Ola Diningrum Hartoto
Salah satu anak dari keluarga besar bapak Hartoto yang merupakan penjual alat-alat rumah tangga di persimpangan perumahan elit Anggrek Tua di bukit Bandung. Bukan orang kaya, tapi anaknya mujur semua.
Bapak Hartoto punya anak enam, dua perempuan paling tua dan empat laki-laki bontotan, dan Ola anak perempuan paling kecil di rumahnya meski umurnya sudah dua puluh delapan.
Kakak Ola paling tua bernama Adriana, seorang dokter spesialis. Adiknya nomor empat, Daud si manager di perusahaan asing. Adiknya nomor tiga, Huin memiliki bisnis online laris. Dan Adiknya nomor dua Agra kuliah beasiswa Cambridge. Yang terakhir Adiknya paling kecil Zeze terkenal di komplek karena ikut kelas akselerasi dimana saat berusia tiga belas tahun dia sudah berada di kelas 3 SMA.
Kan mujur semua!
Ola? Apa kabar?
Ini masalahnya.
Setiap keluarga itu pasti ada buang busuknya. Dan takdir telah tercatat di lauhul Mahfudz bahwasanya Ola harus menjalani hidup sebagai guru SD swasta.
Sudah swasta, namanya tak tercantum pula dalam dapodik karena tidak sesuai jurusan. Akhirnya ia selalu lewat kalau dapat bonusan. Mau dengar yang lebih nyelekit lagi? Ola itu kerja pun karena di paksa ibunya di sekolah milik sang teman.
Kenapa harus di paksa? Itu semua karena Ola selalu memiliki cita-cita untuk meneruskan kedai bapaknya. Maklum Ola anak bapak.
Tapi Ola harus bersyukur dengan nikmat Allah ini karena Ola sadar tidak semua orang seberuntung dirinya yang memiliki keluarga kepala encer semua.
Meski bersyukur kadang Ola juga sering insecure. Apalagi dengan sang kakak yang usianya terpaut hanya empat tahun.
Kak Adriana itu sudah cantik, pintar, sukses, jodohnya juga dekat. Kakaknya menikah saat sesusia dengan dirinya. Beuh, jodohnya nggak main-main, si pengusaha properti upper class. Giovanni Pradipta Suryadarma.
Orang cantik mah begitu. Dapat yang mujur-mujur.
Apa nasib Ola yang di cap muka gagal oleh sepupunya. Bayangkan saja semua keluarganya good looking cuy. Eh, Ola sendiri yang pesek. Untung badannya tinggi kalau tidak dia bakal di bilang gendut karena beratnya hampir sama dengan adiknya yang nomor empat.
Ola juga sebenarnya pengen jadi dokter waktu kecil tapi apa daya Ola yang cita-citanya berubah tiap tahun hingga orang tuanya bingung untuk menentukan minat Ola sejak kecil.
Dia serba bisa tapi tak ada satupun yang ia tekuni makanya orang tuanya berlepas tangan.
Begitu juga dengan jodoh. Orang tuanya juga berlepas tangan. Kenapa? Di usianya yang dua puluh delapan Ola masih demen buka tutup kulkas cuma liat lampunya mati atau idup. Gila kan?!
Intinya Ola kekanakan.
Bapak Hartoto tidak memaksa karena Ola itu anak kesayangannya. Beda dengan ibu Nining yang sering memberi ceramah tiap hari hanya untuk mengingatkan anaknya itu kalau sebentar lagi usianya tiga puluh.
"Keluar sana! Antar pakaian Abang iparmu sekalian bergaul sama manusia! Jangan di kamar aja ketawa-ketawi cuma karena nonton orang Cina! Kau sebentar lagi bangkotan."
Nah, baru juga di bilang. Itu suara buk Nining sudah buat Ola memanyunkan bibirnya.
"Apa sih buk." Ketusnya keluar juga. "Lagipula itu orang Korea bukan Cina." Jelasnya yang membuat ibunya naik pitam.
"Nggak urus aku. Ya udah sana pergi. Keburu kakakmu pulang jemput bajunya nanti. Kasihan dia bolak balik." Ibunya bahkan tak melihatnya.
"Naik apa buk? Itu Garasi kosong nggak ada motor." Ola protes setelah ia selesai berbenah dan menenteng tas Dior milik sang kakak.