Ayah

7 2 0
                                    

Pagi itu, Jingga berjalan menelusuri kota yang masih di tumbuhi pepohonan rindang di samping jalan sambil memasang earphone dan mendengarkan musik di telinga. Sedang enaknya bersantai tiba-tiba Jingga dikejutkan dengan seorang wanita yang menabraknya dari belakang.

"Ah maaf, kamu gapapa?"

"Gapapa kok"

"Aduh maaf banget aku lagi buru² nih, dah", katanya sambil berlari dan melambaikan tangan.

"Eh tunggu namamu siapa?", teriak jingga.

Tapi dia tidak menjawab ataupun menoleh seolah wanita itu memang sedang fokus mengejar sesuatu. Jingga pun kembali berjalan untuk kembali ke rumah.

~✧✧~

Sampai di rumah ia dikejutkan dengan suara pecahan piring dan teriakan makian yang di lontarkan Ibunya, dia yang sudah tahu situasi ini langsung pergi ke kamar adiknya yang sedang meringkuk di pojok ruangan menangis ketakutan, segera ia peluk tenangkan.

"Kak, Arbi takut!"

"Shuttt gapapa, kakak disini"

"Arbi ngintip tadi ayah marah terus pukulin ibu, arbi takut langsung lari ke kamar"

Jingga hanya mendengar ucapan adiknya tadi dan memikirkan apa yang sebenarnya terjadi.

"Ayah jahat ya kak"

"Arbi ga boleh ngomong gitu, ayah baik kok cuma lagi emosi aja"

Selagi ia menenangkannya ayah tiba-tiba datang dan menarik lengan jingga.

"Sini kamu!"

"Jangan, ayah! Jangan apa-apain kakak!", rengek arbi sembari memeluk pinggang kakaknya.

Tetapi dengan lembut jingga melepas pelukan tersebut,

"Gapapa, tenang aja ya"

Senyum jingga merekah berusaha menenangkan arbi. Belum sempat arbi menjawab, ayah seketika menarik jingga dengan kuat dan itu membuat lengannya sakit, jingga pun meringis

"Ah sakit!"

"Kakak!"

"Cepet! Dasar anak gatau diri!"

Ternyata jingga dibawa ke dalam gudang. Dilepaskannya tangan itu lalu ayahnya bertanya,

"Darimana kamu?"

"Jingga cuma keluar rumah sebentar aja, yah"

"Bohong!"

"Jingga ga bohong.. Ah!!"

Belum juga selesai bicara ayahnya sudah menamparnya, seketika anak itu memegang pipinya sendiri meringis menahan sakit.

"Ayah ga terima apapun alesannya, dasar pembohong! Sama aja kaya ibu kamu, tukang bohong!", katanya sembari menendang perut Jingga.

Jingga yang menerima hantaman dari ayahnya hanya bisa meringkuk, rahangnya mengeras dan mengepalkan tangan seolah ingin membalas namun tidak bisa.

Jangankan berdiri, duduk saja dia tidak mampu. Perih dan ngilu yang ia rasakan amat sakit. Terlebih lagi ketika ia coba beranikan diri untuk melihat perutnya, bengkak dan membiru.

"Ya ampun, apalagi ini?"

Ia dikejutkan dengan darah yang mengalir dari hidungnya, segera ia susut hidungnya dengan baju yang ia pakai. Jingga yang mulai pening samar-samar mendengar suara teriakan ibu dan adiknya yang berusaha memanggilnya. Terlihat bayangan yang berusaha mendekat namun, semuanya mulai gelap.

Jingga | Lee HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang