2

10 1 0
                                    

Tidak ada lagi yang bisa melukis warna-warna cerah dalam hidup Caramel. Tidak ada lagi yang bisa menjadi tempat curhat terbaik. Dan tidak ada lagi yang membela Cara di saat orang tuanya memaksa melakukan sesuatu di luar batas kemampuannya. Juga tidak ada lagi teman bermain di kala hujan turun.

Caramel yang malang beranjak dari duduknya berpindah ke kamarnya. Ia mengunci pintu dan merebahkan tubuhnya di atas kasur. Tangannya meraih sebuah pigura di atas meja nakasnya. Terlihat foto Mas Rey dengan dirinya sedang bergaya bak pangeran dan tuan puteri.

Jari-jemarinya meraba foto itu. Cara memejamkan matanya. Mengingat-ingat kembali moment itu. Betapa bahagianya Caramel. Rasa bahagia yang jauh dari keadaan saat ini. Ada dan tiadanya Mas Rey sangat berpengaruh bagi Caramel.

Caramel mengernyitkan dahinya. "Mas ... kenapa mas menyelamatkan aku? Kenapa nggak biarin aja aku mati? Mas Rey lebih berguna untuk hidup dibanding aku nggak sehebat mas." Ia bermonolog.

Caramel meletakkan kembali pigura penuh kenangan itu di atas nakasnya. Gadis itu mendorong badannya untuk duduk. Ia masih mengingat kalimat tikaman tajam yang dilontarkan papanya.

"Semua ini salah kamu, Cara!"

"Kamu tuh selalu bikin orang susah!"

"Bisa, nggak, sih, dewasa dikit?!"

Kalimat-kalimat itu terus terngiang di kepalanya.

Ia beralih menuju meja belajarnya. Cara mengambil penggaris besi miliknya. Tangan kanannya menggesek-gesekkan penggaris besi itu ke tangan kirinya-tepatnya di urat nadinya. Nyalinya tak cukup kuat untuk menggunakan benda yang lebih tajam. Goresan itu meninggalkan bekas merah di tangan kirinya. Lantas Cara membenturkan kepalanya di dinding kamarnya berulang kali. Ia sangat merasa kehilangan sekaligus bersalah atas kematian kakaknya.

***

Itu kejadian 4 tahun silam. Caramel mulai terbiasa menjalani hari-harinya tanpa Mas Rey. Papa dan mamanya pun mengikhlaskan kepergian Mas Rey. Tetapi perlakuan Pak Gio dan Bu Tia terhadap Cara masih tetap sama.

Angin bertiup lirih mengibarkan rambut Caramel. Sang baskara tampak malu-malu bersembunyi di balik mega. Tapi tetap baswara menghangatkan bentala. Nabastala menghadirkan biru mudanya sejauh aksa memandang. Cerah.

Caramel, atmanya lekat dengan alam. Gadis itu duduk melipat kakinya di atas tikar yang terbentang di atas rumput swiss-tumbuh rapi di halaman belakang rumah Cara. Di depannya telah tersedia kanvas putih yang disandarkan pada penyangga. Tangannya meraih kuas lantas ia celupkan pada cat beraneka warna. Jari-jemari lentiknya mulai menyapukan kuas itu pada kanvas.

Sorot matanya tajam. Ia menatap fokus pemandangan indah di depannya. Seekor kupu-kupu berwarna kuning keemasan sedang hinggap di salah satu bunga celosia. Cara melukis pemandangan itu dengan memperhatikan tiap inchinya. Tak ada satupun detail yang terlewat. Memang hobinya sejak kecil adalah melukis.

"Aduh, Caraaa! Sudah berapa lama kamu ngelukis hal yang nggak ada gunanya?" omel mama Caramel dari belakang.

"Sebentar lagi selesai, kok, Ma," sahutnya menoleh sedikit ke arah mamanya.

"Sebentarnya kamu itu bisa setengah jam sendiri loh," balas mamanya.

"Terus bukannya besok kamu ada kursus fisika, biologi dan kimia, ya? stop deh ngelukisnya. Belajar dulu materi buat besok," lanjutnya.

Caramel tak mengindahkan.

"Cara! Kamu dengar, nggak, sih, Mama ngomong apa barusan?!" nadanya agak meninggi.

"Ya ampun, Ma. Cara nggak suka pelajaran itu. Bikin otak mikir keras tiap ngerjain soal-soalnya."

"Tapi nilai-nilai kamu nyaris selalu sempurna, 'kan, di kelas?"

"Iya, tapi aku nggak enjoy, Ma. Aku lebih suka melukis seperti ini."

"Itu, kan bisa jadi sampingan, Car. Lagipula kamu bisa menghasilkan apa sih dari coretan warna itu?"

Dari arah belakang, papa Caramel menghampiri istrinya. Menyela pembicaraan di antara istrinya dan anaknya.

"Ada apa, Ma?" tanya papa Caramel.

"Biasa, Pa. Caramel susah banget buat nurut maunya orang tua. Padahal, 'kan, itu juga untuk kebaikannya, Pa."

"Kamu sudah membujuknya?" tanya Pak Gio.

"Sudah. Tapi tetap saja begitu."

Pak Gio membuang napasnya kasar. Lantas ia memanggil Nur-salah satu asisten rumah. Pak Gio memerintahkannya untuk mengemasi segera alat-alat keperluan melukis milik Caramel. Dengan sigap, Mbak Nur membawa semua peralatan melukis Cara.

"Mbak Nur, kanvasku mau dibawa ke mana? Aku belum selesai melukis," lontarnya memelas.

Mbak Nur membisu. Ia tak berani menjawab sepatah katapun.

Caramel berbalik badan, menatap tajam kedua orang tuanya. Ia melangkahkan kakinya menghampiri mama dan papanya.

"Mama sama Papa kenapa, sih, selalu seperti ini?! Emangnya papa sama mama nggak bahagia lihat aku bahagia?" tanya Cara.

"Kebahagiaan kamu itu saat sudah jadi dokter. Itu juga akan menjadi kebanggan bagi keluarga kita, Cara," ujar Pak Gio.

Bu Tia ikut menimpali, "Papa kamu benar, Sayang. Garis keluarga kita itu dokter semua. Mama tahu, mama memang gagal menjadi dokter karena keteledoran mama sendiri. Tapi cukup sampai mama saja. Kamu harus bisa jadi dokter, Caramel. Jangan sampai ada yang ngecewain keluarga besar ini lagi. Termasuk kamu."

"Tapi apa-" Belum selesai caramel berbicara, kalimatnya diputus oleh papanya.

"Betul itu! Kakak kamu, Mas Rey sudah tiada. Lalu siapa yang bisa kami harapkan selain kamu? Ya ... walaupun kamu nggak sehebat dan sepatuh Mas Rey," sahut papa Caramel dengan nada 'meremehkan' di akhir kalimatnya.

Mendengar hal itu, Cara meremas-remas jarinya. Ia merasa tak dihargai lagi sebagi anak. Satu-satunya kelebihan Caramel dalam melukis dihina oleh papanya sendiri. sebenarnya Cara sempat berpikir sosok di depannya ini beneran papa atau iblis? Atau mungkin sosok papa yang berhati iblis? Gadis itu berusaha menahan amarahnya. Selalu seperti itu.

"Papa ..." Bu Tia takut perkataan suaminya barusan itu melukai hati Caramel. Meskipun sebenarnya ia setuju dengan suaminya.

"Biarin aja, Ma. Caramel udah nggak bisa diginiin terus. Bisa-bisa dia buat malu keluarga lagi!" Pak Gio menginggikan suaranya.

"Caramel ... emm, omongan papa kamu ... angap saja sebagai penyemangat kamu, ya. Jangan dimasukkan ke hati, ya, Sayang. Papa kamu maksudnya baik, kok," ujar Mama Cara mencoba mengolah lebih halus lagi perkataan suaminya.

"Ma, Pa, Caramel bukan Mas Rey yang jago sains dan bisnis! Caramel bukan mama. Caramel bukan papa. Caramel bukan orang lain. Dan kalian ... kalian juga bukanlah seorang Caramel. Kita semua beda! Caramel punya jalan sendiri!" Caramel mempertegas semuanya.

Amarah Pak Gio kian memuncak. Ia lelah juga kesal meladeni Caramel yang tak seperti Mas Rey-anak emas mereka.

Pak Gio menuding-nudingkan jari telunjuknya di depan wajah Caramel. "Cara, cukup! Dengarkan papa sekarang! Dulu, Mas Rey juga nggak bisa persoalan bisnis. Bahkan nggak tertarik. Tapi kakakmu itu mau berusaha. Ujung-ujungnya juga buat kebaikan masa depannya. Kalau saja kamu nurut apa mau papa sama mama, nggak bakalan papa sama mama ngomel-ngomel tiap hari! Hah ... memang ya, kamu itu beda dengan Mas Rey."

Persoalan Mas Rey tak bisa menahan bulir bening Cara. Mata gadis itu berkaca-kaca membendung air mata yang terlalu banyak.

"Mas Rey udah meninggal papaa! Jangan bandingin aku sama Mas Rey lagi. Mas Rey emang paling sempurna, ya. Sampai-sampai cuman Mas Rey di keluarga ini yang bisa ngertiin aku. Tahu apa yang aku mau. Ikut bahagia ketika lihat adiknya bahagia. Nggak kayak kalian! Papa sama mama nggak pernah mau nerima apapun yang aku suka!" balas Cara menumpahkan bulir beningnya.

___

Big love for u-♡

🐾
Irda Andini

TETAPLAH HIDUPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang