Decades ago...
"Annyeonghaseyo, Kim Jaejoong imnida."
Anak itu sungguh cantik. Rambutnya yang hitam panjang Ssebahu tergerai dengan poni menutup dahi. Bibirnya nampak merah dan penuh. Kulitnya putih mulus. Ia mungkin seumuran denganku. Namanya bahkan terdengar indah. Aku dengar dia adalah salah satu trainee yang memenangkan penghargaan Best Visual dan Best Vocal. Aku tidak akan meragukan soal Best Visual, wajahnya perpaduan antara cantik dan tampan. Aku yakin dia pasti akan debut suatu hari nanti.
"Yunho, mulai sekarang kau akan sekamar dengan Jaejoong. Akur-akurlah dengannya." Aku hanya mengangguk pada manajer hyung.
"Hai, aku Jung Yunho." Aku mengulurkan tangan, menawarkan jabat tangan.
Anak itu nampak malu-malu, ia mengulurkan tangan sambil memalingkan wajahnya. "Kim Jaejoong," balasnya pelan.
"Ayo kita berjuang bersama, Jaejoong!"
Jaejoong kemudian menoleh ke arahku lalu tersenyum lebar sambil mengangguk dengan semangat. Saat itulah aku merasa seperti tersihir dengan senyum manis itu, membuat wajah Jaejoong terlihat semakin memesona.
Seiring berjalannya waktu aku dan Jaejoong semakin dekat saja. Aku merasa punya nasib yang sama dengannya. Kami berasal dari luar Kota Seoul, aku dari Gwangju sementara dia dari Chungnam. Kami juga berasal dari keluarga miskin, membuat kami harus bekerja di tengah-tengah waktu latihan kami demi bertahan hidup karena orang tua kami tidak bisa membiayai kami selama di Seoul.
Terkadang kami sellau kelaparan. Jaejoong bahkan pernah mendonorkan darahnya agar ia bisa mendapatkan makanan gratis. Kami juga lebih sering makan ramyeon. Kami juga tidak bisa pulang ke kampung halaman setiap liburan.
Terkadang kami juga selalu menangis bersama, mengeluh bersama betapa beratnya hidup yang harus kami lalui demi menggapai mimpi kami sebagai seorang penyanyi. Namun karena kami bersama, kesedihan itu dapat dibagi. Karena kami bersama, kebahagiaan itu justru menjadi dua kali lipat.
"Yunho," ucapnya dengan napas tersengal setelah sesi latihan menari selama beberapa jam nonstop. Peluh telah membanjiri tubuh kami, membuat kaus yang kami gunakan menjadi basah.
"Apa?" sahutku tepat berada di sampingnya, menatap fitur wajahnya dari samping yang meski bersimbah keringat sekalipun ia tetap menakjubkan.
"Menurutmu apa kita bisa debut bersama? Aku dengar kau akan debut dengan Heechul dan juga Donghae. Apa kita akan berpisah?" tubuhnya kini berbalik menghadap ke arahku. Aku bisa merasakan hangat deru napasnya menerpa wajahku.
"Belum ada pengumuman resmi dari perusahaan jadi jangan cemaskan soal itu." Aku tak bisa menahan tanganku untuk menyingkirkan anak-anak rambut yang menempel di kening Jaejoong.
"Aku ingin kita debut bersama. Tidak peduli dengan siapa tapi aku ingin debut bersamamu."
"Aku juga." Sudah enam tahun aku menjalani masa pelatihan dan tiga tahun hidup bersama Jaejoong dalam satu kamar asrama, kini kehadirannya sudah menjadi suatu kebiasaan bagiku sehingga saat kupikir aku akan menjalani hari tanpanya, rasanya aneh sekali.
"Janji padaku kita akan tetap bersama?" Jaejoong mengacungkan jari kelingkingnya padaku yang langsung kusambut dengan senang hati.
"Janji."
"Aku malas kembali ke asrama, kita tidur di sini saja bagaimana?"
Aku langsung bangkit dari baringku lalu menarik kedua tangannya. "Ayo bangun. Kita harus kembali ke asrama lalu tidur, tiga jam lagi kita ada kerja paruh waktu. Di sini dingin." Dengan ogah-ogahan Jaejoong menarik tubuhnya untuk berdiri, wajahnya nampak lelah dan matanya sayu menahan kantuk.
.
.
.
Belum, saat itu aku belum jatuh hati pada Jaejoong. Saat itu aku menyayanginya hanya sebatas sebagai sahabat, sebagai teman seperjuangan, sebagai rekan kerja. Tak pernah sekalipun terpikir aku akan menaruh hati padanya walau aku tidak bisa memungkiri bahwa Jaejoong adalah suatu jenis mahluk yang dapat dikatakan sempurna. Dia menawan, berbakat, pintar, dan punya hati yang baik. Aku juga menyadari aku tidak bisa hidup tanpanya. Jaejoog adalah setengah diriku. Belahan jiwaku. Tapi tidak tuh, aku tidak jatuh cinta.
Sampai akhirnya sekian puluhan tahun akhirya bisa meleluhkan hatiku. Pepatah bialng cinta ada karena biasa. Itu tepat berlaku untukku dan Jaejoong. Aku sempat mempertanyakan apa yang terjadi pada perasaanku ketika aku ingin selalu di dekatnya, ketika aku cemburu dia tertawa bersama Siwon atau memeluk Yoochun terlalu lama atau lebih sering keluar jalan bersama Seunghyun dan Hyunjoong, ketika aku ingin menyetuhnya, mendekapnya, memlikinya hanya untukku seorang.
Aku memang tidak pandai urusan jatuh cinta padahal lagu-lagu kami kebanyakan tentang cinta. Lalu suatu hari di musim dingin saat Jaejoong mengajakku jalan-jalan menelusuri Sungai Han, secara mengejutkan Jaejoong menyatakan perasaannya padaku.
"Yunho-yah, aku tidak bisa menahan ini lebih jauh lagi. Aku sudah tidak sanggup menyimpan perasaan ini lebih lama lagi. Aku rasa aku menyukaimu. Bukan sebagai sahabat tapi sebagai sesama pria. Kau mengerti maksudku kan?"
Aku? Jangan ditanya. Bahagia bukan kepalang. Sehingga bukannya menjawab pernyataannya aku malah langsung memeluknya dan memberitahunya betapa senangnya aku.
Jadi kubalas saja, "Harusnya aku yang bilang begini padamu. Kau tahu aku juga menyukaimu sejak lama." Lalu kami menertawakan kebodohan kami karena sama-sama saling menyukai tapi tidak punya keberanian untuk menyatakannya secara langsung padahal kami begitu dekat.
Dan aku tidak bisa menahan perasaan gembiraku yang langsung kucurahkan dengan melompat-lompat kegirangan, tadinya aku mau berteriak tapi Jaejoong menahanku supaya kami tidak mengundang perhatian sehingga mempermalukan kami, atau lebih parahnya masuk dalam berita.
Kami kemudian berjalan sambil bergandengan tangan dan... jangan bilang-bilang kami sempat berciuman di dalam mobil.
...
...
"Kau sedang memikirkan apa?" tanya Jaejoong yang menghampiriku dengan dua cangkir coklat panas di kedua tangannya. Ia serahkan salah satunya padaku sebelum bergabung denganku, masuk dalam selimut yang kami pakai bersama di atas sofa seraya menatap ke arah luar jendela. Salju pertama di musim dingin tahun ini baru saja turun.
"Sayang, kau ingat saat pertama kali kau menyatakan perasaanmu padaku dulu?" ucapku sambil mendekapnya.
"Ahh yang waktu di Sungai Han itu?" sahutnya. Aku mengangguk. "Tentu saja aku ingat, kau hampir berteriak sangking senangnya. Kalau tidak kutahan, kita mungkin akan jadi pusat perhatian. Kau sungguh memalukan sampai meloncat-loncat kegirangan begitu."
"Tentu saja itu karena aku bahagia. Kau tahu aku juga sudah menyuakimu sejak lama dan mendengarmu menyatakan perasaan duluan padaku, aku tidak bisa menahan perasaanku."
"Itu kenangan yang indah." Jaejoong mendongakkan wajah untuk menatapku.
"Sekarang pun aku masih sangat mencitaimu, Sayang." Aku mengelus rambut Jaejoong yang memutih lalu turun mengusap wajahnya yang masih tetap cantik di mataku walau kerutan sudah menghiasi kulit wajahnya akibat dimakan usia.
"Aku juga." Detik selanjutnya bibir kami sudah bersentuhan sambil berbagi kehangatan dalam dekapan tubuh masing-masing.
Aku tidak menyana bahwa perasaan ini akan terus bertahan sampai kami sudah beranjak tua seperti ini. Walau begitu rasa cinta itu tetap terasa segar dan menyenangkan di setiap hariku menjalani hidup bersamanya.
Kekasih hatiku.
Selamanya.
Kim Jaejoong.
.
.
.
TBC
Chapter pertamanya hehe. Gimana menurut kalian? Kasih vote san5 komentarnya yah
See you next chapter 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
One Day
FanfictionCerita ini akan mengisahkan keseharian Yunho dan Jaejoong. Bagaimana mereka menjalani hidup bersama seperti pasangan yang telah ditakdirkan terus bersama. Cerita ini tidak memiliki alur atau tema cerita yang jelas dan setiap chapter tidak memiliki k...