Prolog

13 3 1
                                    

Dia yang terbelenggu
Menunggu waktu terbebas
Menunggu waktu pulang
Bersama bayang waktu petang

***
"Abigail!"

Aku tersentak, tanpa sadar rupanya aku telah tertidur di meja belajar. Sementara Celine, wali kelas tengah menjelaskan di depan sana.
Aksi itu berhasil membuat teman-teman terbahak dengan aku yang menahan malu.
Dengan tatapan tajam dari guru muda berkacamata bulat, suara tawa yang mengema perlahan hening.

Beruntung bel berbunyi yang menyelamatkan. Hingga Celine hanya memberi teguran. Pukul dua belas siang adalah jam kepulanganku, namun ayah sudah menunggu setengah jam lebih awal.

Teman-teman bilang, aku anak kesayangan, sebab sudah lama orang tuaku menunggu kelahiranku. Jadi apa pun yang kuinginkan akan mereka turuti. Tapi, aku juga harus menurut.
Beberapa hal yang kuingat mereka tak seoper proterktif itu dahulu. Namun semuanya berubah ketika hari itu.
Ya, saat tiba-tiba dinding rumah penuh coretan berwarna merah yang tak kupahami maknanya, ada bau amis menguar ketika kudekati. Yang pasti ketika aku melirik ke arah mereka. Pandangan Ayah dan Ibu seolah ketakutan.

"Abigail, cepatlah," kata Ayah melambaikan tangannya padaku.

Aku merapatkan sweater berwarna kelabu, musim dingin memangnya selalu sedingin ini ya? Pikirku bingung.

"Ya Tuhan," gumamku pada diriku sendiri, saat serpihan salju mulai turun kembali, padahal tadi pagi sudah berhenti. Mereka berkumpul dalam gumpalan buram di atas kaca depan sebelum wiper membersihkannya.
Entah hanya perasaanku saja atau bukan. Tapi Ayah menjadi sedikit lebih pendiam dari biasanya, padahal sebelum ini suaranya terus saja mengema mengalahi siaran radio yang biasa terputar di dalam mobil.

Rumahku tak begitu jauh jaraknya dari sekolah, hanya butuh waktu lima belas menit dengan kecepatan sedang, namun karena salju, jalanan kini terlihat seperti lembaran putih, ayah harus memelankan lajunya agar tidak tergelincir. Berkendara dalam keadaan seperti ini harus ekstra hati-hati. Salju terdengar berderak ketika mobil ayah melintasinya.
Kami berkendara dalam keheningan seperti ada rasa canggung. Aku tidak berani membuka pembicaraan karena wajah ayah yang terlalu serius.

"Yah, bisa kita mampir ke toko buku?" tanyaku tiba-tiba ketika ingat Celine mengatakan bahwa kami butuh buku, aku lupa namanya, ada di dalam kertas di saku celanaku, ku catat agar tidak lupa.
Perlu waktu beberapa saat untuk Ayah menjawabnya.

"Tidak."

Aku mengerjap bingung, padahal sebelum ini Ayah akan dengan senang hati mengantarku ke sana. Akhirnya ku jelaskan bahwa Celine yang menyuruhku.

"Kita tidak punya waktu untuk ke sana, sekarang kita harus segera pulang," jawab Ayah dengan suara agak meninggi, aku menyandarkan punggungku ke jok mobil, tak berani melirik. Karena ucapan dari Ayah itu mutlak.

Brak
Suara dentuman terdengar agak keras dari depan mobil, sepertinya ayah baru saja menabrak sesuatu.

"Ayah? Apa yang terjadi?" Tanyaku panik. Beruntung ayah dengan cepat bisa mengeremnya, hingga mobil itu terhenti tanpa tergelincir.

"Tetap diam di mobil," kata ayah memperingati ku.
Tapi namanya saja bocah, larangan berarti tantangan.
Aku turun perlahan dari mobil. Mengintip pelan-pelan hanya butuh beberapa saat untukku terseok mundur ketika melihat apa yang ada di bawah kaki ayahku. Salju berwarna putih kini telah berubah warnanya menjadi genangan berwarna hitam.

"Cepat masuk ke mobil!' bentak ayah ketika melihat wajahku pucat pasi karena syok.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 05, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sweet HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang