O2. To me, you're very precious

230 30 2
                                    




***


Lisa menatap rumah bercat biru yang tampak suram jika diperhatikan lebih dalam. Ini sudah hampir 5 menit dan sang kekasih masih belum kembali. Ada rasa khawatir dan tidak nyaman begitu mengijinkan Jennie masuk sendirian ke dalam sana, Lisa takut jika ternyata ayah sang kekasih ada didalam juga.

Dia juga sudah mengetahui sedikit-banyak tentang yang terjadi pada sang kekasih, pun itu juga setelah dirinya bertanya pada Shiho jika tidak, dia tidak tahu pasti apa yang terjadi. Jennie benar-benar menyembunyikannya dengan baik.

Jiyong, ayah Jennie juga Shiho, jarang kembali ke rumah setelah meninggalnya Sandara, itu yang Shiho katakan. Pun ternyata setelah kembali ke rumah, Jiyong hanya meminta, ah bukan, tapi memaksa Jennie untuk memberikan uang dan Shiho tidak tahu untuk apa uang itu. Jika tidak, maka punggung Jennie yang menjadi sasarannya.

Kata Shiho, Jennie juga tidak pernah mengeluh sama sekali, apalagi menangis ketika adiknya mengobati. Ketika ditanya, sang kekasih juga menjawab hal yang sama, baik-baik saja atau justru malah meminta maaf.

Lisa gemas, campur kesal. Jennie-nya itu tidak punya kesalahan, mengapa selalu meminta maaf. Jennie-nya juga manusia, mengapa selalu berkata baik-baik saja padahal justru sedang merasa ber kebalikannya.

Juga, mengapa ada ayah sekejam Jiyong? Mengapa harus ada?! Setidaknya jika ingin uang harusnya pria itu bekerja bukan malah bergantung pada sang anak. Jika suatu saat nanti dia bertemu dengan Jiyong, Lisa tidak akan segan-segan melempar uangnya tepat di depan wajah pria itu.

Peduli setan dengan ayah mertua atau harusnya restu agar bisa selalu bersama dengan sang anak. Ugh, intinya Lisa sudah di tahap kekesalan yang tidak bisa diganggu gugat.

Prang!

Matanya mengerjap dengan cepat. Lisa pasti tidak salah dengar, itu jelas suara pecahan. Tanpa memperdulikan hitungan yang ternyata sudah lewat dari batas, Lisa langsung berlari masuk kedalam.

"Nini, itu suara apa?"

Tubuhnya kini menuju kamar dengan pintu yang terbuka lebar dan setelah itu menemukan sosok Jennie dengan seorang pria yang bisa Lisa tebak adalah Jiyong.

"Nini..."

Bibirnya kelu untuk berbicara, matanya dengan cepat melihat ke sekitar sebelum akhirnya menarik tubuh sang kekasih ke belakangnya, tangannya menggenggam erat jemari kecil yang bergetar itu.

Kamar ini... sangatlah berantakan. Bahkan lebih berantakan dari rumah yang habis di maling. Lisa ingin marah. Lisa ingin mengamuk. Lisa ingin sekali, kalau bisa, membunuh pria di hadapannya karena sudah menyakiti kekasihnya.

Lisa kemudian tersenyum tipis, "Nini kedepan dulu ya? Ada yang mau aku omongin disini? Gapapa?"

"Lili... jangan kenapa-napa"

Lisa mengangguk sambil mengelus surai hitam sang kekasih, dia berjanji tidak akan kenapa-napa dan juga berbuat yang macam-macam. Matanya terus fokus pada Jennie untuk tetap memastikan sang kekasih sudah keluar lalu menatap tajam pria di depannya.

"Selamat malam paman, aku Lisa, kekasih dari anakmu" Ujarnya sambil sedikit membungkukkan badannya lalu kembali menatap tajam Jiyong.

Jiyong mengangguk-angguk, "Jadi anakku menjalin hubungan sampah seperti ini"

"Hm benar, hubungan sampah yang paman bilang ini membuat anakmu bahagia lebih dari apa yang telah paman lakukan seumur hidupnya,"

"Juga, hubungan sampah yang paman bilang ini lah yang akan bertahan sampai tua nanti. Kami saling mencintai juga menyayangi, jadi paman tidak perlu khawatir dengan hubungan sampah ini" Imbuh Lisa.

Hug [Jk.Lm]  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang