Gift

56 6 0
                                    

Johnny segera bertolak dari kediaman Jeff begitu dia mendengar suara sang pemilik rumah melalui sambungan teleponnya dengan Braile. Sebenarnya, Johnny ingin sekali menyelonong masuk ke dalam kandang musuh kemudian berperan bak seorang pahlawan dengan menyelamatkan Braile dari dalam sana. Akan tetapi, niat itu diurungkannya. Johnny yakin jika Braile bisa mengatasi permasalahan ini dengan kemampuan yang dimilikinya.

"Aku percaya padamu, Braile," ucapnya entah kepada siapa di ruangan sana. Johnny sebisa mungkin bergerak bak makhluk tak kasat mata tanpa meninggalkan jejak barang sedikit pun.

Sementara di ruangan sana, Braile diam tak berkutik tatkala tangan Jeff mengelus puncak kepalanya. Tubuhnya merasakan sensasi aneh seperti tersengat oleh aliran listrik.

"Aku berangkat kerja dulu," pamitnya dan langsung bertolak dari ruangan tersebut.

Jeff, pria itu sungguh menakutkan. Braile masih terkejut akan emosi Jeff yang cepat sekali berubah bak kilatan cahaya yang membelah langit di kala hujan. Padahal, beberapa detik yang lalu, Jeff terlihat begitu marah. Braile dapat merasakan getaran emosi yang Jeff salurkan melalui tatapan tajamnya yang menusuk, rahangnya yang mengeras, serta tangannya yang mengepal kuat hingga membuat ujung jarinya memerah.

Akan tetapi, Braile merasakan sesuatu yang tidak wajar pada dirinya. Jantungnya berdebar ketika Jeff mengelus puncak kepalanya. Entahlah, mungkin debaran tersebut merupakan respon alami yang dihasilkan oleh tubuhnya karena berada di dalam situasi yang begitu menegangkan seperti beberapa detik yang lalu.

Braile segera membuyarkan lamunannya. Pikirannya kembali terfokus bahwa dirinya masih berada di dalam ruangan rahasia milik Jeff yang bernuansa merah darah tersebut. Segera dilangkahkan kakinya keluar dari ruangan. Tungkainya menuntun dirinya menuju ke arah ruang CCTV berada—untuk melihat keadaan Johnny. Akan tetapi, yang didapatkannya hanyalah segerombol komputer tanpa satu orang pun di dalam sana.

Braile memutar langkahnya dengan penuh keputusasaan. Hari ini merupakan hari paling kacau di hidupnya. Braile pasti akan begitu dibenci oleh Johnny jika pria itu mengetahui kesepakatan gila yang dibuatnya bersama Jeff barusan—meskipun terpaksa. Braile, puan itu memantapkan hati untuk tidak menceritakan kejadian tersebut kepada siapa pun dan tetap menjalankan misinya seperti yang telah dia susun bersama Johnny.

"Aku gagal memasang alat penyadap. Maaf, semuanya kacau karenaku," tulis Braile dalam pesan singkat yang dikirimkan kepada Johnny.

Johnny segera menyambungkan teleponnya untuk mendengar suara Braile. Braile dapat merasakan suara Johnny yang terdengar sangat putus asa.

"Maafkan aku karena melibatkanmu dalam misi ini. Semua ini salahku," ucapnya dengan begitu lemah.

Braile diam sejenak. Dia justru merasa semakin bersalah setelah mendengar respon dari Johnny.

"Kau tidak perlu minta maaf dan merasa bersalah. Perjalanan itu tidak selalu berjalan mulus. Yah, kau juga tahu bahwa lawan kita kelewat cerdik."

"Ya, aku sangat paham akan hal itu."—Johnny membuang napas sebelum kembali untuk melanjutkan kalimatnya—"Lalu apa yang terjadi setelah itu?"

"Dia hanya memarahiku."

"Sungguh? Dia tidak melakukan apa pun selain memarahimu? Dia juga tidak tahu bahwa kau adalah seorang agen?"

Braile kembali memijit pelipisnya. "Ya, dia tidak melakukan apa pun dan dia tidak tahu bahwa aku adalah seorang agen." Braile akhirnya mengatakan kebohongan tersebut.

"Syukurlah. Lain kali, kita harus lebih berhati-hati." John diam sejenak sebelum kembali melanjutkan kalimatnya.

"You did well, Braile, and I'm sorry."

TRAP | Jung JaehyunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang