Pencarian

17 5 0
                                    

2021

Jalan yang berkelok-kelok membuat para penumpang bus tidak bisa tidur dengan nyaman, mereka berkali-kali tersentak akibat sopir yang suka belok dengan cepat. Kecuali pria yang mengenakan jaket denim itu, dia bahkan sangat asik di dunia mimpinya. Ia tidak peduli dengan sopir yang suka menyetir ugal-ugalan, karena yang jelas ia butuh istirahat. Perjalanan jauh membuatnya bosan dan mudah mengantuk.

Sopir menginjak rem dengan mendadak. Dahi para penumpang membentur kursi di depannya, semua terkejut. Suasana pun hening, mereka mulai bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang terjadi. Mereka saling bertukar pandang. Salah satu penumpang berdiri dari kursi untuk mencari tahu jawaban.

Sementara pria berjaket denim tadi baru membuka matanya ketika foto yang ada di tangannya lepas. Ia terbangun dan langsung mencari-cari foto tersebut sampai menyalakan lampu untuk menerangi tempat duduknya yang gelap. Pria berusia dua puluh delapan tahun itu adalah Dio.

"Sialan, pake acara jatuh segala," umpat Dio. Ia menundukkan kepalanya dan menemukan foto miliknya berada di dekat kakinya. Pria berambut ikal itu mengulurkan tangannya ke bawah dan bersusah payah menggamit ujung foto tersebut hingga akhirnya ia berhasil mendapatkannya.

Dor! Dor! Dor!

Dio terdiam beberapa detik setelah mendengar rentetan tembakan di luar. Ia tidak langsung mencari tahu siapa yang membawa senjata itu, pemuda tersebut ingin mengamati kembali dan menunggu apakah akan ada yang menembak lagi atau tidak. Posisi badannya masih menunduk. Di tengah kesunyian terdengar pintu bus terbuka, disusul oleh langkah kaki manusia.

"Keluar semua!"

Dio cepat-cepat mengambil fotonya dan menyimpannya ke dalam saku jaket. Ia menegakkan badan dan melihat wajah pria tersebut. Dia berkumis, rambut panjang, dan matanya juling. Orang itu begitu berani membajak mobil bus, padahal para penumpang bukanlah berasal dari kalangan orang kaya. Dio yakin hal itu. Lantas apa tujuan mereka sebenarnya kalau bukan untuk merampas uang penumpang?

"Keluar semuanya!"

Dor!

Spontan para penumpang berteriak histeris. "Argh!"

Seluruh penumpang buru-buru pergi dari kursinya dan keluar dari bus.

"Tidak untukmu, cantik," ujar pria jelek itu. Seorang wanita berambut panjang itu dilarang keluar dan memintanya untuk tetap duduk di tempat.

Dio melihat bus sudah ditinggali oleh sopir dan penumpang yang lain. Mereka kabur entah kemana, tapi yang jelas pemuda itu tidak peduli. Perjalanannya terasa mengecewakan ketika mobil yang ia tumpangi harus berhenti karena dibajak oleh preman yang tidak ada apa-apanya bagi Dio. Jujur saja, kalau ia mau bermain saat ini, preman itu pasti sudah terkapar. Namun, ia masih menahannya.

Pembajak itu tidak sendirian, ia membawa kawannya yang lain untuk ikut masuk. Dari bawah sampai atas, yang Dio amati adalah gaya pakaian mereka yang jelek dengan rambut awut-awutan. Para pembajak terebut tampak seperti orang gila dan ... itu wajar kalau kesannya menakutkan. Siapa yang mau dekat-dekat dengan mereka?

"Wow, kau cantik sekali, sayang," ujar salah satu dari mereka. Kedua sudut bibirnya naik ke atas, itu tidak memperbaiki penampilannya dan justru tambah mengerikan.

Pria bertubuh kurus menyikut perut pria bermata juling di sampingnya. "Ada yang belum keluar ternyata, dia pasti pengen liat kita menggauli wanita ini atau ...."

"Ingin ikut merasakan wanita cantik ini. Hahaha!"

Seisi bus tertawa yang bahkan sama sekali tidak lucu. Dio merasa tidak yakin melayani orang-orang sinting di hadapannya, tapi melihat wanita yang sudah ketakutan itu benar-benar membuat Dio berubah pikiran. Tidak ada satu pun orang yang bisa menolongnya kecuali Dio, dialah yang pasti diharapkan oleh wanita berambut panjang itu.

Dio mengalihkan tatapannya dari wajah wanita tersebut ke pria bermata juling. Orang itulah yang membuatnya gerah dan ingin menonjok muka jeleknya. Pemuda tersebut berdiri dari kursi sambil membawa tasnya. Ia pergi melewati para preman tersebut dengan santai, tidak ada kontak mata, begitu saja.

"Bagus, kupikir kau ingin menjadi pahlawan kesiangan. Hahaha!" ejek pria bermata juling. "Sekarang, tidak ada yang bisa menyelamatkanmu, sayang."

Dio melepaskan tas di bahu dan melemparnya keluar begitu saja. Ia melihat sopir dan para penumpang yang lain sedang ditawan oleh dua pria bersenjata. Mereka menatap balik Dio, dan mungkin berpikir kalau dirinya akan bergabung bersama mereka.

Dugaan mereka salah besar, Dio justru menarik diri ke dalam bus dan menutup pintunya. Ia berjalan mendekati para preman jelek yang sudah berani menghambat perjalanannya. Dio pun meregangkan badannya sesaat karena tubuhnya yang mengalami pegal-pegal setelah duduk berhari-hari di kursi.

"Bos, bos ... liat!" panggil pria berambut pirang sambil menunjuk Dio. "Ternyata ada pahlawan kesiangan di sini."

"Oh ... hey, bung. Ada apa? Kau mau ikut menonton atau ikut bersama kami atau ingin menjadi pahlawan kesiangan?"

Dio tidak menjawab. Masih dengan posisi berdiri tegap dan tangannya mengepal kuat. Tatapan tajamnya tertuju pada pria yang baru saja mengejeknya.

Salah satu di antara mereka mendatangi Dio dengan berani. Tubuhnya paling kecil di antara yang lain. Aroma tubuhnya sama sekali tidak disukai oleh Dio. Bau seperti bunga bangkai. Wajahnya tampak layu dengan tatapan sayu. Jelas sudah kalau mereka sedang dalam kondisi mabuk. Dio menoleh ke belakang dan menekan salah satu tombol di mobil untuk menyalakan lampu.

"Hei, bung!"

Begitu tangan kotor mereka menepuk bahu, Dio langsung menyikut lehernya dengan keras hingga pria itu kesulitan bernapas. Seluruh rasa kesalnya tersalurkan begitu saja. Pemuda itu belum puas, ia menendang dada pria tadi dengan kuat hingga tersungkur ke lantai.

Permainan baru dimulai dan ini menjadi pemanasan yang menarik. Sekarang mereka tahu jika pemuda yang dianggap sebagai pahlawan kesiangan itu tidak bisa diremehkan. Dia menjadi ancaman yang patut diperhitungkan karena Dio diam-diam menghanyutkan.

Salah satu temannya membantu pria tadi berdiri setelah ditendang kasar oleh Dio. "Kau baik-baik saja?" tanyanya. Ia menatap Dio. "Hei, berani-beraninya kau!"

Dio memiringkan sedikit kepalanya untuk menghindari mata pisau dari sang lawan. Ia sempat melirik senjata tajam yang berkilau itu, lalu menatap mata sang pemilik. Salah satu alisnya terangkat. Dio mencengkeram pergelangan tangan pria tersebut dan tangan yang lainnya mendorong siku ke atas dengan kuat hingga pisaunya jatuh ke bawah.

"Hanya itu?" ejek Dio. Ia akhirnya menyunggingkan senyuman.

Buk!

Dio menghajar wajah pria tersebut dengan sekali tonjokan. Namun, preman yang lainnya ikut menyerang Dio secara keroyokan, mereka sama sekali tidak memiliki nyali dan payah. Pemuda itu pun menumbangkan mereka satu per satu dengan membenturkan kepala mereka ke kaca, menyikut perut, menusuk pahan sang lawan dengan pisau mereka sendiri, sampai mendorongnya keluar melalui jendela mobil.

Ketika Dio mengisi tenaga, lawan dari belakang tiba-tiba menyerangnya dengan besi penyangga bus. Kepala Dio menjadi pusing tujuh keliling. Pandangannya buyar dan orang-orang di depannya terlihat mengganda. Salah satu tangan Dio memegang sandaran kursi untuk menahan tubuhnya yang ingin roboh.

Momen tersebut dimanfaatkan lawan yang lainnya untuk bangkit. Mereka menghajar balik Dio habis-habisan sampai hidung dan mulut pemuda itu mengeluarkan cairan kental berwarna merah. Wanita berambut panjang tadi merasa kasihan dan ingin membantu, tapi ia tidak bisa melakukan apa pun selama pria bermata juling tersebut berada di depannya.

Dio tersungkur dan tidak bergerak lagi. Ia benar-benar tidak merespon setelah kakinya disenggol-senggol.

Apakah Dio mati?

THE ART MAN. VOL 2 : TELEKINETORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang