Prolog

0 0 0
                                    

Angin siang menjelang sore berkisar antara 8 derajat cukup menemani setiap ribu jengkal pendek langkah seorang lelaki berusia 21 tahun berperawakan tinggi dengan style cool. Rambut hitam kecokelat-cokelatan sebahunya kerap tak tertiup oleh sepoi yang menerpa lembut.  Peluh bercucuran membasahi paras tampannya. Sesekali telapak kekar mengusap kasar keringat, lalu menarik napas dalam-dalam menghembuskannya perlahan tanda lelah.

Bruk.

Menjatuhkan ransel hitam yang sejak mula perjalanan digandongnya ke bawaj hamparan rerumputan hijau, lantas mengistirahatkan diri duduk di salah satu kursi dekat area Hagia Shopia. Punggung lebarnya bersandar pada punggung kursi diberi cat white color, sedang kedua kelopak matanya terpejam rapat dengan wajah menengadah ke atas  membiarkan kulit putihnya terbakar sinar sang surya.

"Tatapan mampu memanah hati kaum adam dalam satu kedipan sungguh membuatku gila," gumamnya mengingat kembali gadis pemilik iris hijau nan menggoda kala  berada di atas menara Galata Tower beberapa hari lalu.

"Allah ... Jika boleh hambamu ini meminta, pertemukan kembalilah aku dengan gadis yang tak sengaja kutatap lama itu," lanjutnya.

"Seorang insan yang haus di tengah-tengah samudra takan mengenal lelah dan pantang menyerah bukan?"  bariton entah dari mana sumbernya menusuk gendang telinga lelaki.

Refleks lelaki ini membuka mata celingak-celinguk mencari sosok yang menyahuti ucapannya.

"Aku di sini, Asyan." Kata orang itu dari belakang alhasil empunya nama menoleh menaikkan satu alis tebalnya.

"Ah ... Aku kira siapa. Rupanya kamu, Aly," balasnya lalu memposisikan duduk menjadi tegak.

Lelaki bersurai kepirang-pirangan berhoodie abu dengan celana jeans hitam bersepatu kets itu lalu maju satu langkah duduk di bawah hamparan rerumputan samping kaki kursi.

Satu tangan Asyan meraih tas membuka resleting mengeluarkan dua minuman kaleng menyodorkan satu kaleng pada Aly, "Haus?"

"Tentu saja tidak, habiskan saja aku sedang pusing," tolaknya sambil mengacak rambut depan.

Asyan mengedihkan bahu memang temannya itu tampak frustasi, ada apakah gerangan? jemarinya lihai membuka segel kaleng.

"Cinta itu butuh perjuangan Syan, bukan sekadar prakata terucap manis bibir palsu," ucap Aly kemudian. Pandangannya lurus memerhatikan keramaian para pengunjung wisata mengabadikan foto mereka menggunakan cameera cannon berlatar Aya Shopia.

"Jatuh cinta lebih sulit sebelum dari yang kubayangkan,"

"Pengorbanan pasti selalu ada dalam setiap hubungankan?" tanya Aly melempar atensi pada lelaki sedang meneguk mineral.

"Ya. Percayalah kawan, ketika kita mencintai dalam diam hebatnya melebihi dunia dan seisinya. Menahan rindu contohnya tapi, aku yakin seandainya mendekati Tuhan terlebih dahulu sebelum mencintai salah satu insan terindahnya, semuakan terasa mudah dan indah." sabda Asyan menaruh bekas minuman disamping kiri.

"Kamu benar, aku bingung saja dengan cara pola pikir keluargaku yang diam-diam akan menikahkanku dengan Illya, perempuan telah lama hidup satu atas di rumahku," curhat Aly.

"Kenapa bisa?"

"Mana ku tahu,"

"Aku tak mengerti,"  tandas Aly.

Kedua lelaki itu meloloskan napas gusar bersamaan. Mereka tidak pernah bisa menebak alur Sang Pencipta meski setiap saat kapasitas otak kecil mereka mencoba menerka, menduga  pun berencana namun kerap kali tak sejalan dan benar oleh logika. Maka simpulannya adalah  Semesta berkerja dengan caranya sendiri.

   

             _______________________

Cerita pertamaku guyss, jangan lupa lakukan sedekah setelah membaca dengan memberi bom vote atau komentar ... 🐤

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 15, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Di Bawah Langit IstanbulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang