Berladang Kasang di Desa Kuok

0 0 0
                                    

BERLADANG KASANG DI DESA KUOK

Oleh : Abdul Rahman, S.Ag

        Arif yang awalnya tinggal bersama bibi, kembali ke asuhan ayah. Masa  kecil yang selalu berpindah-pindah, membuat Arif menjadi lelaki pemberani. Di usia lima tahun, Arif tinggal di sebuah rumah papan yang kecil. Letaknya di tepi hutan di kebun rambutan. Di sana Arif tinggal bersama orang tua dan saudaranya.
          Pada suatu, ketika ayahnya mengajak Arif ke hutan, ayahnya mendayung sepeda tua dengan tenaga penuh. Sementara Arif duduk di belakang tersenyum riang. Jarak yang di tempuh cukup jauh. Sesampainya di lokasi  tujuan, di tengah hutan belantara itu ada hutan yang sudah ditebangi, dibakar dan siap untuk ditanami padi.
        Di sana Arif memperoleh pengalaman berladang kasang, di mana tanaman padi itu tidak diairi, tetapi langsung di semai dengan jarak empat jengkal jari Arif sesuai dengan usianya waktu itu. Arif tidak begitu mengerti mengapa di tengah hutan itu ada keramaian.
     Ada puluhan orang yang sudah siap dengan tugalnya yang akan membantu ayahnya menyemai benih padi di sana. Mereka semua membawa bekal yang cukup, mulai dari air minum, pisang goreng, ubi rebus, nasi lomak alias  ketan pulut, bubur kacang hijau.  Terlalu banyak makanan saat itu.
    Mereka bekerja tanpa upah tetapi bekerja secara bergantian hari dalam tradisi kerja sama dalam prinsip gotong royong.               
         Mereka yang hadir, masih merupakan keluarga kerabat. Walau ada sebagian mereka ada juga yang mengambil upah harian untuk  menyemai benih padi di ladang kasang tersebut.
Ada candaan yang masih diingat Arif, seorang ibu berkata kepada adek perempuan ayahnya,
“Hai Kak, lihatlah baiknya perangai Arif nih, rajin, pintar, dan pemberani, bisa jadi calon menantu suatu saat nanti.”
Waktu itu Arif tak terlalu mendengarkan perkataan itu, memang di kampung  banyak orang yang  menikah dengan sepupunya, baik anak dari adek perempuan ayahnya ataupun anak dari saudara laki-laki ibunya.
Dalam lelahnya  bekerja, bermandi keringat, waktu itu  tak pernah memikirkan harus memakai pewangi, hidup apa adanya, rasanya jauh dari kepura-puraan.
Barang kali orang kampung lebih lugu, polos dan jujur ketimbang orang kota yang selalu tampak kaya, gagah walaupun tak punya uang, selalu bersolek walaupun banyak hutang dan merasa memiliki walaupun memakai punya orang.
Beristirahat di bawah pohon di tepi ladang kasang tersebut, nikmat rasanya, sarapan bersama yang dalam bahasa Kampar “makan lope kobau“ mungkin pada jam itulah biasanya kerbau itu dilepaskan dari kandangnya dibebaskan makan sepuasnya di alam bebas untuk menyantap rumput tebal nan hijau, kira-kira pukul 09.00 lah begitu. Orang kota biasa berkata “Break “.
Arif dan lainnya pun melanjutkan tugas yang tersisa,  setelah rehat melepas lelah menyambung pekerjaan yang tertinggal sampai datangnya waktu Zuhur.
Setelah salat Zuhur, merekapun makan bersama dengan istilah Kampar “Makan Bakela" atau  makan bersama. Masih segar dalam ingatan, setelah selesai urusan di ladang kami kembali ke rumah masing-masing.
Hari itu tepatnya hari Minggu, orang Kampar mengatakan,
”Aghi Ahek” digunakan hari Minggu karena pergi bergotong royong berladang kasang ini bisa melibatkan anak-anak untuk mengisi lubang yang telah dihentakkan tugal ke tanah dengan jarak dua jengkal orang dewasa. Bagi anak anak waktu itu kegiatan memasukkan sekitar 3-5 benih padi ke dalam lubang itu serasa sedang bermain conglak.
Pada hari Minggu berikutnya Arif  di ajak lagi oleh ayahnya, tetapi ternyata tidak ke tempat yang lalu, rupanya pergi menugal di tempat adek perempuan ayahnya. Itulah kegiatan rutin yang terjadi pada masyarakat Kuok-Bangkinang kabupaten Kampar di Riau “Kegiatan menugal di hari libur.”
