II.

35 5 1
                                    

Fauzan

Suara riuh di luar seakan-akan menjadi bisu seketika disaat pintu sudah tertutup dengan rapat. Setiap manusia yang berada di masing-masing ruangan tidak bisa saling mendengar satu sama lain, menjadi sebuah point tambahan kenapa Fauzan memilih tempat itu untuk berbicara.

Berbicara empat mata dengan Mayang. Perempuan yang sedang berdiri di hadapannya sambil menunduk, yang padahal tidak Fauzan suruh untuk melakukan hal demikian sama sekali.

Dulu, jarak mereka yang bisa dihitung dengan hanya beberapa langkah ini akan sangat dimanfaatkan Fauzan agar dia bisa menjadi lebih dekat dengan perempuan ini. Dulu, eksistensi Mayang di hidupnya menjadi sebuah hiburan yang tidak terkira dampaknya.

Tawanya, senyumnya, kata demi kata yang dia ucap dari mulutnya itu, akan selalu Fauzan perhatikan sepenuhnya tanpa ada hal yang terlewat. Bahkan kalau ditanya apa yang Mayang katakan padanya di hari pertama mereka jalan berdua, Fauzan masih ingat. Masih sangat ingat sampai-sampai melupakan itu semua secara paksa sekarang terasa sangat menyulitkan.

Menyulitkan, tapi mau tidak mau harus dia lakukan demi kewarasannya sendiri.

Mereka berdua masih terdiam, lebih tepatnya Fauzan sengaja diam untuk mengetahui apa perempuan di hadapannya itu masih memiliki keberanian untuk berbicara dan menatapnya. Seperti yang sudah dia jelaskan, Fauzan tidak akan membuka mulutnya ke orang yang tidak dia hargai. Berbicara panjang lebar ke orang-orang seperti itu hanya bisa menghabiskan tenaganya saja, tanpa memberikan keuntungan apa-apa.

Selang beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, pada akhirnya Mayang mengangkat kepalanya dan berusaha untuk mengeluarkan suaranya tapi uluran tangan Fauzan langsung membuatnya kembali terdiam.

Fauzan mengulurkan tangan kanannya ke arah Mayang, tanpa mengucapkan sepatah katapun sampai membuat perempuan di hadapannya bingung. Dia menatap tangan Fauzan sambil mengerutkan dahinya.

"Janㅡ"

"Mana undangan buat gue?"

Ketus. Hanya itu yang bisa menjelaskan nada bicara Fauzan barusan.

Mayang mendengarnya pun langsung terdiam. Membuka tas yang dia bawa sedari tadi tapi nihil, tidak ada undangan yang tersisa di tasnya pada malam itu. Fauzan melihat pemandangan tersebut dengan wajah datarnya. Dia tau kalau Mayang tidak membawa undangan lebih, dia tau kalau Mayang tidak memiliki ekspektasi bahwa dia akan bertemu langsung dengan Fauzan di tempat dan waktu yang salah seperti ini.

Fauzan tau, tapi dia hanya ingin menguji seberapa besar api dalam dirinya sendiri bisa menyala. Dia ingin melihat tingkat kemarahannya sendiri sampai sebatas mana.

"Gue gak bawa undangan lebih, Jan... Sorry," cicit Mayang. "Mungkin besok gue kirimin ke rumah lo aja? Itupun kalo loㅡ"

"Gak perlu." Fauzan langsung memotong perkataan Mayang dan menarik kembali tangannya.

"Ini terakhir kalinya gue mau ketemu sama lo, kak. Kalo emang lo gak bawa undangan buat gue malem ini, yaudah. No need to be that worried." Fauzan mengangkat bahunya, acuh. "Malah bagus. Gue gak perlu capek-capek dateng."

Ketukan di pintu membuat atensi mereka berdua beralih. Sepertinya salah satu dari mereka sudah dicari dan besar kemungkinan itu adalah Mayang.

"Yaudah gih kak, balik aja. Sorry gue ngerepotin lo sampe manggil ke sini." Ujar Fauzan sambil menunjuk pintu dengan dagunya. "Calon laki lo udah nyariin tuh."

Ketukan di pintu semakin keras terdengar, diiringi dengan suara teriakan yang Fauzan tebak adalah Satya, calon suami dari Mayang yang dia maksud barusan. Namun Mayang sendiri masih terpaku di tempatnya berdiri sekarang, tidak bergerak sedikit pun dan masih menatap Fauzan dengan tatapan nanarnya. Tatapan yang seakan minta Fauzan kasihani, tapi di waktu yang bersamaan juga dia enggan.

am : pm | JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang