BAB I

232 27 15
                                    

"Waktu itu pertengahan Desember. Rembulan mengambang tenang di langit yang menuju musim dingin"

.

.

.

Berderak.

Matanya beberapa waktu ini memperhatikan benda itu. Entah untuk apa. Padahal itu bukanlah hal yang perlu ia perhatikan. Ia hanya perlu memanggil salah seorang pelayannya. Maka mereka akan memanggilkan mekanis untuk memperbaikinya. Hanya saja beberapa kali dalam hidupnya ia terlalu sering memikirkan "Kenapa?", bahkan untuk hal tak penting. Ingin rasanya mencari tahu sendiri. Tapi banyak hal yang akan terbengkalai di belakangnya atas tindakan tersebut.

Ia menghampiri jam di sudut ruangan yang mengeluarkan suara aneh tersebut. Sedikit membungkuk untuk mengintip ke dalam. Kemudian segera menggeleng. Ia tidak punya waktu untuk dibuang-buang percuma.

"Ayluna!" panggilnya sedikit keras. Suaranya seringan dentingan lonceng kecil yang merdu.

Pintu terbuka cepat, terlalu cepat untuk sebuah jawaban atas panggilannya. Namun kalimat yang keluar dari mulut pelayannya menjelaskan alasan ia masuk ke dalam ruangan di waktu yang sebegitu tepat.

"Yang Mulia Raja datang untuk menemui anda, Yang Mulia."

"Kak Elenio?" gumam Lucine membeo. Dan empunya nama menampakkan diri tepat setelahnya.

"Kau sedang sibuk, Luce?"

Lucine menegakkan punggungnya. Senyumnya tersungging secukupnya. "Sedikit" liriknya pada meja yang dipenuhi berkas. Disampirkannya rambutnya sedikit enggan ke belakang telinga. "Apa ada yang bisa kubantu, Kak?" tanyanya menerka-nerka.

Elenio menggeleng dengan senyum lembut. "Tidak. Hanya saja tadinya aku berpikir untuk mengajakmu jalan-jalan sebentar" Kali ini ia pun melirik tumpukan pekerjaan adiknya. "Masih mempersiapkan festival penyambutan musim dingin, Luce?"

Lucine mengangguk membenarkan. Seluruh gerakan tubuhnya adalah defenisi kesopanan hingga siapapun bisa merasa malu atas penghormatannya yang terlalu.

"Baiklah kalau begitu" Tak akan terdengar intonasi berunsur perasaan di dalam kalimat itu. Tapi Lucine telah cukup belajar sepanjang hidupnya untuk mendengarkan dengan detail. Hingga bisa ia dapatkan sedikit kecewa di dalamnya. "Aku juga harus mempersiapkan keberangkatanku ke Hayland lusa," dalih Elenio.

"Kak?" panggil Lucine sebelum kakaknya berlalu. "Kupikir aku sedikit pusing. Udara segar sepertinya akan membantu." Lucine menatap kakaknya yang sempat terlihat khawatir oleh kalimatnya, namun bisa langsung menebak sebelum ia melanjutkan. Terbukti dari raut terkesiapnya. "Apakah kakak punya waktu untuk menemaniku ke taman belakang istana sebentar?"

Elenio tersenyum. Memang tak akan ada duanya adiknya ini. Begitu peka dan perhatian. "Tentu saja. Dengan senang hati."

***

Elenio dan Lucine berdiri bersisian. Keduanya menghadap taman bunga mawar yang melintang luas sejauh mata memandang. Di lain sisi para pelayan sibuk menggosip dengan suara tertahan mengagumi keindahan keduanya. Pangeran dan Putri terhebat di sepanjang sejarah Kerajaan Ouranos.

Sang putra sulung ramping, kokoh, gesit, dan memukau layaknya sebilah pedang. Sedangkan putri kedua seperti sebuah pena bulu. Anggun, berujung tajam, dan cerdas.

"Kau ingat kau pernah terluka karena mawar-mawar di sini?" Elenio buka suara dengan senyuman di sudut bibirnya.

Lucine sedikit tersipu. Rasanya itu kenangan yang akan diingat selamanya. Karena jutaan mawar langsung diganti menjadi mawar tak berduri sebab insiden tersebut. "Aku memang sangat kikuk dulu," akunya malu.

The Moon That Burned The SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang