Gelisah menghuni batin Nara. Kepalanya tiba-tiba diisi oleh wajah seorang laki-laki yang bahkan tidak diketahui namanya itu. Satu yang terekam jelas cuma suara yang terus berbicara di telinganya. Biarkan ia pulang. Biarkan ia pulang. Tidak, nara tidak sedang bertanya siapa sebenarnya laki-laki berwajah cakap itu. Nara cuma tidak suka merasa punya hutang. Lalu terbayang kembali sepasang mata yang begitu terang dan menatapnya langsung, ia ingat betul bahwa saat itu yang bisa ia rasakan cuma napasnya sendiri yang begitu cepat. Apakah aku harus kembali ke sana? Menjelaskan? Bahwa aku sungguh-sungguh minta maaf atas kebimbanganku yang mengganggu semua orang? Memang iya awalnya aku yakin, tapi Bima muncul di kepalaku waktu itu. Tapi, bukankah aku tidak pernah mengizinkannya masuk ke dalam bagaimana cara otakku bekerja? Atau apakah mungkin aku sudah mengizinkannya? Apakah Bima kini sudah memegang kendali atas kehidupanku yang bahkan tidak juga pernah mengharapkanku?
Kebingungan kadang membawa seseorang ke sebuah dunia baru yang tidak siapa pun menghuni kecuali hatinya sendiri. Itu pula yang sedang terjadi pada Nara. Ia tidak suka merasa menerima apalagi sampai harus meminjam sesuatu. Terlebih lagi, Bima hadir sebagai pembelaan yang mendukung prinsipnya itu.
"Kebaikan orang lain kepadamu tidak perlu kamu balas, Na."
"Nggak dosa?"
"Ya kecuali kamu membuat mereka terpaksa berbuat baik padamu."
"Hah? Maksudnya apa, nih? Kok jadi labil begini? Kamu ada di pihak siapa sebenarnya?"
"Aku setuju denganmu bukan berarti aku ada di pihakmu, Na."
"Gitu sih?"
"Kalau harus ada di pihakmu berarti aku harus jadi kekasihmu dulu, dong?"
"Sakit jiwa sudah."
Tidak ada yang lebih membuat Bima tertawa dari berhasil mengejek perempuan judes itu. Sering membuatnya bingung mengapa Nara masih saja menghiraukan persepsinya, bila secara jelas Nara katakan bahwa ia sudah tidak waras.
"Kenapa sih masih butuh dukunganku?"
"Dengar ya Bim, kalaupun kamu tidak sependapat denganku, itu bukan urusanku. Lagipula, apa yang bisa kuharapkan dari pemikiran seseorang yang otaknya mungkin sudah berubah jadi mainan plastik?"
"Kok tahu, Na?"
"Hah?"
"Iya, kok kamu bisa tahu aku sampai seisi-isinya begitu? Pernah masuk memang?"
"Sudah. Aku mau balik kerja."
"Na," Bima mengambil tangan Nara sambil menyambung, "Cuma di hadapanmu aku senang pura-pura gila, dan cuma kamu yang bisa menerima ketidakrasionalanku."
Nara memerhatikan tangan Bima yang menggenggam tanganya, "Lepas atau habis ini kamu mati."
"Aku sudah mati sejak pertama kali ibuku mengumumkan namaku kepada salah seorang perawat di rumah sakit."
Nara sedang menyapu teras depan ketika suara motor Rini terdengar, "Loh, Rin?"
"Ayo bareng aku saja,"
Dengan girang ia menjawab, "Sungguh?"
"Lima menit!"
Rini tidak pernah menyangka akan menyayangi Nara seperti menyayangi anaknya sendiri yang masih berusia tiga tahun itu. Dalam hidupnya, ia sudah biasa soal ikhlas-mengikhlaskan, soal kalah-mengalah, soal siapa yang tidak perlu dimenangkan dan siapa yang perlu diberi pembelaan. Rini anak sulung dari dua bersaudara. Suatu hari ia nikah dengan seorang laki-laki kenalan pamannya dan dikaruniai seorang anak perempuan. Suaminya bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik roti. Sedangkan untuk tambahan biaya sehari-hari, Rini terpaksa harus bekerja walau gajinya tidak seberapa.
YOU ARE READING
Bima
Randomseorang laki-laki yang mengejar cinta dari seorang perempuan yang tidak akan pernah menaruh hati kepadanya.