Dian berjalan memasuki sebuah rumah besar setelah turun dari mobil. Rumah milik Adit menjelaskan kalau laki-laki itu tergolong ke dalam manusia dengan ekonomi di atas rata-rata. Dian memperhatikan seisi rumah dengan seksama. Rumah dengan dominasi warna putih dan beberapa hiasan gucci hampir seperti rumah dalam sinetron yang pernah Dian tonton.
"Lo tinggal sama siapa?" tanya Dian setelah duduk di ruang tamu milik Adit.
"Gue sendiri."
"Di rumah sebesar ini?"
Adit mengangguk. "Mau minum apa?"
"Apa aja lah," jawab Dian. Selepas dari kantin tadi, Adit mengajak Dian ke rumahnya untuk menunjukkan sesuatu yang katanya berkaitan dengan darimana Adit mengetahui semua informasi tentang spektrum dan kekuatan yang mereka miliki.
Sembari menunggu Adit yang tengah mengambil minuman, Dian duduk manis sambil terus mengamati detail setiap sudut rumah mewah itu. Tiba-tiba perhatian Dian tercuri oleh sebuah akuarium. Bukan ikannya yang menarik perhatian, namun Dian lebih tertarik dengan air di dalamnya.
"Mungkin gue bisa coba kekuatan yang gue miliki," lirih Dian. Gadis itu mengarahkan tangannya ke akuarium dan mencoba mengangkat air di sana. Senyum lebar terlukis saat air itu terangkat. Dian mengangkat air itu tinggi hingga hampir mencapai langit-langit ruangan.
Dian mencoba berimajinasi dan membayangkan sebuah bentuk objek. Ternyata bentuk air di sana mengikuti imajinasi Dian. Kali ini Dian membayangkan ayam. Gadis itu cukup puas dengan mahakaryanya walaupun ayam itu tidak punya kaki.
Dian mencoba bentuk ikan. Untuk kali ini, bentuknya sempurna. Namun saat itu juga, Dian teringat sesuatu.
Ikan!
Dian melihat ke arah akuarium dimana di dasarnya sudah banyak makhluk yang kehabisan nafas. Dengan cepat, Dian mengembalikan air ke tempatnya. Gadis itu lantas menuju ikan-ikan di sana.
"Yaampun, maafin aku yah, ikan. Aku bener-bener lupa," ucap Dian merasa bersalah. Dia menghembuskan nafas lega saat tahu kalau dia belum terlambat. Kalau terlambat, dia akan merasa bersalah pada Adit dan ikan-ikannya.
Baru saja bernafas lega, Dian terpekik seketika saat air di akuarium berubah hitam. "Heh! Kok jadi gini?!" Dian panik bukan main. "Mana ikannya pada cengap-cengap di permukaan lagi!"
Derap langkah mendekat dapat Dian dengar. "Itu pasti Adit!" Dian panik. Gadis itu buru-buru mendudukkan diri di sofa.
Adit datang dengan sebuah nampan berisi dua buah gelas yang isinya minuman serta sebuah buku. Lelaki itu menurunkan gelas dan buku itu dari nampan. "Minum dulu."
"Ah, iya. Makasih." Dian tersenyum sebisanya. Gadis itu langsung meminum minuman yang Adit sajikan dan tandas seketika.
Adit menaikan alisnya. "Lo haus banget yah?"
"Hehe. Enggak kok. Cuma pengen minum aja." Dian mencoba menyembunyikan rasa cemasnya. "Itu buku apa?"
Tidak langsung menjawab, Adit malah mendudukan diri di sebelah Dian dan meletakkan buku itu di depan mereka. "Ini buku punya Ayah gue. Mungkin dia sengaja nulis ini biar gue tahu kalau gue berbeda dari manusia lain," jelas Adit.
"Kenapa dia nggak langsung bicara aja sama lo?"
Adit tersenyum. "Andai itu yang terjadi, mungkin gue masih bisa ngerasain punya Ayah."
Saat itu juga, Dian tiba-tiba merasa bersalah. "Maaf. Gue nggak tahu."
"Santai aja," ucap Adit. Laki-laki lantas membuka buku halaman pertama.
Tiga spektrum murni akan terlahir pada sebelas sebelum kabisat ke-500, saat kabisat ke-500, dan 23 selepas itu.
Dua puluh tahun mereka adalah lenyapnya sorot. Kekuatan yang sesungguhnya akan hadir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Super Colour
FantasyDian hanya seorang mahasiswi matematika yang salah jurusan. Hari-harinya selalu dipenuhi dengan angka-angka yang membuat kepalanya berasap. Ia menyesal memilih jurusan hanya karena coba-coba. Namun siapa sangka, setelah umurnya genap dua puluh tahu...