Mungkin anak-anak itu terlalu berani dan tak pernah memikirkan resiko. Itulah yang Arif lakukan dalam usia lima tahun tersebut. Ketika padi sudah mulai berisi, banyak hama yang akan menghampiri diantaranya walang sangit (pianggang) yang selalu membuat padi hampa. Begitu juga babi yang selalu menginjak-injak dan menyunduk padi di tengah hutan tersebut. Sehingga tidak cukup hanya semangat menyemai tetapi perlu di rawat, di jaga dari berbagai ancaman yang datang.
Ayah Arif melanjutkan rutinitasnya, pagi hari hingga menjelang siang, dia menyadap karet, dan sorenya bahkan sampai malam menjaga padi di ladang kasang di tengah hutan.
Walaupun sudah dibuat orang-orangan di ladang kasang untuk mengecoh mata burung dan babi hutan, kaleng yang berisi paku yang disambung dengan tali .
Tali dibentang dari pojok Barat   ke pojok  Timur,  dari pojok Utara ke pojok Selatan. Waktu datang angin menimbulkan bunyi yang membuat burung yang semula ingin hinggap menjadi galau dan pergi. Sungguhpun demikian jika ingin hasil panennya maksimal harus dijaga dengan sungguh – sungguh.
Masa kecil Arif yang akrab dengan hutan, sekitar pukul 10.00 WIB, Arif berjalan sendirian dari rumahnya yang berada di tepi hutan. Memang Arif tak punya tetangga, satu-satunya  hanya rumahnya yang ada di sana. Banyak orang pulang berladang, pulang menyadap karet atau pulang mencari kayu bakar bahkan ada yang pulang berburu selalu singgah di rumah itu sekedar mau istirahat dan minta air putih.
Arif berani melangkah berjalan sendiri ke tengah hutan belantara, tanpa memikirkan rasa takut, khuwatir dan cemas.
Ketika sampai di hutan, menjelang sampai ke ladang kasang, Arif mendengar bunyi suara harimau mengaum, Arif melihat babi melintas di depannya.
Tetapi Arif belajar dari orang tua kalau  merasa sunyi, berbunyilah “uuuh" Arif berkata di tengah hutan itu, “ uuh” ada suara orang yang sedang menyadap karet di hutan itu dengan bunyi “ uuh “ dalam pikiran Arif, dia tidak sendiri, kan ada orang walaupun tidak kelihatan.
Dan lebih mendebarkan lagi seekor harimau lewat di depannya. Arif teringat ketika aku pergi kehutan bersama ayahku, ketika melihat harimau lewat atau harimau mengaum ayahku berkata, “ jauhlah dari sini nanti bisa menakut- nakut orang lain. Akupun melakukan hal yang sama dengan berkata, “Pergilah, jangan ganggu aku.” begitu yang diucapkan Arif kepada harimau itu, yang semula seolah menghalangi langkahnya pergi menghilang di tengah hutan.
Pada suatu ketika, Arif memetik buah kali bunting yang ranun, setelah agak jauh dari rumah, Arif meminta kepada bapak yang melintasi jalan itu, untuk memberikan tumpangan kepadanya untuk ikut ke kampung seberang dengan sampan bapak tersebut. Bapak itu heran mengapa anak kecil hanya sendirian, Arifpun menyampaikan,
"Aku ingin ke rumah mak Nga aku, Mak Nga aku itu tidak punya anak," ucap Arif. Memang dia adalah seorang perawan tua hingga ajalnya menjemput. Bersamanya tinggal kakak laki-laki dan kakak perempuan Arif  yang sudah  Sekolah. Arif lebih suka  tinggal di rumah Mak Nga, karena di situ banyak keramaian, banyak teman yang bisa diajak main bersama, tidak seperti tempatnya tinggal di tepi hutan, tak ada teman kecuali bunyi binatang yang ada di tepi hutan tersebut. Tetapi setiap Arif sampai di rumah Mak Nga, esok harinya dia dijemput lagi oleh ayahnya dan diapun melakukan hal yang sama berkali-kali sampai akhirnya dia bersekolah di sana.
Tetapi Arif bersekolah di sana  hanya kelas satu  SD saja, mungkin ayahnya khuwatir karena lingkungan di sana kurang baik dan dekat pasar. Arif mengingat dengan jelas, aku ke sekolah memakai baju putih, celana pendek berwarna putih, dan sepatu karet yang juga berwarna putih. Masuk sekolah pukul 07.30 dan pulang pukul 10.00 WIB. Di kelas satu belajar membaca , menulis dan berhitung, guruku bernama  bu Mia.  Sebelum Pembagian rapor aku sempat mengira bahwa aku akan terpanggil menjadi juara kelas. Tetapi ternyata ketika pengumuman sang juara namuku tak kunjung dipanggil. Aku mengiranilai raporku cukup bagus, ternyata setelah dibagikan, hampir semua nilaiku jelek . Tak ditemui dirapor kelas satuku angka 8. Yang ada hanya angka 7, 6 dan ada satu angka 5 .
Melihat nilai raporku yang begitu jelek dan pergaulanku, ayahku berniat membawaku kembali ke tepi hutan dan bersekolah di kampung yang agak jauh dari tepi hutan tersebut. Yang masih ku ingat, di kelas satu  aku tinggal bersama mak ngaku, menempati rumah pak cuku. Pak Cuku itu tinggal di Duri bersama keluarganya. Dia adalah seorang pedagang yang menjual berbagai macam bahan pakaian. Rumahnya ditinggal dan kami dengan mak ngalah yang menempatinya.Pulang sekolah pukul 10.00 WIB, aku pulang ke rumah dan ganti pakaian. Kemudian aku sering di ajak oleh abang Jimy  pergi main. Abang Jimy tersebut ayahnya berjualan kain di pasar. Aku tidak ingat apakah dia sekolah atau tidak, yang jelas hampir setiap siang sampai sore hari kami pergi berjalan, entah kemana saja kaki melangkah seolah tak ada tujuan. Kami melewati sebuah kebun jeruk, dan dia bilang itu kebun saudaranya. Kami mengambil buah jeruk yang ada di kebun tersebut. Ketika itu aku percaya saja tanpa ada curiga bahwa apakah benar itu kebun saudaranya.
Kami singgah di sungai dan mandi – mandi di sana. Aku tak tahu mengapa abang Jimmy suka mengajakku jalan – jalan dan sering menjajankan aku. Padahal usiaku berbeda  jauh. Ketika itu aku berumur 8 tahun dan dia mungkin berumur 15 tahun. Kadang kami pergi naik mobil pick up dan duduk di belakang. Rasanya asyik sekali hidup di alam bebas, berdiri di dalam mobil mendapatkan udara segar. Sebenarnya kami diajak naik mobil pick up itu ada maksudnya, supaya kami bisa membantunya mencuci mobilnya. Tapi kami senang, tak minta dibayar dan tak pernah berfikir akan diberi uang lelah. Yang penting masa kecil seperti itu rasanya seperti burung yang bisa terbang ke sana kemari tanpa ada yang menghalanginya.
Sebenarnya mak ngaku tidak mengizinkanku terlalu bebas bergaul dan main terlalu jauh, tapi memang waktu kecil aku agak lasak dan suka pergi – pergi secara diam – diam. Walaupun pulangnya selalu dimarahi, dicubit, dipukul dan juga pernah diikat, tetapi itu semua tidak membuatku jerah dan takut.
Ada perbedaan jauh sangat menyolok antara hidup di tepi hutan yang jarang melihat orang kecuali melihat orang melintas dari ladang dan kehidupanku dengan mak ngaku yang tinggal di tengah keramaian . Dan semua itu kujalani masa kecil tanpa ada rasa takut. Tinggal di hutan, aku berani bejalan sendiri di tengah hutan. Tinggal di pinggir pasar aku juga berani tanpa ada perasaan akan diculik atau disakiti oleh orang lain.
Ayahku akhirnya mengambil keputusan bahwa aku dan kakakku pindah kembali ke rumah kami di tepi hutan , dan tinggallah ma ngaku seorang diri, Mangaku itu tak punya anak dan tak pernah menikah. Sebenarnya mak nga itu sudah menganggap kami sebagai anak kandungnya sendiri. Dia juga  yang merawat kami dari bayi, karena ibu kondisinya lemah dan tak sanggup mengurus bayi. Menurut penjelasan mereka , aku tidak disapi oleh ibuku karena penyakit yang diderita oleh ibuku. Aku minum susu cap nona. Susu itu dibelikan oleh pak cuku yang tinggal di Duri.
Rasanya tak terbayangkan mengapa kami bisa pindah sekolah, dan sekolah itu sangat jauh dari rumah kami yang berada di tepi hutan. Setengah jam kami berjalan barulah kami sampai di sekolah dengan jalan kaki melewati hutan, kebun rambutan, padang ilalang. Kami tak bertemu dengan siapapun kecuali berpapasan dengan orang yang akan pergi menyadap karet di hutan. Memang kebun karet di sana ketika itu benar – benar hutan yang dari satu pohon karet ke pohon karet lainnya tak  begitu kelihatan. Yang ada jalan setapak yang sudah pasal dilalui oleh si penyadap karet.
Sekolah pada pagi harinya  masuk pukul 07.30 dan pulang pukul 11.00 WIB. Aku sering terlambat karena jarak rumah dari sekolah terlalu jauh. Pulang sekolah tak langsung ke rumah, karena setelah Zhuhur disambung belajar Madrasah Diniyyah Awaliyyah. Menjelang masuk MDA aku beristirahat di rumah mak cikku. Dia adalah adik dari ayahku. Aku makan siang di sana. Mak cikku sangat menyayangiku seperti menyayangi anak sendiri. Perlakuannya kepadaku dan kepada anaknya kurasakan sama.

Sebuah kenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang