya, dan orkestra di tingkat universitas. Alatnya, the one and only, keyboard, alat yang sudah dimainkan oleh Marsha sejak SMP. "Eh cuy, gue cabut dulu ya. Mau nge-band. Gue udah ditelponin terus sama lain. Bye, Mod," kata Masha. "YAHHH, gue sendirian dong. Tega amat sih," kata Maudy mengeluh.

Marsha pun berjalan setengah berlari menyusuri jalan arah pintu keluar kantin. Tak jauh dari kantin, ada sebuah bangunan kecil berwarna biru yang mungkin bagi non-penduduk fakultas (mahasiswa) itu dikira gudang. Tapi bangunan kecil itu adalah studio musik, tempat Marsha bermain keyboard hampir setiap hari. "Wey, Sa tumben jam segini udah dateng hahaha," tanya teman bandnya Marsha. "Lagi pusing, bro. Langsung lah kita jamming!" ajak Marsha. 

*****

"Okay class, sesuai silabus kelas, UAS kelas ini akan berbentuk paper penelitian. Kalian bisa lanjutin proposal penelitian kalian yang sudah kalian buat untuk UTS atau kalian ganti topik. No problem. There are no minimum pages, but make it as best as you could for sake of your final score," kata Pak Dosen. Hawa dingin seketika melewati badan Marsha, membuatnya bergidik. Nilai proposal penelitian yang dibuatnya untuk UTS sangat pas-pasan dan waktu membuat proposal tersebut pun Marsha tidak terpikir bagaimana dia akan mengerjakan sisanya. Bahkan pakai data apa dia tidak terpikir.

Love me, love me not.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang