"Hey yo Azura! Kau siap untuk roti isi?!"
Azura melirik pria imut yang sedang bersandar pada pintu kelasnya. Dino.
Dino mengernyit menyadari ada yang tidak biasa. Ada 4 pria yang nampak asing baginya, tengah memandangi dirinya dengan curiga. "Hey, apakah kalian murid baru yang sedang dibicarakan orang-orang?" kini Dino mulai melangkah menuju mereka.
Dino duduk di atas meja Azura, dan memandangi 4 pria di sekelilingnya dengan senyuman. "Dino. Aku dan Azura sudah bersahabat sejak bayi." ia mengulurkan tangannya.
Tanpa membalas uluran tangan Dino, Hoshi menyebut namanya—masih dengan tatapan curiga. Diikuti oleh yang lain.
"Oh ya.. salam kenal." Dino menelan mentah-mentah rasa malunya dan menarik tangannya yang tadi menggantung di udara.
"Kau tidak punya tongkat kan?" Jeonghan berceletuk, memandangi Dino dari ujung rambut hingga kaki.
"Tongkat? Tongkat apa? Aku tidak pincang, kakiku baik-baik saja, bung." Dino melompat berdiri dan berlari di tempat, menunjukkan bahwa tidak ada masalah dengan kakinya.
"Tongkat sihir." Wonwoo memperjelas maksud Jeonghan.
Azura dan Dino kompak berpandangan. "Wah, kalian cukup pandai bergurau." Dino tertawa sambil melompat lagi ke atas meja Azura. "Ayo, Zura. Cuaca sangat bagus, aku akan mentraktirmu roti isi."
"Dua porsi roti isi ya?"
"Siap komandan!"
Dino turun lagi dari meja, mengelap kedua tangan ke celana SMA. "Kalian mau ikut juga? Ada banyak makanan enak di kantin."
"Traktir juga aku susu coklat." Azura memotong sambil merapikan buku-buku di mejanya.
"Apapun untukmu, tuan putri." Dino tersenyum lebar, moodnya sangat sangat sangat ... sangat baik.
"Ayo!" Azura merangkul Dino dengan mudah dan menyeretnya keluar dari kelas.
Dengan posisi tercekik oleh tangan berotot Azura, Dino berteriak sambil berusaha menoleh pada 4 murid baru di kelas Azura. "Kenapa masih melamun, bodoh?! Ayo ikut!"
Keempat penyihir yang masih duduk di kursi saling memandang. "Kita harus ikuti mereka bukan?"
"Ya, pria itu agak mencurigakan."
"Baiklah, ayo!"
Scroll ⬇️
•••
Suasana kantin ramai seperti hari-hari biasanya. Namun beruntung, masih ada meja yang kosong—cukup untuk mereka berenam. "Aku akan mengantri, kalian duduk saja." Azura berdiri masuk antrian.
"Tidak tidak, moodku sedang bagus. Biar aku saja." Dino menyingkirkan Azura dari sana.
Senyuman tercetak jelas di wajah Azura. Dibanding berdo'a agar dipertemukan dengan orang tuanya, Azura akan memilih meminta Tuhan agar memberikan cuaca bagus setiap hari. Dino hebat bukan main, gigi rapinya terlihat sepanjang hari hanya karena matahari bersinar terang di langit yang biru. Jika moodnya bagus, semuanya akan jadi lebih mudah.
Azura melirik 4 pria di hadapannya yang tengah celingak-celinguk.
"Ayo duduk." Azura melewati mereka, melangkah menuju meja yang tersisa. Empat laki-laki itu hanya membuntuti Azura layaknya pengawal—eng mungkin lebih masuk akal jika dianalogikan sebagai itik-itik yang mengikuti induknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Azura dan 4 Penyihir
FanfictionHidup Azura baik-baik saja sebelum 4 pria datang ke sekolahnya sebagai siswa baru. Empat siswa aneh yang selalu membawa pulpen serupa kemanapun mereka pergi. Mereka manusia? Azura awalnya berpikir begitu. Tapi bukan. Mereka adalah penyihir, penyi...