"How could you be so reckless with my heart?"
Cuaca malam di Bandung yang tadinya dingin tiba-tiba terasa begitu panas, bahkan panas itu menjalar sampai ke mataku. Air mata mendesak di pelupuk mata, dadaku terasa sesak.
"Fa."
Suara yang selama ini ku rindukan, tapi malam ini sangat ku benci.
"Zefa," panggil suara itu sekali lagi.
"Kamu tahu, Van. Tiap malam aku selalu kepikiran kamu."
"Zefa, maaf."
"Aku masih inget loh waktu kamu bilang dia bukan siapa-siapa. Bukan siapa-siapa gak mungkin seromantis itu sampai peluk-peluk. Di sini kamu senang-senang sama dia, kamu pernah gak kepikiran aku sekali aja?"
"Zefa, maafin aku."
"Aku udah muak dengar kata maaf."
"Evan, kita udahan aja ya," aku menatap Evan di depanku, matanya juga berkaca-kaca, tapi apakah hatinya juga sama sakitnya?
"Gak. Aku gak mau," Evan menggeleng tegas.
"Van, kamu gak bisa egois."
"Kita masih bisa bicarain ini baik-baik, Fa," Evan memegang tanganku, aku merasakan tangannya gemetar.
"Apa lagi yang mau dibicarain?"
"Aku bisa udahan sama dia, dan tetap sama kamu."
"Gak, gak ada yang jamin pas nanti aku kembali ke Jakarta kamu bakal balik sama dia lagi atau gak. Dulu kamu bilang aku cuma satu-satunya, tapi sekarang apa? Evan, kepercayaan aku sama kamu udah luruh."
Aku marah, sakit. Hatinya yang dulu pernah ku miliki sekarang jadi milik orang lain, milik dia, gadis dengan rambut panjang sebahu yang sekarang sedang duduk menatap kami berdua.
Dirinya yang dulu ku anggap rumah, ternyata hanya menjadi tempat menetap sementara. Atau, dia yang hanya menganggapku sebagai tempat istirahat saja? Tempat untuk meneduh dari segala cuaca di luar sana, dan sekarang saat dunianya sudah baik-baik saja, dia mencari rumahnya yang sebenarnya.
Aku menyesal pernah menganggapnya sebagai tempat menaruh lelah paling nyaman, menganggapnya sebagai tempat untuk berbagi keluh kesah. Karena nyatanya dia yang memberiku rasa resah, dan sekarang membuat diriku patah. Rumah yang dulu ku anggap sebagai tempat paling aman, justru menyebabkan luka yang amat dalam.
"Fa, aku khilaf. Aku juga mikirin kamu, aku juga rindu kamu. Tapi, Fa. Aku-aku sendiri, aku butuh-"
"Kamu pikir aku di Jakarta gak sendiri?! Kamu pikir aku gak butuh seseorang? Van, aku tahu ini hidup kamu, kamu boleh ngelakuin apapun semaumu. Tapi Van, di hubungan ini bukan cuma ada kamu, bukan cuma tentang perasaan kamu. Ada aku juga, Van. Hubungan ini tentang kita, tapi kamu bahkan cuma mikirin diri kamu sendiri."
"Fa, maaf."
"Stop bilang maaf, aku cuma mau kita selesai," aku melepas tangan Evan yang sejak tadi menggenggam tanganku.
"Fa, aku butuh kamu."
"Kamu gak butuh aku, Van. Kamu cuma butuh rumah yang membuat kamu merasa nyaman, membuat kamu menetap, membuat kamu gak merasa sendiri. Dan itu bukan aku."
Lagi-lagi air mataku mengalir, aku tidak mau terlihat lemah di depannya, tapi nyatanya memang begitu adanya. Orang-orang yang berlalu lalang sesekali menatap kami, tapi aku tidak peduli.
"Van, hati aku ini bukan hotel dimana kamu bisa keluar-masuk sesuka hati kamu."
"Apa kamu udah gak ada rasa sama sekali, Fa?"
"Van, rasaku gak mungkin hilang dalam semalam. Tapi mulai sekarang aku akan mencoba buat menghapusnya. Karena nyatanya, sekarang rasaku sudah tidak lagi berbalas. Walaupun aku yang pertama kamu cinta, tapi sekarang semua yang kamu punya udah jadi milik dia. Dia yang selama ini kamu cari, yang bisa menemani kamu di segala situasi, bukan aku yang cuma bisa kamu hubungi di saat malam hari."
"Rasa aku untuk kamu masih sama, Fa."
"Kalau emang masih sama, kamu gak akan semena-mena!"
"Udah ya, Van. Aku cape. Memang harus begini akhirnya. Makasih untuk 2 tahunnya, untuk kenangan yang berlalu, biar begitu. Kalau kamu mungkin gak mau simpan, biar aku yang simpan."
"Maaf, aku gak mau ngambil resiko memberikan hati aku ke kamu untuk yang kedua kali. Karena nyatanya, kamu bahkan gak bisa menjaga hati kamu sendiri."
"Fa," Evan menatapku sendu, tangannya mencoba meraihku tapi aku menjauh.
"Udah. Semoga selalu bahagia ya. Semoga memang dia orangnya. Jangan pernah lagi melakukan kesalahan yang sama."
Aku berbalik, meninggalkan Evan yang berdiri tak berdaya di belakang sana. Suaranya yang terus memanggil namaku tak ku hiraukan.
Bandung, kota yang selalu ingin ku kunjungi, malam ini justru menorehkan luka di hati. Padahal aku berniat memberikan kejutan untuk Evan besok pagi, tapi justru aku yang mendapat kejutan malam ini.
Semesta, terima kasih untuk kejutannya, tapi maaf, aku tidak suka. Dan untuk Bandung, terima kasih kenangannya, walaupun berisi luka.
~END~
Thanks for reading ~
Inspired by : Madison Beer - Reckless
KAMU SEDANG MEMBACA
ONESHOTS ✔
Short StoryTerima kasih jika berkenan baca karya gabut saya yang satu ini. Kebanyakan terinspirasi dari lagu-lagu yang pernah saya dengar. !! WARNING !! DILARANG KERAS PLAGIAT / COPAS CERITA INI! TERDAPAT BAHASA/KATA KASAR, DIHARAP BIJAK DALAM MEMBACA! Happy r...