#3

23 1 0
                                    

"I often think that the night is more alive and richly colored than the day."
-Vincent Van Gogh

°°°°°

Dentuman demi dentuman tercipta, akibat hantaman tanpa ampun yang hujan berikan pada permukaan tanah. Bahkan aspal yang lebih keras tidak menghentikannya untuk terus menghantam, mengikis sedikit demi sedikit materi yang ia punya.

Tapi aku suka hujan. Pluviophile namanya. Entahlah, suka hujan saja diberi fandom.

Aku menatap tetes demi tetes yang menempel di jendela kamarku. Ingin kubuka saja jendela ini, hanya saja, Agri melarangku melakukannya. Karena hujannya terlalu deras, dan ia takut aku terkena flu.

Aku hargai. Tapi aku ingin bermain air. Alhasil saat ini aku terduduk, tapi tidak menyentuh lantai-memeluk kedua lututku yang tertekuk. Merajuk.

"Apa yang anda lakukan? Nona."

Uta menghampiriku. Hal yang paling membedakan Uta dengan Agri adalah dari caranya menyusun kata. Uta benar-benar buruk dalam menyusun kata. Terkadang aku salah paham dengannya, tidak, maksudku sering.

"Apakah anda kedinginan?"

"Bagaimana aku bisa kedinginan? Angin tidak bisa menembus kaca, Uta."

"Tapi udaranya, terasa dingin dan lembab."

"Sepertinya kamu yang dingin. Sikapmu contohnya," sindirku. Bahkan dia berbicara denganku dengan nada datar?! Yang benar saja.

"Apakah saya harus menghangatkan diri?"

"Ah sudahlah."

Uta berdiri disampingku. Dia menatap jendela, seperti yang kulakukan.

"Dimana Agri?"

"Kakak sedang mengurus masalah lainnya."

"Masalah apa itu?"

"Saya kurang tau."

"Bukankah ini masih terlalu pagi untuk beraktifitas?"

"Tidak untuk kami."

"Cih."

Aku menatapnya. Perlu usaha bagiku untuk menatapnya. Karena tubuhnya yang tinggi, membuatku harus mendongakkan kepala keatas. Menyebalkan, kenapa kakinya begitu jenjang dan tinggi??

"Bisakah kau lebih merendahkan tubuhmu? Leherku sakit jika harus terus mendongak untuk menatapmu."

Uta menatapku. Aku mengembungkan kedua pipiku. Sepertinya dia bingung?

Uta berlutut di samping kananku. Meniru posisiku-dengan tangan memeluk kedua lutut yang tertekuk.
Jujur saja aku lelah seperti ini. Akhirnya aku menghempaskan bokongku di lantai, mengistirahatkan kaki yang tadi kutekuk, dan meluruskannya. Uta menatapku, dan ia menirukannya, lagi.

"Apa kau senang?"

"Senang apa?"

"Duduk disamping majikanmu yang cantik dan manis ini? Tentu saja."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 23, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KomaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang