Selepas mata kuliah selesai, Dian yang sedang membereskan alat tulis tiba-tiba dihampiri laki-laki yang tidak memiliki pendar warna. Dia mendudukkan diri tepat di sebelah Dian.
"Hai," sapanya.
"Iya." Dian tetap fokus membereskan buku dan beberapa bolpoin. Setelah semua peralatannya masuk tas, cewek itu menatap si laki-laki. "Ada apa?"
"Sebelumnya gue nggak pernah ngobrol sama lo." Laki-laki itu tampak ragu. "Boleh kita ngobrol?"
"Tentu," jawab Dian. "Tapi jangan di ruangan ini. Tempat ini mau dipake kelas lain kayaknya."
"Oke. Mau ke kantin?" tawar laki-laki itu.
"Boleh."
Dian dan laki-laki itu berjalan menuju kantin. Sampai di sana, dapat Dian lihat kalau suasana kantin tampak ramai. Mungkin karena masih pagi, jadi banyak mahasiswa yang datang ke kantin untuk sarapan.
"Kita mau duduk dimana?" tanya Dian.
Laki-laki itu mengedarkan pandangan. "Di sana aja, yuk," tunjuknya pada tempat kosong di pojok kantin.
"Oke," jawab Dian. Keduanya berjalan menuju tempat yang kosong tadi.
"Ada apa?" tanya Dian to the point setelah mereka duduk.
"Enggak mau pesen minum atau makan dulu?"
Dian tampak berpikir. "Boleh deh. Gue pesen cokelat panas."
Laki-laki itu mengangguk. "Oke. Bentar, gue pesen dulu."
"Iya." Dian menjawab seadanya. Sebenarnya bukan niat Dian bersikap dingin atau apa, hanya saja cewek itu terlalu canggung dengan Adit. Pasalnya, mereka belum pernah berinteraksi sedekat ini. Selain itu, Dian juga merasa risih karena sebelumnya tidak ada orang yang memperhatikannya. Namun kali ini, kedatangannya dengan Adit ke kantin membuat banyak pasang mata memandangi Dian.
"Sorry, agak lama." Adit membawa satu cangkir berisi cokelat panas pesanan Dian dan satu lagi berisi kopi hitam.
"Nggapapa, kok," jawab Dian. "Btw kita mau ngomongin apa?"
Adit tampak memperhatikan sekitar. Tak lama setelahnya, cowok itu lantas menjentikkan jari. Dian tak mengerti apa yang sedang cowok itu perbuat. Namun dibandingkan bertanya, Dian memilih diam.
"Sebelumnya, gue mau ngucapin selamat ulang tahun buat lo. Happy birthday, yah!" Adit mengucapkan dengan wajah datar seolah tidak niat memberi ucapan selamat. Namun bukan itu yang Dian permasalahkan, melainkan darimana Adit tahu kalau hari ini adalah ulang tahunnya. Bahkan Adit lah yang pertama kali memberi selamat padanya.
"Ohh iya. Makasih." Dian mencoba menutupi rasa herannya.
"Lo nggak mau nanya darimana gue tahu hari ini hari ulang tahun lo?"
Dian tampak berpikir. "Emang dari mana lo tahu?"
"Dari tubuh lo?" jawab Adit enteng.
"Tubuh gue? Emang tubuh gue kenapa?"
"Pendar yang sebelumnya gue lihat dari tubuh lo sekarang udah nggak ada."
Diam terdiam saat mendengar ucapan Adit. Selain terkejut karena Adit ternyata bisa melihat pendar tubuh manusia, Dian juga dibingungkan oleh fakta bahwa dirinya benar-benar tidak memiliki pendar warna. Dan apa tadi Adit bilang? Pendarnya sudah tidak ada?
"Jadi gue sebelumnya punya warna?"
Adit mengangguk. "Dulu merah."
"Terus kenapa sekarang nggak ada? Dan kenapa lo juga nggak punya pendar warna?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Super Colour
FantasyDian hanya seorang mahasiswi matematika yang salah jurusan. Hari-harinya selalu dipenuhi dengan angka-angka yang membuat kepalanya berasap. Ia menyesal memilih jurusan hanya karena coba-coba. Namun siapa sangka, setelah umurnya genap dua puluh tahu...