Ch.01;Laugh

66 3 0
                                    

Sebuah fenomena muncul tepat saat Kanna menginjak umur delapan belas tahun. Suara tawa seorang lelaki menyelimuti benak. Kata pertama yang dapat Kanna gambarkan saat ia mengalami hal ini adalah 'risi'.

Iya. Gadis bermahkota hitam itu risi dengan segala kejadian aneh yang hampir semua orang mengalaminya saat menapaki umur delapan belas tahun. Kanna tidak masalah mendapati kejadian di luar nalar pikiran manusia, karena pada nyatanya kehidupan seorang Tachibana Kanna sudah tidak lagi di dalam nalar. Hanya saja yang menyebalkan darinya adalah bagaimana lelaki ini—yang Kanna yakini sebagai belahan jiwanya—selalu saja tertawa tidak jelas. Mungkin dalam sehari ada empat kali di waktu yang berbeda lelaki itu selalu tertawa terbahak-bahak.

Kanna mendecih. Hidup belahan jiwanya pasti sangat penuh dengan kebahagiaan sampai sesering itu tertawa.

Meski begitu, Kanna tetap penasaran dengan suara tawa ini. Kini usianya sudah memasuki dunia orang dewasa—dua puluh tahun—namun, selama hidupnya mereka tidak pernah sekali pun bertemu. Semua tawa lelaki yang pernah ia dengar dan jumpai, tak sama dengan tawa lelaki yang berada dalam pikirannya selama ini. Jika boleh berharap—kendati Kanna sudah lelah dengan semua harapan ini—sekali saja, ia ingin melihat belahan jiwanya. Setelah berjumpa, Kanna akan langsung memukul tepat di wajahnya dan mengatakan. "Berhentilah tertawa sialan! Kau berisik!"

"Kau yakin tidak ingin mencarinya, Kanna-san?" Suara lembut menginterupsi Kanna dari lamunan, seolah mengerti hal yang menyangkut dalam pikiran Kanna selama ini.

Kanna menoleh ke samping, dilihatnya seorang wanita masuk ke dalam toko kue dengan sekeranjang kue kering di tangan—Naoki Rima, wanita yang bekerja pada toko kue milik Kanna dari awal mula toko ini berdiri. Kanna melepas senyum tipis, ia menggeleng pelan. "Tidak. Aku lebih memilih bekerja sampai pingsan dibanding harus mencari belahan jiwaku yang selalu tertawa seperti orang gila itu." Jawab Kanna.

Rima menghela napas kecil. "Kau sudah lebih dari overworking, Kanna-san."

Kanna berjalan mendekat ke arah Rima, mengambil alih keranjang kue dari tangannya. "Tapi aku tidak merasa." Balas Kanna santai.

Kanna kembali berjalan menuju dapur dalam toko kuenya, baru beberapa langkah ia bergerak, kakinya memijak berhenti di tempat. Suara tawa belahan jiwanya mulai terdengar kembali, kali ini terasa begitu dekat. Kanna mengubah haluannya ke luar toko. Mengamati setiap lelaki yang berlalu-lalang di depan toko dan telinga mencoba lebih menangkap asal tawa ini. Namun, sangat disayangkan suara tawa belahan jiwa seketika menghilang. Kanna sebal sendiri, lantas kembali membawa keranjang kue kering ke belakang.

"Siapa ya yang tadi bilang tidak ingin mencarinya dan lebih memilih bekerja?" goda Rima tiba-tiba.

Kanna terdiam sejenak kemudian melepas kekehan halus. "Baiklah, aku ingin menemuinya." Jawab Kanna tak menyangkal. Kaki kembali digerakan menuju dapur, namun kembali tertahan kala mendengar suara lonceng pada pintu terbuka. Menduga yang datang adalah seorang pelanggan, Kanna tersenyum ramah menyapa, "Selamat datang!"

Lelaki jangkung bermahkota perak masuk ke dalam toko kue milik Kanna. Lelaki itu mendekat ke arah Kanna—menjulurkan tangannya yang memegang sebuah kertas kecil. "Aku mendapatkan kupon kue dari toko ini, apa masih berlaku?" tanyanya.

Iris merah milik Kanna memperhatikan kupon yang dipegang lelaki itu, lantas tersenyum memandangnya. "Tentu. Kebetulan hari ini adalah pemakaian terakhir kupon itu." Balas Kanna.

Lelaki itu ikut mengembang senyum lebar. Sepertinya ia sangat senang karena kupon kue gratis itu masih dapat digunakan. "Anda dapat memilih tiga jenis kue dari jajaran sini," jelas Kanna menunjuk pada cake showcase.

Kanna memperhatikan lelaki jangkung itu, dia terlihat begitu kesulitan memilih salah satu kue yang ada, pendengaran Kanna juga sesekali menangkap mulut lelaki itu tengah bergumam sendiri. Kanna diam-diam tertawa kecil. "Anda begitu menyukai kue, ya?" tanya Kanna.

Lelaki itu mendongak ke arah Kanna kemudian ia tertawa. "Begitulah, aku menyukai sesuatu yang manis."

Kanna berhenti tersenyum. Tunggu sebentar ... Tadi, telinga Kanna tidak salah dengar bukan? Suara tawa lelaki itu, suara yang sama persis dalam benak Kanna selama ini. Apa jangan-jangan lelaki di hadapannya ini benar belahan jiwanya yang sudah Kanna tunggu?

"Maaf, tuan ... Tapi, boleh saya dengar suara tertawa anda sekali lagi?" pinta Kanna ingin memastikan.

Lelaki itu mengernyit bingung, namun tetap ia lakukan meski canggung. Kanna terbelalak kaget, benar. Suara tawanya kembali muncul dalam pikiran Kanna.

"Kalau boleh tahu, siapa namamu?" Kanna bertanya.

"Gintoki. Sakata Gintoki." Jawab lelaki itu.

"Begitu ya ...,"

Kanna menunduk, kedua tangannya mengepal erat. Lelaki itu—Gintoki—memperhatikan Kanna dengan tatapan heran. "Kau baik-baik saja?" tanya Gintoki khawatir.

Tiba-tiba saja Kanna menarik kerah baju milik Gintoki sembari tersenyum dengan aura gelap di sekelilingnya.

"Berhentilah tertawa sialan!"

"Berhentilah tertawa sialan!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 27, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cry And Laugh • Sakata GintokiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang