Malam itu, menunggu resah sambil nonton siaran final AFF, Indonesia yang saat itu kurang beruntung bertemu lawan setegar Thailand. Tidak begitu memperhatikan sih, tapi entah kenapa aku kurang tertarik olahraga negara sendiri.
" Gooooolll...", sorak suporter girang. "Ooh gol? "Gumamku".
Tatapan kosong kearah layar tv berukuran 14 inci ditaruh tepat diatas papan; atap yang dibawahnya kamar mandi, yaa bang tole memang kreatif.
Perempuan yang kutunggu datang dengan raut wajah datar menyapa. Maaf ya, nunggu lama ya?. Sambil duduk dia berkata. "Aku mau pesen kue pancong keju susu sama ice cappuccino dong".
Gak kok, kan nunggunya juga sambil nobar jadi gak keberasa lama. "Sahut ku". Selama apapun, pasti akan ku jawab sebentar. "Lanjut hati".
Oh iya, sebut saja dia Cukmini, perempuan betawi yang ku kenal sejak duduk di sekolah menengah pertama. Siswi pindahan yang jadi perhatian ketimbang pelajaran. Manis, sedikit lesung pipi samar disenyumnya.
Kamu ngapain aja tadi, godain cewe-cewe kampus ya? Dasar genit. " ketus tuduhnya".
Warkop bang tole memang tempat favorit anak kampus karena selain murah meriah letaknya juga strategis, bersebrangan universitas tempat Cukmini mengenyam pendidikan.
Enggak, aku kan nobar disini sambil nunggu kamu. "Sahutku".
Katanya mau ngomong lanjutin yang chat whatsapp. " ucapnya datar".Iya memang, sebelumnya kami sempat berdebat hebat di chat soal keresahan dan kejalasan hubungan. Cukmini yang selalu menyebalkan. Namun, banyak resahnya dan aku yang brengsek, tapi banyak rindunya. Tuntutannya hanya ingin aku segera lulus. Yah, memang nasib getir seorang mahasiswa tua yang gak lulus-lulus, hampir 7 tahun betah di universitas swasta daerah jakarta selatan. Mau sampai kapan kamu gini terus, sementara kawan-kawan seumuran kita udah lulus, kerja dan menikah. "Sambungnya sedikit mata berkaca".
Pancong dan ice capuccino tiba, silahkan mas, mumpung masih panas. "Sahut bang tole". Cukmini cicipi pancong yang baru datang sedikit demi sedikit. Aku yang terpaku malu menarik napas dalam-dalam, sesekali mencuri pandang pada bibirnya yang ranum khusyuk mengunyah pancong yang harum. Sesekali Cukmini tersenyum.
" Kamu kenapa liatin aku begitu? Kamu mau pancongnya?". Tawarnya.
Enggak ni, aku udah kenyang, kamu aja yg habisin, aku tadi udah makan mie goreng sebelum kamu dateng. "Sahutku datar.Gil, jawab pertanyaan aku yang tadi. "Potongnya seraya melotot".
Iya, aku juga malu, aku juga sedang berusaha. Ini semua kesalahan aku, udah gak ada gunanya disesalin. Aku nikmatin dan jalani prosesnya, ni. "Sambungku tegas". Dari dulu kamu cuma bilang itu terus, berusaha lah, sabar lah, apalah itu. Tapi mana buktinya? Aku cape ngadepin kamu, udah gak pernah dengerin kata-kata aku lagi. Semua seenaknya kamu. "Balasnya".
Sesekali cukmini buang muka sembunyikan mata yang mulai berkaca-kaca. Dicicipnya pancong sentengah matang, berharap sedih pun hilang. Pancong rasa keresahan Cukmini dan segelas ice capuccino getir hidup Gilang. Asbak warkop bang tole saksi perdebatan dua insan kasmaran. Ya Tuhan, lelaki macam apa aku ini? "Ketusku dalam hati".
Helaan napas panjang, ku tatap dalam mata penuh harapan. Ni, maafin aku. Belum mampu berimu tawa, hanya selalu berbagi luka. Beri aku waktu sedikit lagi. " sambung kataku".
Ya memang soal jodoh siapa yang tau? Tak perlu buru-buru, Tuhan atur semua yang kita perlu. Terkadang memang harapan bukan teman yang baik, setidaknya Tuhan masih melihat ini adalah sebuah perjuangan antara menyelesaikan pendidikan dan kasih asmara yang tak berkesudahan. Getir jalani hari, nyinyir dalam hati memaki. "Dasar lelaki, bedebah".
Pancong tak lagi tersaji panas. Harum aroma keju susu toping pancong mulai membeku. Cukmini mainkan sendok dan garpu pada toping pancong keju susu, tak dimakan, tak pula ditawarkan. Ditusuk dan dicabutnya lama-lama. Seketika diam, hening tak berkata pula suara.
Udah jam sebelas, pulang yuk. "Ajaknya dengan nada lemas". Percuma ngomong panjang lebar, kamu gak pernah dengerin dan jawabannya selalu sama. "Sambungnya kesal".
Pancongnya gak dihabisin, ni? "Jawabku". Gak nafsu! Kamu aja yang habisin. "Singkatnya".
Itulah kebiasaan Cukmini ku, dalam keadaan apapun setiap makanan tak pernah habis dimakannya. Tak jarang harus ku makan, bukan karna aku masih lapar. Aku lebih baik kekenyangan makan dari pada harus begah karna wajah yang tak lagi indah dipandang. Diamnya bak belati, menikamku tanpa henti. Berkendara tanpa canda dan tawa bisa berhari-hari lantaran sepiring nasi yang tak ku habisi.
Semuanya berapa, bangle? "Tanyaku sambil menghampiri". Sapaan akrabnya memang begitu, hehe... Lebih senang dari pada harus dipanggil bangtol. Dua puluh ribu aja mas, "jawabnya senyum". Kenapa lagi mas? Berantem sama pasangan mah biasa, itu kan bumbu cinta. "Sambungnya". Perempuan memang aneh mas, mau ini tapi yo bilangnya itu, kita lelaki dipaksa jadi ahli tafsir yang harus tau segala hal yang perempuan mau. "Bisiknya sedikit logat jawa". Aku mengangguk pasrah.
Ya memang begitulah perempuan, mereka bukan tentang apa yang diucapkan. Sepertinya bangle faham betul tentang wanita. Diamnya cemas, tawanya belum tentu lepas. Pandai menyimpan rindu tapi malu bila laki-laki tau. Tapi, dipaksanya kita tau apa yang dimau. "Aaaarrgghh...". Saat rindu tersusun seperti buku-buku, seperti itulah waktu membuatnya berdebu. "Pesan bangle yang ku tau".
Matursuwun, bangle. "Jawabku sok akrab sambil menerima kembalian".Bergegas beranjak dari warkop bangle. Cuaca dingin. Bukan, iya bukan karna mau hujan, tapi sikapnya yang membuatku menggigil dan mati membeku. Aku lebih suka hujan, tapi tidak dimatanya.
Tanpa sapa dipeluknya erat tubuh ringkik ku. Entah apa yang dipikirannya, yang jelas aku yang girang dipelukmu dari belakang.
Sampai sini aja, Gil. "Ucapnya".
Tepat di depan gerbang warna hijau berhias karat, rumah Cukmini.Hampir setahun lebih belum berani aku menampakkan muka didepan orang tuanya. Bukan karna tak mau, tapi lebih kepada malu. Iya, mau jawab apa aku ketika pertanyaan bertubi-tubi dari hati mamah yang penasaran lantaran aku tiba-tiba kembali bagai mummi mati lalu hidup lagi?
Kemana aja gil, sibuk apa sekarang? Udah lulus belom? "hatiku teriak". Sepertinya mamah tak sejahat itu; ketika ku dihadapannya, lantas di acungkan telunjuk ke arah pagar serta merta mengusirku kasar. Hanya ketakutan saja yang berlebihan. Namun, tetap saja malu bukan kepalang.
Iya, salam buat mamah ya ni. "Jawabku basa-basi".
Berlalu Cukmini meninggalkanku pergi membuka gerbang. Hilang kebiasaan lambaian tangan ketika mengantarku ingin pulang. Iya, tak apalah, sementara biarlah begitu. Semoga Tuhan juga tau perjuanganku agar bisa jadi menantu mamahmu.
Jalan mendadak sepi, pikiranku terbagi. Malam yang dingin, antara angan dan ingin. Cukmini, bersabarlah. Resah akan selalu ada, rindu masih jadi selimut lelap. Kabut seolah menutup tatap. Sedang jarak tak mengizinkan kau ku dekap. Semoga esok masih bersua, selesaikan resah yang tersisa. Mungkin, ya mungkin saja sia-sia, setidaknya kita masih berusaha dan Tuhan tau segala yang kau pinta. Senantiasa.
_imh_