Mentari Permata Hati

15 9 5
                                    

Sisa hujan tadi malam masih terasa, langit bahkan masih gelap meskipun waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Dinginnya udara pagi ini membuat sebagian orang enggan meninggalkan peraduan. Sedangkan aku tidak termasuk dalam kategori sebagian orang tersebut. Sedari sejam lalu aku sudah duduk termangu di depan teras rumah, ditemani secangkir kopi dan sepiring pisang goreng yang sudah tak hangat lagi.

Bahkan, sebatang nikotin yang ku bakar beberapa menit lalu senantiasa ku biarkan terselip diantara jari tengah dan telunjuk, hingga abunya berjatuhan tanpa dihisap. Aku masih terlalu asik terjebak pada kilasan masa lalu dengan seseorang yang seakan tergambar dalam otak tanpa mampu dicegah. Rasanya baru kemarin aku menyambutnya, rasanya baru kemarin aku mengenalnya. Masih  segar dalam ingatan ku tawa, tangis dan rengekan manjanya. Terutama seminggu lalu saat dia merengek minta dibelikan jilbab baru berwarna ungu bergradasi biru. Dalam kesendirian aku tersenyum, mengingat ketika dia memeluk dan mengucapkan terimakasih dengan senyum manis andalan saat ku beri hadiah boneka cacing idamannya setahun lalu. Kemudian senyumku meredup ketika mengingat dia yang menangis malam itu.

Lamunan ku bunyar saat terasa tepukan halus mendarat di bahu kanan ku. Helaan napas panjang keluar dari mulut wanita setengah baya yang menepuk baku ku. Pandangan ku masih fokus ke arah halaman yang banyak ditumbuhi tanaman hias yang entah apa namanya.

"Kenapa kopinya gak diminum? biasanya kamu suka banget minum kopi kalau hujan begini," tanyanya sembari mendudukkan diri di samping kanan ku.

Aku hanya menggelengkan kepala, membisu enggan menjawab pertanyaannya. Dapat ku dengar dia kembali menghela napas panjang. Sejenak ku lirik keberadaannya, aku terpaku melihat matanya yang memancarkan sendu menyimpan seribu.

"Bukan kamu aja yang sedih, ibu juga sedih. Ibu merasa gagal menjadi orang tua karena musibah ini. Tapi, takdirnya sudah begini kita bisa apa. Tuhan sudah berkehendak dan kita tidak bisa menolak. Oleh karena itu, kamu harus berhenti menyalahkan diri sendiri. Berhenti menghukum diri kamu sendiri dengan rasa penyesalan. Karena memang bukan kamu yang salah." Ibu menggenggam tangan ku. Dapat ku lihat matanya yang kini berkaca-kaca.

"Sekarang hanya tinggal kita berdua, kita harus ikhlas melepas mereka yang pergi. Ibu gak maksa kamu untuk melupakan dia. Cuma kamu sekarang yang ibu punya, cuma kamu yang ibu andalkan. Oleh karena itu ibu mohon kamu harus bangkit dari keterpurukan. Bisa kan? dia juga bakal sedih kalau liat lelaki kesayangannya gak punya hasrat hidup seperti kamu. Kamu tambah jelek tau gak? " ibu terkekeh pada kalimat terakhir. Tapi aku tau ada tangis tak kasat mata disana.

"Aku akan mecoba." ku rengkung tubuh rapuh ibu dalam dekapan.

***

Sudah lewat tengah, hujan yang ku harap berhenti makin menujukan kuasa. Rintiknya tak lagi bagai melodi, derainya semakin deras berteman kilat yang menyambar.

Ku lirik secangkir kopi yang baru saja ibu buatkan. Tak ada lagi hasrat untuk menyesapnya ku abaikan di atas nakas. Ku edarkan padangan pada kamar yang di dominan warna ungu dan biru. Bukan kamar ku, tapi kamar dia. Perempuan yang paling ku cinta setelah ibu. Dia Mentari, adik kesayangan yang ku jaga bagai berlian tetapi hancur dalam genggaman lelaki bajingan.

Sungguh aku terjatuh dalam neraka terdasar pada kehidupan yang bernama penyesalan. Adai saja aku tidak pernah bertemu dia, andai saja aku tidak mengenalkan Mentari dengan dia, andai saja malam itu aku tidak mempercayakan Mentari kepada dia. Andai saja ... ya, andai saja.

Bodoh, aku memang bodoh. Kembali aku menyalahkan diri sendiri. Dengan frustrasi ku pukul kepala berulang kali. Ya aku bodoh, sekeras apapun aku memukul Mentari tidak akan kembali. Aku menangis mengingat dengan jelas sesaat sebelum Mentari pergi.

Flashback

Saat pulang kerja ku lihat beberapa orang menggotong tubuh ringkih perempuan dari pinggir jalan. Hal itu mengakibatkan kemacetan, karena penasaran aku pun ikut-ikutan menepi kepinggir jalan dan seketika hati terasa ditikam ribuan pisau.

