3

7 1 0
                                    

Dewi malam berbentuk sabit tersenyum pada semesta memancarkan indurasminya tanpa terhalang sang mega. Jalanan belum lengang. Cara bersama mama dan papanya tengah berkutik di dalam rumah. Kehadiran bumantara malam menemani mereka.

Pak Gio, Bu Tia, dan Caramel duduk melingkar di meja ruang makan. Mereka sedang menunggu masakan matang.

Pak Gio memulai pembicaraan. “Cara.”

“Apa lagi, Pa? Mau ngerendahin Caramel lagi?” balas Cara.

Bu Tia menyahut. “Cara, omongannya dijaga dong!”

“Papa cuman mau bilang. Adel, sepupu kamu, dia sudah dapat beasiswa buat kuliahnya di luar negri loh. Jurusan kedokteran juga. Kemarin Om Andre yang cerita sama papa. Dia bangga banget sama anaknya. Papa juga ikutan seneng dengernya.”

“Terus?” Cara menaikkan satu alisnya sambil meneguk segelas air putih. Perasaannya sudah tak enak dalam pembicaraan ini.

“Dan perlu kamu tahu, Car. Adel bisa berhasil kayak gitu ya karena dia nurut sama orang tuanya dan ikutin semua perintah orang tuanya. Buktinya udah jelas, ‘kan? Terus– ”

Cara beranjak dari duduknya. Kakinya melangkah cepat menuju kamarnya di lantai dua. Ia meninggalkan mama dan papanya di ruang makan. Tak lagi menghiraukan panggilan orang tuanya. Lebih baik Cara berada di kamarnya saja. Gadis itu mengahabiskan malam harinya di kamar.

“Lihatlah dia, Ma. Lama-lama aku capek menasehatinya. Kita harus pakai cara apalagi untuk membuatnya sadar?”

“Sabar, Pa. Kita pasti bisa, kok, membuat Cara nurut sama kita.”

***

Di balik ancala, terlihat baskara hadir menyapa bentala yang rindu akan kehangatan. Embun pagi membasahi dedaunan dan ranting pohon. Anila yang sejuk membawa kedamaian untuk memulai aktivitas Caramel.

Cara menyantap dua buah roti dan segelas susu segar di depannya. Cara melahap cepat—tak tersisa sepotong bahkan secuil roti di atas piring. Sebisa mungkin ia menghindari kebersamaan bersama orang tuanya. Ia tahu, pasti ada saja perkataan orang tuanya yang melukai perasaannya.

Caramel meninggalkan secarik kertas di meja makan bertuliskan, “Cara berangkat. Nanti pulang sekolah nggak usah dijemput, Cara masih mau mampir ke lain tempat.” Semenjak kepergian Mas Rey, gadis itu memang selalu diantar dan dijemput tiap pulang sekolah. Sebelum itu, Mas Rey bagaikan supir pribadi bagi Caramel.

Cara menyangkutkan ransel hitamnya di pundak. Ia mengikat tali sepatunya dengan cekatan. Lantas ia menengok jam tangannya—menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit. Cara segera beranjak dan berangkat ke sekolah.

***

Caramel tiba di sekolah tepat waktu. Pintu gerbang masih terbuka lebar. Gadis dengan rambut terurai sebahu itu nyaris tak pernah terlambat. Catatan dari guru BP pun tak pernah ada soal tindakan tercela. Cara masih bersinar di SMA Bung Tomo.

Melewati koridor kelas, matanya langsung disuguhkan dengan kerumunan siswa menutupi mading sekolah. Cara terlihat kebingungan melihat kerumunan siswa. Ia juga ingin tahu apa yang ditampilkan dalam mading sekolah, sampai-sampai banyak pasang mata melihatnya.

Cara memilih untuk melanjutkan langkahnya menuju kelasnya. Ia akan melihatnya nanti saja saat istirahat. Belum sampai ia depan kelas, Ayana—teman sekelasnya berlari menghampirinya dari arah  belakang. Ia ingin memberi tahu Cara informasi di mading sekolah.

Oh my God, Caraaa!” ujarnya lantang sambil memeluk erat Caramel.

Caramel heran melihat temannya bersikap seperti itu padanya. Mata Ayana berbinar-binar. Auranya sangat positif.

“Kenapa, Ay? Sampai heboh gitu,” tanya Cara.

“Car, kita lolos, Car! Astagaaa! This is crazy, Caraa! Gue nggak nyangka banget.” Ayana sangat antusias menyampaikan kabar bahagia itu. Kedua tangannya menggoyang-goyangkan bahu Caramel.

“Tunggu, Ay, lolos apa? Kompetisi melukis untuk festival budaya?” terka Cara.

Ayana mengangguk cepat dengan riang. Caramel menutup sebentar mulutnya—tak disangka ada peluang untuknya. Gadis itu membelalakkan kedua matanya ikut antusias.

“Yang se-Asia itu? Yang hadiahnya trip education ke Paris?!” Cara memastikannya.

“Iya, Car. Udah gitu, cuman kita berdua dari sekolah ini yang lolos. Aaa!” ujar Ayana kembali menggoyang-goyangkan bahu Caramel.

“Alhamdulillah, Ay! Doa kita terkabul.” Mereka saling memeluk erat merasakan kebahagiaan yang sama.

Berita kemenangan itu telah menjadi buah bibir panas di sekolah ini. Para siswa SMA Bung Tomo turut senang mengetahui kabar itu. Mereka berdecak kagum pada Caramel dan Ayana yang berhasil membawa nama baik sekolah mereka.

Apalagi para guru, betapa bersyukurnya mereka memiliki siswa berprestasi yang saingannya nggak main-main—se-Asia. Terlebih lagi Pak Prabu—pengajar seni di SMA Bung Tomo. Sebuah kebanggaan tersendiri anak didiknya bisa sampai go internasional di bawah bimbingannya selama ini.

***

Bel istirahat berdering kencang. Caramel dan Ayana menghadap Pak Arya—kepala SMA Bung Tomo di ruang kepala sekolah.

“Bagaimana perasaan kalian melihat pengumuman di mading sekolah?” tanya Pak Arya.

Ayana menjawab dengan tanggap dan penuh api semangat. “Seneng, Pak! Seneng banget! Senengnya itu seperti apa, ya, Pak ... aduh, nggak bisa dijelaskan, Pak. Intinya kami seneng dan bersyukur, Pak. Iya, ‘kan, Car?”

“Hehe, iya, Pak,” balas Cara.

Pak Arya sedikit tertawa renyah mendengar komentar Ayana. “Hahahaha, kelihatannya Ayana fresh banget, ya, hari ini.”

“Saya beserta guru-guru yang ada di sini mengucapkan terima kasih pada kalian berdua. Caramel ... Ayana ... kalian telah membawa nama sekolah kita tercinta dalam perlombaan yang sungguh luar biasa ini. Sumbangsih kalian berdua untuk sekolah ini sangat berarti. Bapak bangga memiliki siswa berprestasi seperti kalian ini,” papar Pak Arya.

“Iya, Pak. Saya dan Ayana juga berterima kasih atas doa bapak dan ibu guru serta bimbingannya untuk kami,” balas Cara.

“Kalian sudah tahu, ‘kan hadiahnya apa?” tanya Pak Arya.

“Tahu, Pak! Trip education ke Paris, kota penuh seni,” jawab Ayana penuh semangat. Lagi-lagi membuat Pak Arya menyengir melihat tingkah laku Ayana yang sangat tak sabar.

“Nah, kalau begitu, satu langkah kecil lagi kalian akan menggapai impian itu. Mendapatkan surat izin tertulis dari pihak sekolah dan orang tua,” jelas Pak Arya.

Caramel dan Ayana angguk-angguk kepala mencerna tiap kalimat Pak Arya.

“Bapak selaku kepala sekolah telah memberikan surat izin tertulis itu. Ini, untuk Caramel dan Ayana. Disimpan baik-baik, ya,” lanjut Pak Arya seraya memberikan dua amplop putih berisikan surat izin tertulis resmi untuk Caramel dan Ayana.

“Wah! Terima kasih banyak, Pak,” Ayana menoleh ke arah Caramel, “Car! Kita dapet surat izinnya!” gadis itu kembali memeluk Caramel. Membuat Pak Arya menggeleng-gelengkan kepalanya sekaligus ikut senang.

“Jangan lupa nanti sampai rumah, kalian langsung sampaikan berita baik ini ke orang tua, lalu minta surat izin tertulis dari mereka, siap?”

“Siap, Pak.”

Caramel dan Ayana lantas keluar dari ruangan kepala sekolah sambil membawa amplop putih itu. Mereka sangaat bahagia hari ini, terlihat dari ekspresi keduanya.

___

Big love for u-♡

🐾
Irda Andini

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 02, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TETAPLAH HIDUPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang