Kilasan

16 8 5
                                    

"Cinta yang kamu berikan pada orang lain adalah kunci menuju kebahagiaan yang sejati," kata Ibu menggema di telingaku bak kidung yang beliau kumandangkan setiap malam sembari menepuk-nepuk kepalaku pelan-mengantarkan ku memasuki bunga tidur.

Kata-kata itu pula yang menyadarkan ku bila mencintai seseorang, kita tak akan langsung mendapatkan balasannya. Sebelum merasakan kebahagiaan, maka kita akan dihadapkan oleh rasa sakit. Namun, hal itu tidak menghentikan kita untuk terus memperlakukannya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Mengapa? Karena cinta, karena ada rasa bahagia yang membuncah walaupun telah beribu kali mendapat luka. Cinta yang membuatnya sembuh.

Oh, ya. Perkenalkan namaku adalah Nadine Safa. Cukup panggil saja aku, Nadin. Dan ini adalah kisah ku yang terlalu berharap mendapatkan balasan cinta dari orang yang bernama Aditya Pangestu.

Seorang pemuda yang menurutku tampan dan mapan lantaran dia adalah anak dari juragan di desaku yang lahannya beribu-ribu hektar luasnya. Poin pertama yang membuatku takut mendekatinya.

Begitu banyak perempuan cantik yang ada di sekelilingnya, entah dari kenalan keluarganya, teman-teman fakultasnya, dan dia bisa dengan mudah menunjuk salah seorang perempuan cantik untuk menjadi pasangannya. Poin kedua yang membuatku semakin sakit menerima kenyataan bahwa ia begitu ramah pada wanita lain bahkan saat ia bersamaku kecuali sanak keluarga dan aku? Tunggu, aku?

Baiklah, ini adalah kenyataan yang begitu sakit untuk diterima. Padahal aku bukanlah siapa-siapa untuknya, tetapi aku melarangnya untuk dekat dengan gadis lain. Ah, lupakan. Aku pasti terlalu gila karena cinta hingga rasa posesif muncul. Bahkan suatu kalimat yang sering Aditya ucapkan sukses membuatku tersipu malu dan salah tingkah saat itu juga.

"Nadin...." panggil Aditya kala itu. Oh, suaranya begitu dalam seperti ceruk samudera yang begitu tenang.

Sontak kepalaku menoleh merespon panggilannya, "ada apa?"

"Tahukah kamu?" dia menggantungkan kalimatnya sejenak kemudian melirikku.

"Apa?" aku penasaran.

"Kamu cantik, terima kasih sudah bersedia menemaniku menghadiri pernikahan kakak sepupuku."

Dua kata awal dari kalimat yang ia ucapkan berhasil membuat dadaku berdebar, perutku seperti terdapat kupu-kupu yang berterbangan.

"Terima kasih," timpalku sembari mempercepat langkah kaki lantaran takut suara jantungku berdetak terlalu keras dan ia mendengarnya.

Sungguh memalukan bila ia sampai tahu aku mudah tersipu karena pujian sederhana yang ia ucapkan saat itu. Bahwasanya diriku ini hanya bisa memendam segalanya dengan diam termasuk rasa cintaku untuknya. Segalanya dengan diam, hanya diam, dan menyembunyikan rasa bahagia yang meledak-ledak dengan menyunggingkan senyumanku pada Aditya ketika bertemu seperti hari ini.

Tepat pukul lima sore. Aku dan Aditya duduk di jembatan dengan suguhan peristiwa senja sebentar lagi. Dia duduk di sampingku. Aku menyukainya, apalagi lengkungan tulang hidung yang begitu indah miliknya begitu tinggi bak Gunung Everest. Berlebihan? Bagaimana aku tidak berlebihan lantaran sekarang ia melepas jaket denim miliknya dan menyisakan kaos putih polos. Ia memperlihatkan otot bisepnya yang terbentuk, tahu!

Dia menoleh dan aku hanya menampilkan senyum canggung. Kemudian ia kembali terfokus pada sang mentari yang mulai beranjak pergi dari singgasananya.

Aku menghela napas gusar, lalu memanggilnya, "Aditya...."

"Ya?" Jawabnya tanpa menoleh kepadaku, melirikku pun tidak.

"Tak apa, ia sedang menikmati senjanya," batinku menekan sakit untuk tidak muncul. Yah, setidaknya hiburan kecil untuk menenangkan hati itu perlu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GIVE IT UP (Oneshoot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang