1

44 7 42
                                    

Tahun yang sulit akan datang tanpa diminta. Kehidupan bagai roda yang berputar pada porosnya. Selalu berubah dan berulang. Tak ada ujungnya. Tak pernah ada rasa puas. Selalu ingin lebih dan lebih.

Ini kisah Caramel Hazrina. Gadis SMA yang akrab disapa Cara. Dalam perjalanan hidupnya, Cara tak lepas dari jalanan yang mulus sampai berbatu. Ada warna-warna cerah yang pernah ia dapatkan dulu sebelum menjadi seperti sekarang ini. Suram.

***

Mas Rey. Sosok kakak yang selalu menjadi alasan bahagia Caramel. Kala itu, Cara masih berusia tiga belas tahun—terpaut lima tahun dengan Mas Rey.

“Caraa. Mas mau ke cari angin sambil sepedahan. Mau ikut, nggak?” tanya Mas Rey.

Sepasang telinga Caramel menangkap perkataan Mas Rey. Seketika ia meninggalkan aktivitas melukisnya. Lantas menghampiri Mas Rey yang telah berada di atas kemudi sepeda ontel.

“Ikut, Mas,” jawabnya riang penuh semangat sembari menegeluarkan sepeda ontelnya dari garasi.

Kakak beradik itu mengayuh sepedah ontel mereka. Membelah jalanan kota yang tak begitu padat. Hembusan angin sore menerpa wajah keduanya. Caramel tepat berada di samping kakaknya. Sesekali mereka menautkan tangannya. Lelucon ringan pun menemani perjalanan mereka.

“Mas, ke taman kota, yuk,” ajak Caramel. Tangan kanannya menunjuk taman kota yang berada tak jauh dari rute mereka.

“Yuk.”

Mas Rey memarkirkan sepedah ontelnya. Caramel mengikutinya dari belakang.

Terlihat banyak penjual menyuarakan dagangannya di area luar taman kota. Rombong-rombong es yang penuh dengan pembeli. Abang-abang penjual cilok dengan telaten melayani konsumennya. Tak ketinggalan jajanan legendaris lainnya yang sudah panjang antrean pelanggan.

“Car, mau cilok?” tawar Mas Rey.

“Nggak ah, Mas, bosen.”

“Yaudah deh. Cara mau beli apa aja boleh. Mas yang traktir.”

“Wah. Beneran, Mas?” tanyanya memastikan.

“Iya. Apa aja buat adek mas tersayang,” ujar Mas Rey sambil tangannya mengacak-acak rambut adiknya.

“Mas Rey emang yang terbaik,” ujar Caramel lantas memeluk—mengalungkan kedua tangannya ke bahu gagah milik kakaknya.

Caramel menggerakkan bola matanya ke kanan dan ke kiri melihat banyaknya dagangan. Ia telah menentukan pilihannya. Cara menginginkan roti dengan isi es krim coklat kesukaannya. Ia membeli dua potong. Satu untuknya, dan satu lagi untuk kakaknya.

Caramel duduk di samping kakaknya yang sedari tadi menunggunya. Mereka menyantap roti isi es krim coklat itu dengan lahap.

“Aku nggak bisa bayangin gimana jadinya aku kalau nggak ada Mas Rey.” Cara mencoba mengeluarkan unek-eneknya.

“Kenapa? Emang apa bedanya?” tanya Mas Rey menatap wajah adiknya.

“Nanti nggak ada lagi yang belain aku di depan mama sama papa. Selama ini, ‘kan, cuma Mas Rey yang paling bisa ngertiin aku,” keluh Cara.

“Mas Rey jangan pergi ninggain aku, ya,” lanjutnya seraya meletakkan kepalanya di bahu kakaknya.

Mas Rey tersenyum. “Mas akan selalu dekat sama Cara,” ujar Mas Rey sambil mengusap lembut kepala adiknya.

Hujan turun menyelimuti Kota Pahlawan. Membasahi rambut kakak beradik yang sedang duduk di kursi taman kota menikmati moment kebersamaan mereka. Keduanya mendongak, menatap nabastala yang membiru, membiarkan air hujan mengalir di wajah mereka. Merasakan kesegarannya, menikmati tetesan air hujan—anugrah Tuhan yang indah.

TETAPLAH HIDUPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang