I.

76 8 0
                                    

Fauzan

Tujuh.

Pukul tujuh malam, Fauzan sedang bersiap-siap untuk pergi bekerja di mana dia memasukkan barang-barang pentingnya ke dalam tas jansport berwarna hitam dan keluar dari kamarnya dalam bungkam setelah dia melampirkan tas tersebut ke salah satu bahunya.

Rumahnya seperti biasa, sepi. Tidak ada siapa-siapa, bahkan asisten rumah tangga keluarganya saja sudah pulang beberapa jam yang lalu setelah memasakan makan malam untuknya.

Kisah lama yang bahkan masih sama sampai sekarang.

Tujuh lewat dua puluh.

Kunci pintu rumah terbuka dan menampilkan Fauzi di ambangnya. Fauzan yang kebetulan masih terduduk di sofa langsung menoleh dan mendapati Fauzi yang sudah menatapnya terlebih dahulu. Fauzi dan Fauzan saling bertukar tatapan, tapi tanpa saling bertukar sapa seperti saudara kandung pada umumnya.

"Jan, lo masih kerja di situ?"

Pada akhirnya keheningan canggung itu dipecah oleh pertanyaan Fauzi, yang entah kenapa, terdengar menyebalkan sampai membuat Fauzan mendelik. Fauzi mendapati jaket kulit yang sudah Fauzan pakai dan tas jansport, yang sama seperti miliknya, berada di atas sofa di sebelah Fauzan sendiri.

Menyebalkan karena ini bukan sekali dua kali dia mendengarnya dan bukan sekali dua kali juga dia menjawab dengan jawaban yang sama.

"Basi, Ji." Decak Fauzan yang sudah berdiri dan meraih helmnya di atas meja. "Gue pergi dulu."

Fauzan acuh saat tatapan Fauzi tidak lepas darinya. Bahkan saat dia berjalan ke arah garasi motornya pun, Fauzi masih terus mengikutinya tanpa berbicara apapun.

Hanya menatapnya. Seakan-akan ingin menguji skill berbicara dalam hati mereka seperti anak kembar pada umumnya.

Tapi masalahnya, Fauzan sedang tidak berniat untuk berbicara dari hati ke hati untuk sekarang.

"Jan... Come on." Ujar Fauzi lagi, kali ini sambil melipat tangan di dada. "Lo bisa lebih baik lagi daripada ini, Jan. Mami sama Papi udah bilang kaloㅡ"

"Udah gue bilang, omongan ini basi, Ji."

Fauzan memakai helmnya sebelum mesin motornya dia hidupkan. Menghidupkan klakson sekali, yang hanya menjadi formalitas ke Fauzi, motor milik Fauzan pun langsung keluar dari gerbang rumah dan menderu di jalanan ibu kota, membelah keheningan jalanan dengan deru motornya.

Persepsi orang-orang mungkin berbeda terhadapnya. Tergantung mereka melihat Fauzan kapan dan di mana, tapi sebagian besar menganggapnya sebagai cowok pinter ngomong lulusan ilmu komunikasi.

Pinter ngomong, katanya.

Padahal Fauzan paling menghindari berbicara jika tidak perlu dan jika bukan ke orang yang dia anggap pantas. Bahkan ada beberapa saat di mana moodnya sangat jelek sampai seharian dia bisa tidak bicara sama sekali.

Bangun-Bekerja-Tidur

Hanya itu rutinitas Fauzan setelah dia lulus dan berhasil menyabet gelar strata satunya beberapa bulan yang lalu. Fauzi, yang merupakan kembaran tidak identiknya, juga sudah bekerja. Proyek besar, gaji berlipat ganda, terkesan profesional, dan menjadi kebanggaan orangtua yang bahkan tidak berperan besar saat mereka berdua berjuang susah payah untuk menyelesaikan kuliah.

Sedangkan Fauzan? Pekerjaannya hanya menjadi bartender di salah satu Bar di Kemang, Jakarta Selatan. Pekerjaan yang dulu hanya iseng dia ambil sebagai pengisi waktu kosong saat kuliah, kini malah menjadi pekerjaan utamanya karena setelah berbulan-bulan bekerja di sana, dia sudah diangkat menjadi karyawan tetap.

am : pm | JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang