BAB II

149 24 32
                                    

"Bulan baru datang. Langit kosong. Rembulan sedang bersembunyi."

.

.

.

Lou berdiri tepat di samping pintu kamar nonanya. Hening di dalam. Tak seorang pelayan pun diperbolehkan masuk. Lou ingin berada di sisi nonanya. Tapi Lucine adalah seorang putri. Lou adalah abdinya. Lucine yang memutuskan kapan ia akan menyapa orang lagi secara pribadi. Dan Lou percaya nonanya yang lebih tahu kapan saat terbaik untuk itu.

"Pangeran Cypron dari Kerajaan Belio telah tiba!"

Di kejauhan, Lou telah mengenali sosok tersebut. Pria itu adalah mantan tunangan Lucine. Pertunangan mereka batal karena sang putri yang tidak siap menikah. Penyatuan kekuasaan lewat pernikahan politik telah Lucine pahami sedari kecil. Karena itu yang menjadi masalah adalah 'kasih sayang' dari ibunya. Ia tidak diizinkan menikah oleh ibunya. Bahkan setelah umur wajarnya menikah telah lewat dan orang-orang mulai bergunjing, izin dari Ibu Suri tak jua keluar.

Seorang pelayan mengetuk pintu kamar Lucine. Setelah dipersilahkan, barulah ia masuk. Beberapa saat kemudian keluar, bertepatan rombongan Kerajaan Belio sampai di depan kamar.

"Yang Mulia Putri Lucine mengatakan akan menemui anda di rumah kaca. Mari saya antar."

Pria itu berlalu. Beberapa saat lagi pasti Lucine akan menemuinya. Lou tidak iri dengan kedatangan Cypron yang disambut sedangkan ia tidak. Ia tahu Lucine masih menyambut tamu-tamu yang datang untuk melakukan penghormatan terakhir pada mantan ratu mereka hanya karena Lucine adalah seorang putri. Karena ia harus. Sedangkan Lou dan para pelayan lebih memilih diam diabaikan. Memberi Lucine waktu untuk berbenah perasaannya.

***

"Aku turut berduka atas kehilangan besar Kerajaan Ouranos."

Lucine menyunggingkan senyumnya, menyesap tehnya sejenak. "Terima kasih atas kebesaran hati anda menyempatkan penghormatan terakhir untuk beliau."

"Kau tahu aku dan Yang Mulia Ibu Suri tidak terlalu sepaham. Malah ia sepertinya membenciku. Tapi tak kusangka ia akan mengakhiri perseteruan kami secepat ini."

Lucine hanya diam tak membalas kalimat pria yang seharusnya telah ia nikahi sejak belasan tahun lalu. Harusnya ia bersanding dengan pemuda ini. Tapi tak sedikit pun Lucine menyesali umur ibunya yang membuat hubungan mereka pupus.

"Lucine" Cypron mengambil kedua tangan gadis pujaan hatinya. "Aku tahu ini bukan saat yang tepat. Tapi aku mohon kau mempertimbangkannya lagi." Ia beri Lucine tatapan mendamba. "Menikahlah denganku."

Sedikit pun kalimat pria di hadapannya tak mencapai hati Lucine. Ibunya tak merestui pernikahan mereka dulu, mustahil di atas kematian ibunya ia menari-nari menggapai kembali hubungannya yang telah kandas. Terlebih lagi....

"Luce, jangan pernah tinggalkan Ouranos." Pesan sesaat sebelum kematian ibunya masih terngiang-ngiang.

"Pangeran Cypron, saya rasa ini sudah terlalu larut. Pangeran juga pasti lelah sehabis perjalanan jauh. Sebaiknya anda kembali ke kamar anda. Saya pamit."

***

Lou mengikuti langkah Lucine meninggalkan rumah kaca. Hampir sampai di paviliunnya ia pun berbalik pada Lou. Membuat Lou cukup tertegun karena Lucine tak pernah benar-benar menatapnya sejak kematian ibunya.

"Kak Tara....apa sudah datang?"

Lou menggeleng pelan. "Belum, Yang Mulia. Butuh perjalanan cukup jauh dari Haurare ke Ouranos. Saya rasa berita kematian Yang Mulia Ibu Suri belum sampai. Yang Mulia Ratu Artara mungkin butuh beberapa bulan lagi untuk sampai."

Lucine pun melanjutkan langkahnya. Lou berhenti sejenak melihat arah yang dituju bukan kamar melainkan ruang kerja.

"Putri" panggil Lou segan.

Lucine berbalik. "Ada apa, Lou?"

Lou memegang erat pedangnya karena gelisah. "Saya tahu ini tidak sopan. Putri pasti lebih tahu apa yang baik untuk Tuan Putri. Tapi saya dan para pelayan amatlah cemas. Tidakkah sebaiknya Yang Mulia istirahat sejenak?"

Lou mengerti Lucine sangat terpukul. Ia amatlah dekat dengan mendiang Ibu Suri. Tidak normal bagi keluarga kerajaan untuk berbagi ruangan, tapi Lucine dan Ibu Suri telah sering bersisian bahu ketika tidur. Ibu Suri juga terlihat jelas pilih kasih kepada putri ke-2 nya. Sangkin sayangnya, ia tidak mau memberikan Lucine pada siapapun. Mungkin karena di kepalanya selalu teringat Lucine adalah putrinya yang lemah dan sering sakit. Tapi semua itu sebenarnya hanya masa lalu. Lucine telah baik-baik saja sekarang dan ia telah menorehkan prestasi yang membanggakan. Banyak ide-idenya yang begitu brilliant. Tapi tetap saja Ibu Suri menempatkan Lucine sedekat mungkin dengan dirinya. Berbeda sekali dengan putri sulungnya yang dibiarkan menikah dengan raja dari negeri yang amat jauh.

"Aku tidak tahu, Lou. Ibu Suri pergi begitu saja. Aku tidak tahu harus melakukan apa kecuali bekerja. Aku benar-benar tidak tahu," balasnya lemah.

Lou tidak tahu harus membalas dengan apa. Karena itu hanya ia biarkan Lucine kembali ke ruang kerjanya.

"Yang Mulia," panggil Lou sebelum gadis tersebut masuk. Ia tatap sendu putri yang padanya telah ia abdikan pedangnya. Sumpah setianya telah ia persembahkan pada Lucine sejak umurnya 7 tahun. "Yang Mulia punya segalanya. Tapi kalau ada, sekalipun hal kecil, yang bisa saya lakukan, katakan saja."

Lucine mengulas senyum tipisnya. Ia menepuk bahu Lou pelan. "Teima kasih, Lou."

***

Hampir sebulan setelah wafatnya Ibu Suri Kerajaan Ouranos, hari ini akhirnya Elenio harus melakukan rapat dengan para senat. Elenio tahu apa yang akan dibahas. Pasti mereka mendesaknya untuk menikah. Sebelumnya, tugas Ratu masih dipegang oleh Ibu Suri. Tapi kini posisi itu kosong. Sebuah kerajaan tanpa ratu memang sangatlah pincang.

Ouranos menganut sistem pemerintahan monarki absolut. Senat ada hanya untuk formalitas. Elenio bisa saja dengan ringan menolak usulan pernikahan. Namun sekalipun ia adalah raja yang kokoh dan memiliki banyak sekutu, para bangsawan tak akan melewatkan begitu saja kesempatan anak mereka menjadi ratu.

"Kupikir Putri Lucine telah menjalankan tugas ratu dengan cukup baik dalam sebulan ini," ujar Elenio membalas laporan masalah yang ia tahu dibesar-besarkan.

"Benar, Yang Mulia. Yang Mulia Putri Lucine memang telah menjalankan tugas dengan sangat baik. Tapi kami khawatir jika terlalu lama di posisi itu, akan terjadi pergolakan ketika nantinya seorang ratu telah terpilih. Pasti akan ada yang membanding-bandingkan hasil pekerjaan Putri Lucine dengan Yang Mulia Ratu."

Elenio menghelan nafas bosan. Tidak merasa adiknya perlu disalahkan atas pekerjaannya yang terlalu baik. "Kalau begitu tinggal disahkan saja, bukan?"

Para senat saling bertukar pandang. Tidak mengerti arti kalimat tersebut.

"Lucine sebagai Ratu maksudku," tambah Elenio memperjelas.

"Yang Mulia, kami mengaku puas atas kerja Yang Mulia Putri Lucine. Tapi kalau disahkan, bukankah akan sulit bagi Yang Mulia Ratu untuk menempatkan dirinya nanti? Ataukah Yang Mulia tidak berniat untuk menikah? Kami mohon Yang Mulia mempertimbangkannya lagi. Kalau begini darah kerajaan yang agung tidak akan memiliki penerus."

"Darah anggota keluarga kerajaan tidak akan putus," tukas Elenio yakin. "Putri Lucine akan melahirkannya. Anakku."

Sontak para senat dikagetkan oleh satu pernyataan itu. Suara riuh, suara berbisik, saling bersahutan satu sama lain. Hingga salah satunya memberanikan diri mengutarakan penolakan.

"Aku akan menikahi Putri Lucine dalam waktu dekat," putus Elenio langsung bangkit dari tahtanya. Meninggalkan ruang rapat begitu saja.

.

.

.

TBC

The Moon That Burned The SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang