Nara menutup matanya kuat-kuat. Masih tidak disangkanya bahwa ia akan melanjutkan petualangannya sendirian, dengan bekal keberanian yang tiap hari kian menipis. Apakah benar yang kupilih ini? Bagaimana kalau laki-laki yang mengaku bernama ara itu adalah orang jahat? Tapi apakah orang jahat selalu mudah dipercaya? Apakah juga adalah hal yang benar kalau aku pergi tanpa menyisakan pamit untuk Bima? Tunggu dulu, mengapa tiba-tiba ia jadi topik penting sampai masuk dalam pertanyaan? Biarlah Bima dengan hidupnya. Aku mungkin tidak bisa memintanya untuk memilih, tapi aku bisa memilih untuk tidak ikut berantakan sebagaimana dirinya.
"Permisi?"
"Pencet saja belnya, Mbak."
Nara menoleh ke belakang. Seorang perempuan paruh baya duduk di teras sebuah rumah yang berada tepat di depan tempat kosnya yang baru. Nara lalu mengangguk, "Iya, Bu, terima kasih."
Apa semua orang di sini ramah-ramah, ya? Nara bergumam bingung. Sejak turun pesawat, orang-orang di sekelilingnya seperti memberinya panduan perjalanan. Tentang habis ini harus bagaimana, harus melangkah ke mana. Juga sewaktu tadi mau naik taksi, seorang bapak tua di sebelahnya berkata pelan, Naik bus umum saja, Mbak, sampai ketemu becak. Agak lama sih nunggunya, tapi lebih murah.
"Mbak Nara, ya?"
"Iya, Pak.."
"Mari, silakan masuk. Nomor yang di internet itu nomor istri saya, kebetulan dia masih di luar,"
"Nggak apa-apa, Pak,"
"Biar saya saja yang bawa barang-barangnya,"
Awalnya, Nara sempat gugup mengetahui bahwa Rini tidak punya kenalan sama sekali di Semarang. Tapi ia bilang, "Cari saja di internet." Dan ternyata memang banyak hal sudah dimudahkan oleh teknologi. Ia menyewa sebuah kos murah di pusat kota jogja. Dapat AC dan TV, walau salurannya cuma ada beberapa. Bahkan kamar mandinya di dalam.
"Ini kuncinya, ya, Mbak. Jam sepuluh malam biasanya pagarnya saya gembok, jadi kalau mau buka pakai kunci yang ini, yang ada goresan cat warna merah,"
"Oh jadi setelah jam sepuluh nggak boleh keluar ya, Pak?"
"Yo, boleh, to. Cuma kalau keluar musti digembok dan kalau baru pulang juga digembok lagi."
"Baik, Pak,"
"Yowes, kalau ada butuh apa-apa bilang saja, atau lewat sms juga ndak apa-apa. Selamat istirahat, Mbak Nara,"
Nara percaya bahwa hidup mempunyai rencanya sendiri, tapi yang namanya manusia selalu bisa menciptakan waktu yang tepat dalam tiap hal yang sempat. Dan itulah yang dilakukannya. Ketika pada akhirnya ia sadar bahwa roda yang sedang membebaninya itu tidak akan bergerak, bila ia sendiri tetap jalan di tempat. Hal baik atau buruk yang datang setelahnya akan jadi konsekuensi yang sudah ia setujui sebelumnya.
"Malam itu kita tidak sempat berkenalan. Saya ara."
Pada suatu sore, selang beberapa waktu setelahnya, Nara kembali ke tempat itu. Saat itu, pembelaannya bukan tentang kebaikan yang harus dibayar lunas, tetapi ia tidak mau hidup dalam sebuah ketakutan. Ia kembali karena ia memilih untuk membawa kemungkinan yang bisa saja jadi takdir hidup yang harus diterimanya.
"Aku sudah tahu namamu,"
Dalam nada yang ramah, ia menyampaikan kekagumannya, "Kok sudah tahu? Kemarin saya tanya Beri, dia bilang belum mengenalkan saya padamu."
"Beri?"
"Orang yang membuatmu takut, yang membuat pergelangan tanganmu merah."
"Tidak sampai merah."
YOU ARE READING
Bima
Randomseorang laki-laki yang mengejar cinta dari seorang perempuan yang tidak akan pernah menaruh hati kepadanya.