Baik Jeongguk maupun Taehyung kesulitan menjaga tangan; perjalanan dari bar menuju losmen milik sang medusa terasa sangat jauh. Seakan menempuh jalan setapak yang memisahkan surga dan neraka, kalau menurut Jeongguk.
Sebelum para warga sadar penyanyi bar favorit mereka diculik, Jeongguk harus bekerja cepat. Katrina berjanji akan menidurkan seisi bar menggunakan bubuk peri, sementara dirinya sendiri bersiap menempuh perjalanan ke kota lain. "Sudah lama aku ingin keluar dari Bree. Kau hanya memberiku sedikit dorongan, demon. Terima kasih untuk itu."
Memasuki pintu depan losmen, Gwen yang tengah berdiri di belakang meja resepsionis, membelalak.
"Demi Zeus—!"
"Aku akan membayar dua puluh koin emas untuk ini, Gwen. Dan tolong, bekukan siapa pun yang masuk." Jeongguk, sebagai demon, tak pernah sekali pun memperlihatkan tanduk maupun ekor iblisnya. Namun kali ini, kedua tangannya tetap teguh memegangi Taehyung, sementara sebuah kantong dengan gemerisik emas diletakkan ke meja.
Mata Gwen berbinar. Jeongguk yakin ratusan mata di balik turban itu juga bergembira.
"Akan kutaruh magis di pintumu," sahut si pemilik losmen ketika Jeongguk terburu-buru menuju tangga.
Pintu kamar tertutup, dan punggung Taehyung rata dengan permukaannya. Bibir merah merona, menunggu untuk dipuja.
Bukan sentuhan pertama, karena Taehyung pernah mencuri satu sebelum Jeongguk meninggalkan ruangan belakang Devil's Cry tempo hari.
Ciuman Jeongguk panas, bernafsu. Seolah-olah lelaki itu belum minum selama seminggu dan akhirnya menemukan oase dalam bentuk figur Kim Taehyung. Kesepuluh jemari iblis menangkup wajah sang siren, menahannya di tempat, sementara dia mencicipi tiap inci mulut manis sanderanya—bukan harfiah.
"Apa kau masih tak terpengaruh, demon?" Taehyung bertanya di sela-sela aktivitas meraup oksigen, membiarkan Jeongguk yang kini beralih ke kulit lehernya yang sensitif.
Memberi gigitan kecil—yang sakit, Jeongguk mengangkat wajah. Taehyung mengaduh, dan menendang kaki sang demon.
"Bukan karena lagumu, Taehyung, tapi dari bagaimana caramu membunuh. Dengan satu lemparan. Cantik."
Si siren mendengus. "Aku membunuh orang dan kau bilang aku cantik? Haruskah aku membantai separuh kota?"
Seringai Jeongguk muncul. Dia lantas melangkah mundur.
Ada sebuah kursi di ruangan, dan Jeongguk memindahkannya ke tengah-tengah. Dia awas, akan pandangan hazel Taehyung yang terus mengikutinya, menatapnya lekat-lekat dari atas rambut hingga ujung sepatu. Melepas jubah, sang demon duduk di kursinya. Menyandarkan punggung, sementara tamunya masih berdiri terpaku di pintu.
"Kemari," undang si empunya kamar, menepuk pahanya seolah itu adalah tempat duduk paling eksklusif yang bisa dia tawarkan.
Langkah kecil-kecil Taehyung membawa siren itu makin dekat. Berhenti tepat selangkah di depan.
Menjawab Jeongguk yang naikkan alis, Taehyung mulai merangkak naik. Pangkuan Jeongguk memang tidak terlalu nyaman, namun gerakan otot itu terasa olehnya. Pun kala Taehyung berpegangan di kanan kiri lengan atasnya.
"Demi Tuhan …."
"Ah, ah. Kita tidak membicarakan tentang Dia di depanku, Taehyung."
Suara sang demon terdengar amat dekat di telinga, mengirim sengat listrik ke seluruh permukaan kulitnya. Mengangguk, Taehyung mengamini perintah itu, membuatnya terlihat seperti anak patuh.
Jeongguk menyentuh sisi wajah Taehyung yang menunduk dengan ujung hidungnya. Ikut tersenyum kala siren itu mendenguskan tawa.
"Seharusnya aku bisa menahan ini lebih lama, tapi kau membuat segalanya sulit, siren."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Love is a Bitch • KOOKV
FanfictionTaehyung dipekerjakan di sebuah kelab malam karena nyanyiannya mampu menarik pengunjung, menyihir mereka seolah ikut merasakan kemuraman yang sama. Jeon Jeongguk hanya mampir untuk minum, dan mungkin sepiring makan malam. ••• - siren!taehyung, demo...