"Mentari!" aku berteriak kencang dan menerobos kerumunan seperti orang gila. Aku menangis melihat adik ku yang biasa menggunakan pakai sopan menutup aurat kini hanya terbalut selimut entah milik siapa. Wajah ayunya bahkan kini penuh memar membiru dengan jejak air mata yang masih baru. Sempat pula kulihat tanganya yang penuh sayatan benda tajam.

"Saya Kakaknya," ucap ku parau menjawab tatapan bertanya beberapa orang diasana.

Dalam perjalanan kerumah sakit tak pernah ku lepas genggaman tangan pucatnya.

"Sakit Kak, hiks ... hiks ... sa ... kit banget Kak." Rintih Mentari.

"Ssttt ... Sebentar lagi kita sampai. Kamu harus kuat," bisik ku berusaha menenangkan.

"Sa ... kit hiks ... hiks,"

Sungguh aku tak kuasa menahan tangisan di sampingnya. Aku menangis sembari mengecup punggung tangannya yang pucat penuh luka. Siapa gerangan makhluk biadab yang tega melakukan ini semua. Aku tidak buta, dapat ku tebak bahwa Mentari merupakan korban pelecehan seksual.

***

Mentari segera mendapatkan perawatan intensif. Kini aku dan ibu tengah menunggu dengan cemas. Ibu sendiri pergi ke rumah sakit diantar oleh tetangga sebelah rumah. Meskipun Ibu terlihat tenang, tapi sejujurnya dia sama hancurnya dengan ku. Ditambah lagi dengan hasil laporan polisi mengatakan bahwa Mentari merupakan korban pelecehan seksual yang di lakukan oleh sekelompok yang terdiri dari enam orang. Para pelaku bahkan sudah diamankan polisi, yang ternyata pelaku utama adalah sahabat ku sendiri. Aku marah, sangat marah hingga rasa ingin membunuhnya saat ini juga.

Hati ku makin hancur saat dokter menyatakan bahwa kondisi Mentari sangat parah, fisik maupun mentalnya terluka. Aku dan Ibu berjalan beriring menuju berangka tempat Mentari tergeletak dengan lemah. Banyak kabel-kabel penunjang hidup yang tak ku tau disebut apa.

Kulihat tubuh Ibu bergetar hebat. Segera ku bantu Ibu duduk disamping berangka Mentari.

"Sa ... kit bu," lirih Mentari.

Ibu tak mampu berkata hanya mampu menangis tertahan sembari mengusap sayang rambut Mentari.

"Kamu harus kuat Dek." aku mengusap pelan bahu Mentari berusaha memberikan kekuatan.

"Sakit Kak ... Mentari ngantuk." Mata Mentari memancarkan kesakitan yang teramat.

"Mentari ... mau tidur, Kakak ... Mentari ... capek," lirih Mentari dengan napas tersengal.

"Kakak, Mentari lupa doa tidur bagaimana?" tanyanya dengan lemah.

Ku tarik napas panjang dan berusaha tegar. Ku rendahkan tubuh, tepat disebelah telinganya aku bisikan kalimat penenang.

"La illaha."

"La ... illa ... ha."

"Illa l-lah."

"Il ... la ... l-lah."

Saat itulah dunia ku runtuh. Ku rengkuh tubuh Ibu yang tengah terisak kehilangan buah hatinya. Sang gadis permata hati telah pergi.

Flashback off

Tak terasa air mata ku kembali mengalir. Tangisan ku pecah bersautan dengan halilintar di luar sana. Namun, aku merasa ada seseorang yang mengusap bahu ku. Ya, dia ada di sana. Mentari, tengah duduk di samping ku.

"Mentari, maafkan Kakak," pinta ku sembari berlutut di depan Mentari.

"Kakak, Mentari mohon kakak jangan seperti ini,"

"Gak! ini semua salah Kakak. Seharusnya malam itu Kakak yang jemput kamu bukan si bajingan itu. Seharusnya kamu gak pergi, seharusnya kamu masih ada. Ini salah Kakak. Dasar bodoh." lagi dan lagi ku pukul kepala dengan kepalan tangal.

Ku lihat bayangan Mentari memeluk dan berusaha menggenggam tangan ku. Wajahnya basah berderai air mata.

"Ini bukan salah Kakak, Mentari mohon Kakak menerima kenyataan. Mentari bersyukur pernah punya pahlawan seperti Kakak. Maaf Mentari gak bisa memenuhi janji yang sempat kita rancang. Mentari harap Kakak bisa ikhlas melepas kepergian Mentari. Kakak masih ingat kan kalau Mentari pengen banget ketemu sama Ayah? Ya ... sekarang Mentari sudah semakin dekat untuk bertemu sama Ayah. Jadi Mentari harap Kakak bisa hidup dengan tenang tanpa ada rasa penyesalan atas musibah ini. Mentari pamit, sayang Kakak dan Ibu." Mentari mengecup kening ku dan ... menghilang.

Mengikhlaskan merupakan fase tertinggi dalam kehidupan. Mereka yang pergi biarlah pergi. Relakan mereka yang telah mati. Sesungguhnya suatu saat nanti kita akan bertemu kembali.

Tamat

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 02, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Goresan Tinta ArindaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang