Jadi, bagaimana kabarmu? bima melepas sepatunya, meletakannya di belakang sebuah pot putih berisikan tanaman kaktus besar. Dibaca dari banyaknya kaktus yang tumbuh, pemilik rumahnya pasti sibuk bekerja. Sebab, kaktus bukan tanaman yang manja. Ia bahkan mau memaafkan air paling jernih sekalipun dengan tetap hidup.
"Siapa lagi yang berpulang?"
"Ibunya. Ibu kandungnya."
bima diam sebentar, tak lama ia melangkah masuk ke dalam rumah yang diisi orang berpakaian serba hitam. Ia kemudian melihat kemejanya sendiri, "na, ini biru tua apa hitam?"
itu saja tidak bisa bedakan, "Sudah. Duduklah."
Semua orang duduk mengelilingi jenazah seorang perempuan yang bahkan tidak ia kenal sebelumnya. Membacakan doa-doa, entah itu isinya ucapan selamat atau terima kasih. Selamat sudah abadi. Terima kasih sudah pernah hidup. "Kok, ada yang buka handphone di saat lagi begini, Na?"
"Kan, sekarang banyak aplikasi doa di handphone. Kamu nggak tahu?" "Kitab suci modern gitu"
" iya benar juga"
Tampak seorang gadis kecil duduk tepat di samping jenazah, bersimpuh, memohon agar kedua mata itu bisa terbuka lagi. Bima menilik, Kenapa tidak ada yang berusaha menenangkan tangis anak kecil itu? Apa upacara kepergian selalu memaklumi kesedihan?
nara ikut mengamati kebingungan Bima, segera ia bertanya sebelum laki-laki paling sok tahu itu seenaknya mengambil keputusan. "Hei, lihat apa?"
Bima lantas berjalan merangkak, semakin dekat dengan gadis kecil itu. Dihantui hantu atau rasa penasarannya sendiri sudah tidak ada bedanya. Orang-orang yang ada di situ berhenti membaca doa, memerhatikan Bima yang entah sedang melakukan apa. nara hanya menampung malu dengan terus tersenyum. Awas Si sok tahu itu. Aku pukul dia nanti!
"Kenapa menangis?"
Sungguh pertanyaan yang tidak pantas dikeluarkan oleh laki-laki berusia dua puluh tahun di sebuah rumah duka. Nara yang melihatnya cuma bisa menarik nafas panjang. Jangan sampai sepulang dari sini gantian aku yang mati karena habis sudah paham maklumku padamu, Bim.
Yang terdengar hanya suara sesenggukan, hal normal yang dilakukan anak kecil ketika ditinggal ibunya. Hal yang selalu normal untuk dilakukan semua orang ketika ditinggal orang yang dicintainya. Nara menghampiri Bima, mengajaknya keluar.
"Bim Kamu ini udah gila, ya?"
"Na, apa ucapara kepergian selalu memaklumi kesedihan?
Perempuan yang paling marah bila ditanya ada apa itu memelankan laju suaranya, "Kita pulang aja deh.
"Na, kamu memang senang ya datang ke rumah duka? Memang tadi yang meninggal siapamu?"
"Bukan siapa-siapa, Bim."
"Lalu? Aku ngapain tadi?"
"Aku tidak memintamu ikut. Bukannya kamu sendiri yang bertanya aku ada di mana?"
"Na, nggak melayat orang yang bahkan nggak kamu kenal itu nggak dosa,"
"Kamu ngomong kayak gitu kalau baru sehari kenal aku nggak jadi masalah deh."
"Cie. Tumben anak serba benar ini senang punya masalah."
Tempat favorit nara di muka bumi ini adalah sebuah rumah, rumah duka lebih tepatnya. bima sudah berulang kali menebak-nebak mengapa ia senang sekali melayat orang mati yang juga tidak ia kenal.
Karena kamu juga mau mati, Na?
Karena kamu senang dengar orang baca doa bareng-bareng?
YOU ARE READING
Bima
Randomseorang laki-laki yang mengejar cinta dari seorang perempuan yang tidak akan pernah menaruh hati kepadanya.