Part 2

21 4 5
                                    

Hari senin, hari yang paling dibenci sebagian besar orang, salah satunya adalah Azura. Kendati demikian, matahari bersinar terang pagi ini. Seakan dengan cahayanya yang hangat, manusia bisa mengawali hari yang akan melelahkan ini dengan sedikit semangat.

Bagi beberapa orang mungkin itu berpengaruh, seperti sahabat Azura—Dino namanya. Cuaca sangat berpengaruh bagi lelaki itu. Moodnya akan bagus jika cuaca juga bagus, dan sebaliknya.

Dino pernah berkata, yang membuatnya bahagia adalah kasih sayang dari orang tuanya—dulu, sebelum akhirnya lelaki malang itu dibuang ke panti selepas ibunya meninggal. Tidak ada yang bisa mengalahkan kebahagiaan itu, katanya. Dino juga dengan gamblang mengatakan bahwa ia yakin sebagian besar orang pasti setuju dengan ucapannya.

Dan Azura sendiri menyatakan pula dengan gamblang bahwa dirinya tidak termasuk ke dalam 'sebagian besar orang' yang Dino sebut sebelumnya. Bagaimana Azura bisa setuju, jika dirinya tidak pernah sekalipun merasakan kasih sayang dari orang tuanya? Jangankan kasih sayang, melihat paras mereka pun Azura tidak pernah.

"Aaaaa!!"

Langkah Azura terhenti. Ia menengok ke arah gang dimana sebuah teriakan anak kecil terdengar. Selanjutnya ia mendengar tangisan, masih dari tempat yang sama. Azura berbelok arah, sedikit berlari menuju sumber suara.

Seekor kucing berlari keluar dari gang. Saat Azura masuk, ia menemukan anak perempuan sedang menangis.

"Hei, kenapa menangis?" Azura membungkuk, rambut panjangnya terjulur ke depan.

Anak itu memperlihatkan lengannya yang terdapat luka cakaran. "Sakit hiks.. "

Azura beralih berjongkok di hadapan anak itu. Ia tersenyum. "Siapa namamu?"

"Nana." jawabnya sembari sesenggukan. Tapi setidaknya tangisnya tidak sekencang tadi.

"Kalau begitu Nana, perkenalkan, kakak adalah peri."

Nana menghapus air matanya. "Peri?" tanyanya dengan suara imut.

"Em!"

"Seperti Tinkerbell?" Azura mengangguk.

"Bagaimana bisa tubuh peri besar seperti ini?" Nana menatap Azura lekat-lekat dengan mata bulatnya. "Kau bohong!! Peri itu kecil, dan peri itu punya sayap. Kau tidak punya sayap!"

"Ssuuutt!" Azura menaruh telunjuknya di mulut. Ia menoleh ke belakang, berlagak memastikan tidak ada yang melihat. Ia lalu berbisik. "Kakak sedang menyamar."

"Menyamar?"

"Em! Agar tidak ada yang tahu kalau kakak ini adalah peri."

Nana mengerutkan alisnya lucu. "Benarkah?"

"Kakak tidak bohong." Azura mengangkat dua jarinya. Ia lalu meraih tangan Nana yang berdarah. "Sekarang kakak akan menyembuhkan luka Nana. Tapi sssuutt-!" ia menaruh telunjuknya lagi di mulut. "Jangan beri tahu siapapun ya?"

Nana sepertinya mulai percaya. Ia mengangguk cepat dan bergerak seperti mengunci rapat mulutnya. "Nana tidak akan bilang siapa siapa! Bahkan ibu guru Nana!"

Azura tersenyum. "Kalau begitu tutup matamu."

Anak kecil itu dengan sigap menurut. Azura mengusap luka Nana dengan satu tangannya, dan dalam beberapa detik saja, luka cakarannya menghilang.

"Sudah selesai."

Nana membuka matanya. Mata bulatnya melebar. "Wah!! Kau benar-benar peri!!"

"Ingat, jangan bilang siapapun ya?"

Nana mengangguk. "Terima kasih, peri!"

Azura kembali berdiri. "Kalau begitu, ayo pergi ke sekolah. Nanti terlambat."

Azura dan 4 PenyihirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang