Aku Ravi, seorang sarjanawan yang memutuskan untuk menjadi seorang pewarta sejak negri ini dijajah Covid 19. Tak banyak inginku dengan profesi ku saat ini, aku hanya ingin memberikan sesuatu yang berbeda kepada mereka yang selama ini sering terabaikan oleh mereka-mereka yang terbahak di singgasana megah.
Banyak hal yang membuatku tertarik dengan cerita-cerita kehidupan yang menurutku sendiri perlu untuk disoroti. Kemiskinan, kelaparan, hingga kasus kriminalitas yang semuanya itu dengan alasan ekonomi yang runtuh.
Perjalanan cintaku juga ternyata segelintir dari cerita kehidupan yang bagiku sangat monoton, membosankan, bahkan ku yakin tak satupun di sana menginginkan kejadian cintanya serupa denganku.
Kebiasaanku yang sering kali dianggap tak bermanfaat di mata ke dua orang tuaku tapi sangat menyenangkan bagiku yaitu jalan-jalan, menyususri tiap tapak bumi, meski awalnya tanpa rencana apapun. Dan dari sinilah kisahku dimulai.
Selain hobi mengitari tiap jalan yang ada di Kotaku, aku juga termasuk salah seorang yang menyibukkan waktu dengan organisasi di luar profesiku sebagai seorang jurnalis. Aku tergabung dalam kepengurusan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) di Kabupaten domisiliku. Sebenarnya tak banyak waktu yang aku luangkan untuk organisasi ini, namun malam itu entah mengapa aku berkeinginan kuat untuk menyambangi gedung yang menjadi kantor kami.
Ternyata di gedung itu sedang ada kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi eksternal ternama, namun sayang tanpa mengikuti prosedur yang semestinya, dan hal ini menjadi sorotanku. "Ada apa? Kok sekelas organisasi besar bisa-bisanya mengangkangi prosedur?" Pertanyaan ini yang berputar dalam otakku.
Tak lama saat aku berada dalam pertanyaan yang berkecamuk, tiba-tiba hadir beberapa gadis belia di hadapanku, sontak aku perhatikan mereka satu persatu dengan seksama, dari 3 orang gadis tersebut, mataku justru lebih tertarik pada salah satu di antara mereka.
"Dek, kalian peserta LK apa panitia?" Tanyaku menyelidiki.
"Panitia Bang, ada apa ya Bang?" Jawab salah satu di antara mereka yang belakangan aku tahu namanya Nita.
"Tak ada apa-apa, tapi aku dapat kabar kalau kalian menggunakan gedung ini tanpa izin ya?" Tanyaku lanjut.
"Ada kok Bang, enak aja bilang kami gak pake izin pemakaian gedung," ungkapnya ketus.
"Bukan, maksudku kalian izinnya langsung ke Sekretaris KNPI, dan itu artinya kalian melangkahi bidang keamanan yang harusnya kalian kabari lebih dulu," sambungku.
"Hemm, kalau itu sih kami gak tau Bang, yang pasti kami udah dapat izin kok," tambahnya.
"Ya ya ya, btw, nama kalian siapa-siapa aja ni?" Ujarku.
"Aku Nita Bang," jawab yang dari tadi tanya jawab denganku.
"Sebelahnya Nita?" Tanyaku.
"Absah," jawabnya singkat.
"Kamu?" Tanyaku pada yang sebelahnya.
"Meli Bang," jawab nya.
"Ok, ternyata di antara kalian selain judes, ada yang cuek juga ya? Aku jadi ragu kalau kalian ini organisator" kataku sambil sedikit menyindir dengan mengarahkan mata pada salah seorang di antara mereka, Absah.
"Maksud Abang apaan sih?" Pake ngarahin mata ke aku?" Protes Absah saat tahu arah eye contact ku mengarah padanya.
"Gak ada maksud apa-apa kok, tapi kok mendadak nyolot gitu ya nadanya? Atau jangan-jangan ada yang merasa?" Ledekku balik ke Absah.
"Yee, gak ada yang ngerasa juga tuuh," tambahnya makin jutek, pake banget malahan.
Tapi anehnya, dengan tingkahnya yang ketus, dan sok cuek itu, aku malah jadi makin tertarik dengan Absah dan membuatku ingin mengenalnya lebih jauh lagi.
Untuk melanjutkan misiku untuk mengenalnya lebih dalam lagi, aku tak lupa untuk meminta kontak nya, dengan alasan sekedar berbagi tentang informasi yang barangkali dibutuhkan. Dan you know what? Kontaknyapun akhirnya ku dapatkan.
Selang beberapa menit, aku, Absah dan dua temannya kembali pada bincang-bincang dengan kesudahannya akupun pamit untuk pergi dari lokasi pengkaderan tersebut.