***
Hari pertama ia berdiri disana mungkin masih biasa. Tapi kali ini berbeda, ini sudah puluhan kali kakinya berpijak disana. Pekatnya awan diatas langit, yang seharusnya menampilkan matahari dalam ramalan cuaca hari ini- menandakan hujan akan segera turun. Seumpama riak air yang diundang untuk menemani sendu, sosoknya berterimakasih pada semesta, pada Tuhan untuk tidak membiarkannya sendih seorang diri.
Dalam penyamarannya menjadi si murah senyum, bibirnya selalu menebar bahagia untuk siapapun. Bibir penuhnya menyunggingkan senyum saat beberapa orang menyapanya. Matanya hampir membentuk bulan sabit. Dan anggap saja itu samarannya dalam menyembunyikan lara dihati.
Bau tanah bercampur rumput yang diguyur hujan secara tiba-tiba menyeruak memenuhi penciuman. Sensorik miliknya membantah bau khas itu, namun logikanya lebih dominan dalan mengambil sikap. Kakinya masih berpijak disana. Walau beberapa percikan mengenai kulit putihnya, dia enggan beranjak. Dipayungi oleh atap kecil yang sudah lapuk. Bahkan bau besi berkarat yang berasal dari tiang penyangga menunjukkan seberapa tua tempat itu. Warna yang sudah mengelupas dari batang besi menambah kesan suram disana.
Tempatnya memang jarang dilalui orang. Hanya beberapa, itupun tidak intens. Sayangnya, meskipun begitu, sosoknya selalu betah duduk disana. Sendiri.
Jalan didepan mata tak nampak seperti jalan lagi. Sebab beberapa bagian yang mengalami kerusakan bahkan hingga memperlihatkan bagian tanahnya itu sudah ditumbuhi rumput liar. Diseberang sana, hamparan lahan hijau yang didominasi ilalang memanjakan mata. Bunga dandelion tumbuh diantaranya. Dia selalu menyukainya.
Saat bagaimana matahari mulai menyingsing ke arah barat, burung-burung mulai beterbangan pulang menuju sarangnya, lalu kumpulan awan yang berkumpul membentuk pola abstrak. Senandika selalu menyukainya. Untuk hari ini, ia menyayangkan cuaca yang buruk. Tak ada keindahan lebih yang bisa dilihatnya, selain hujan yang menemani temaram sendu hatinya.
Saat sakit melingkupi dadanya, ia hanya bisa mengelus dan mengucapkan kata sabar berulang kali dalam hati. Telapak tangannya menengadah, menerima tetesan hujan yang jatuh dari atap halte terbengkalai itu.
"Lo juga ngerasain kan?" Begitu kira-kira monolognya. Matanya memandang jauh suramnya langit.
Dulu pernah ada yang berkata kepadanya untuk tidak menyepelekan penyakit hati. Ah, lebih tepatnya jangan menyepelekan tentang perasan.
"Senan, jangan selalu diam, ya?" Suaranya yang lembut selalu mampu merangsek masuk dalam pendengarannya dengan tempo waktu satu detik saja. "Kalau sakit bilang. Kalau kamu kecewa bicarakan, luapkan apa yang perlu diluapkan. Mendem perasaan sendirian itu nggak enak."
Tutur kata lembutnya, Senandika ingat betul. Raut berseri yang selalu memujanya lewat tatap. Dulu mungkin ia tidak mengerti dengan kata-kata itu. "Mendem perasaan sendiri itu nggak enak". Sekarang, Senandika bahkan jauh lebih mengerti. Kata-kata itu ditujukan bukan untuknya, melainkan untuk si pengucap sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
RENJANA | JaeRen
FanfictionSeutas cerita tentang hubungan mereka. BxB ©Jeojae 2021