Part 1

667 49 2
                                    


“Hari ini, ibu akan menyampaikan sebuah rahasia yang telah lama tersimpan, tentang ibu dan ayahmu.”

Kalimat itu sentak membuatku kaget. Dulu, berulangkali aku ingin tau tentang ayah tapi ibu selalu mengelak. Sekarang tanpa diminta, ibu bersedia membuka lembaran kehidupan yang telah lama tak tersentuh.

Aku memperbaiki posisi dan duduk di depan ibu menatap mata lelah wanita yang telah melahirkanku itu. Ibu menarik napas panjang, kemudian melepaskannya perlahan. Getaran di dadanya terasa berat membuka kenangan yang tertutup rapat selama ini.

Ibu mengalihkan pandangan menatap ke arahku, manik matanya menatap lama seperti sedang melihat sesuatu di wajahku.

“Ayahmu masih hidup, Nak,” lirih ibu pelan tapi masih bisa terdengar dikeheningan malam.

Jantungku berdegup kencang antara sedih atau bahagia mendengar kabar ini. Ayah, sosok yang ingin kuketahui keadaannya sejak dulu, sekarang terucap dari bibir wanita yang telah ditinggal pergi sebelum aku lahir.

Bagaimana tidak, masih teringat ketika aku menginjak kelas lima sekolah dasar, saat itu ibu baru saja menghadiri undangan dari guru kelasku karena anaknya ini terlibat perkelahian di sekolah.

Teman-teman mengejekku karena tak punya ayah. Aku yang membela diri dan harga diri ayah melempar batu pada mereka sehingga salah satu dari mereka harus di bawa ke dokter karena luka di pelipisnya.

Ibu marah, menangis dan memelukku. Ia memohon agar tidak terpengaruh ejekan teman dan tetap sabar. Sejak saat itu aku tak pernah lagi bertanya tentang ayah sampai detik ini.

“Ma … maksud ibu apa?”

Dengan air mata yang mulai menetes, ibu kembali bercerita tentang siapa laki-laki yang darahnya mengalir dalam tubuhku.

Hati terasa berdenyut mendengar penuturan ibu, bukan hanya aku tapi wanita yang selalu terlihat tegar itu begitu terluka. Selama ini ia sangat pintar bersembunyi di balik senyum manis bibirnya.

Bukan harta yang diharapkan wanitaku itu, tapi janji yang telah terucap delapan belas tahun lalu untuk kembali pulang, menjalani sisa hidup bersama dalam suka dan duka. Sampai hari ini, di saat tubuh yang dulu sehat perlahan menua, namun yang ditunggu tak pernah menepati janjinya.

“Buka lemari itu.” Tunjuk ibu pada sebuah lemari tua yang ada di sudut kamar. “Di bawah pakaian rak paling atas,” lirihnya kembali.

Aku mencoba memasukkan tangan dan meraba dasar rak. Sebuah amplop warna coklat tersentuh jemari. Aku menarik amplop itu dan membawanya pada ibu.

“Bukalah.”

Amplop usang yang sudah lusuh itu mendebarkan dada. Beberapa kertas, buku nikah dan tiga lembar foto keluar dari tempatnya.

Mataku berkaca-kaca membuka lembaran buku nikah kedua orang tuaku. Sepasang foto laki-laki dan perempuan tampak di sana.

Amar Prawira, nama laki-laki yang menikahi ibu 19 tahun silam.

Kutatap wajah yang tak pernah kulihat sebelumnya, perlahan dada terasa sesak, pandangan mengabur karena butiran air mata mulai berjatuhan.

“Itu ayahmu, Nak.”

Ibu menatapku sendu. Mata lelahnya berkaca-kaca, Perempuan itu menghela napas panjang, dan mulai menerawang menatap langit-langit kamar mengenang kenangan sembilan belas tahun silam yang berakhir dengan penantian tak berujung.

“Di … mana ayah sekarang, Bu?”

Rasa ingin tahu ku semakin besar, jika punya kekuatan ajaib, ingin rasanya hadir saat ini juga dihadapannya.

Rahasia IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang