Gio membuka pintu kamar dengan perlahan, senyumannya mengembang saat melihat Rahel yang sedang asik bermain boneka, walaupun sendirian.
"Abang!" teriak Rahel berlari memeluk Gio.
"Udah makan belum sayang?" Gio mencium kening adiknya yang masih berusia empat tahun itu sayang.
"Beyum, mama papa gada, Bi Ina beyum puang kecini," jelas Rahel membuat hati Gio berdenyut sakit.
Gio memeluk Rahel erat, ia merasa bersalah telah meninggalkan Rahel ke sekolah. Karena saat kemarin sore Bi Inah yang merupakan pembantu di rumahnya ijin pulang dulu, dia janji akan kesini lagi jam delapan pagi, jadi Gio memilih pergi sekolah.
Gio menatap jam yang menunjukan pukul satu siang, dengan cepat Gio membawa Aya ke dapur untuk makan.
Gio tersenyum kecil saat Rahel makan dengan lahap, kenapa masa kecil yang dulu ia rasakan dirasakan juga oleh Rahel.
"Maafin abang."
***
Setelah melihat mata Rahel yang sudah terlelap, Gio dengan pelan menutup pintu kamar.
Gio berlari saat melihat orang tuanya berada di bawah.
"Mah, Pah?" panggil Gio hendak menyalami keduanya.
"Gak usah, Mamah lagi buru-buru, ada berkas Mama yang ketinggal," ujar Ria menepis tangan Gio.
"Pah," Gio pindah untuk menyalami Tomi.
"Diem kamu! Papah lagi cape."
Gio berusaha untuk mengembangkan senyumnya, selalu saja seperti ini, bahkan untuk menyalaminya pun mereka selalu mengelak.
Ria datang dengan berkas-berkas yang dia pegang, jangankan untuk melihat keadaan Rahel, menyapa Gio yang ada di hadapannya saja tidak.
"Ayo Pah, Mamah buru-buru."
Brakk
Ria menyorot mata tajam saat Gio dengan sengaja membanting guci sampai hancur berantakan.
"Apa-apaan kamu!" sentak Ria.
Gio tersenyum miring, "setidakpeduli itu Mamah sama Aku dan Rahel?"
"Maksud kamu apa Gio!"
"Mah! Rahel butuh Mamah!"
"Apa yang Mamah lakuin itu buat kalian!"
"Tap-"
"Udah, ayo kita pergi," ajak Tomi tanpa memedulikan Gio.
Gio mengacak rambut prustasi, hanya satu yang Gio pikirkan.
Rahel.
***
Untung saja tadi setelah kepergian orang tuanya Bi Inah datang, dia meminta maaf tidak menepati janjinya karena mendadak suaminya sakit dan Gio tidak mempermasalahkan itu.
Malam ini Gio pergi ke tempat base cam biasanya, yaitu rumah kecil yang sudah hampir enam tahun ia dan keempat sahabatnya tempati, sudah menjadi rumah kedua bagi Gio. Sebelum itu Gio memeriksa Rahel, yang ternyata telah tidur pulas.
Setelah sampai Gio memarkirkan motor vesva cream miliknya, ternyata keempat sahabatnya sudah sampai lebih dulu.
"Assalamualaikum ya ahli kubur!" teriak Gio santai yang langsung dilempari Bisma.
"Waalaikumsalam, gue masih hidup bodoh!" jawab Bisma.
"Takut mati juga lo Ma," sahut Andre.
"Efek kebanyakan dosa!" ujar Gio diakhiri gelak tawa.
"Gio, gimana?" tanya Boy.
"Apaan? Mbak Susi?" tanya balik Gio dengan semangat.
"Mau gue gorok?"
Gio terkekeh ngeri, "tega banget lo sama bujang lapuk kek gue Boy."
"Lo si, ngebet banget sama janda!"
"Bilang aja pengen, ada tuh janda baru namanya Nek Inem, mau? WAKAKAK!" celetuk Gio membuat semuanya tertawa lepas kecuali Boy yang menjadi korbannya.
"Gue serius Anjir! Gue mau tanyain soal masalah yang beredar di sekolah itu," ujar Boy yang dimengerti Gio kemana arah pembicaraannya.
"Oh, si Aya," diangguki Boy.
"Aya gak salah, dia di jebak sama seseorang, yang dipoto itu emang Aya, tapi dia lagi gak sadar, karena tiba-tiba ada orang yang ngejebak dia sampai dia mabuk," jelas Gio mengingat apa yang dikatakan Aya saat disekolah.
"Dia tau gak siapa yang jebak?" tanya Ardan mulai kepo.
Gio menggeleng.
***
"Aya!"
Aya menoleh ke belakang saat seseorang memanggilnya. Aya kaget saat mendapati Gio berlari menghampirinya.
"Apa?"
"Lo di kelas XII apa?"
Aya mengerutkan kening, "XII IPA3, kenapa emang?"
"Nanti istirahat ke kantin bareng, bye Aya!"
"Jangan kangen, haha!" celetuk Gio.
Aya memutar bola mata malas melihat tingkah Gio yang menurutnya so akrab, tapi bagaimanapun Gio adalah orang pertama yang percaya dengan kesalahpahaman masalah tempo hari, dan Gio juga yang mau mendengar cerita kebenarannya.
Walaupun itu hanya masalah kecil, tapi karena itu lah semua orang menjauhinya.
-
Sebagian murid berbisik-bisik saat Gio benar-benar datang ke kelas Aya mengajaknya ke kantin.
Aya mengiyakan saja, toh mereka hanya ke kantin bareng saja, itu kan sikap biasa seorang teman.
"Gio, itu cewek yang lo ceritain?" tanya Ardan yang memang belum pernah melihat Aya walaupun satu sekolah, mungkin efek muridnya yang terlalu banyak.
Gio mengangguk bangga, "iya dong."
Aya mencubit lengan Gio keras, "lo ngomongin gue?!"
"WADAW! Sakit banget Ayang!" teriak Gio membuat keempat temannya tertawa.
"Cie! Ayang-ayangan nih!" goda Andre melirik Aya yang menatapnya tajam.
"Gio, lo kenapa si!" ketus Aya.
"Maaf Aya, ketambah huruf Ng nya-ADAWW!" teriak Gio lagi saat dengan santainya Andre menginjak kakinya dari bawah meja.
"Kenapa si lo Anjai?!" tanya Gio menahan ngilu dikakinya.
"Kesian anak orang kek tertekan sama lo," Gio tertawa renyah lalu menatap Aya yang masih menampilkan wajah kesal.
Setelah itu, mereka memesan makanan dengan Andre yang terpaksa harus mengorbankan isi dompetnya.
Jangan tanyakan lagi bagaimana suasana dikantin, hampir semua siswi berbisik-bisik dan menatap Aya tidak suka, tak terkecuali seseorang yang berada tepat belakang meja Aya.
Ia tersenyum miring, "lihat aja kejutan-kejutan lain nanti."
***
Jangan lupa votee yaaa, huaaa!
Ig.ulffa_jh
KAMU SEDANG MEMBACA
GIO
Novela Juvenil"Terkadang semesta nyuruh kita bohong untuk membuat mereka tertawa" -GIO SANJAYA-