Part 1 - Ayah dan Kenan

44 2 1
                                    

Awan hitam menggulung di atas sana menumpahkan tetes demi tetes air dengan deras, orang-orang berpakaian serba hitam setia berdiri mengelilingi satu gundukan tanah baru yang dihiasi banyak taburan bunga.

Berlindung di bawah payung berwarna senada bersama pria yang dia peluk lengannya erat, Kinar tidak mengalihkan pandangannya barang sedetik pun dari nisan bertuliskan nama sang Ayah.

Kacamata hitam tembus pandang yang bertengger manis di hidungnya berhasil menutupi kesedihan di matanya yang sembab.

Perlahan satu persatu pelayat mulai pergi dari area pemakaman menyisakan beberapa orang saja yang masih berdiri di sana.

Seorang wanita dengan wajah sendu mendekati Kinar, tangannya terulur menyentuh bahu gadis itu tapi gerakan kecil dari si empu membuatnya sadar bahwa Kinar tidak ingin dia ganggu.

"Kamu ikut Mama, ya" pinta Airin, sang Ibunda, kepada anak gadisnya.

Suaranya yang lembut memang kalah dengan suara hujan yang bising tapi dia yakin tidak mungkin Kinar tidak mendengarkan Ibunya.

Gadis itu bergeming entah tak mendengar atau tak peduli, yang jelas tangannya semakin erat memeluk lengan pria di sampingnya.

"Mbak, kita pulang dulu" pamit Tio, adik dari Ayah Kinar, mengalihkan pembicaraan berusaha menjauhkan keponakannya dari pertanyaan Airin yang sangat sensitif.

Rasa kecewa memeluk Airin saat Kinar dengan tersirat menolak ajakannya.

"Jaga Kinar, Tio" pesan Airin pada mantan adik iparnya itu. Tio mengangguk patuh, dia menunduk singkat pada pria yang ada di sana untuk berpamitan juga kemudian berlalu pergi.

"Ayo pulang, sayang" ajak Rey, suami Airin.

"Kak Kinar gak ikut sama kita, Ma?" tanya gadis bernama Raya yang menggenggam erat tangan Ayahnya.

Airin tersenyum pada anaknya lalu mendekat, "Enggak, sayang" jawabnya, "Sekarang kita pulang?"

Raya mengangguk sebagai jawaban. Sepasang suami istri dan anak gadis mereka pun meninggalkan area pemakaman.

Di dalam mobil putih milik Tio, Kinar enggan membuka suara dan lebih memilih memandang hujan dari balik kaca jendela daripada berceloteh seperti biasanya.

Tak ada yang ingin dia bicarakan, sekali saja ia membuka suara maka air mata akan ikut keluar bersama. Tio melirik keponakannya itu sambil memikirkan topik obrolan yang menarik dan sekiranya dapat menghibur Kinar.

"Mereka ngapain dateng sih?" celetuk gadis itu memecah keheningan.

Suaranya terdengar bergetar, Kinar melepas kacamatanya lalu mengusap bekas air mata di pipinya.

"Mereka siapa?" tanya Tio singkat, pura-pura tidak tahu orang yang Kinar maksud.

Lidah Kinar terasa kelu tak mampu menjawab pertanyaan Tio, gadis itu mendengus mengabaikan Tio yang menunggunya berbicara.

Tio menghela nafas, "Mereka masih keluarga kita, Kin" ucapnya.

Kinar tak merespon apapun, ia tetap diam sampai mobil memasuki pekarangan rumah. Gadis itu bergegas masuk ke rumah sebelum Tio, dia berlari menaiki tangga menuju ke kamarnya yang ada di lantai dua.

Tio juga merasakan hal yang sama seperti Kinar, kehilangan orang tersayang bukan merupakan hal yang mudah. Melihat Kinar bersikap seperti itu membuat Tio semakin sedih memikirkan bagaimana ia merawat Kinar sendirian sepeninggal Kakaknya.

Perlahan Tio mulai menaiki tangga berniat melihat keadaan keponakannya itu, ia menurunkan gagang pintu kemudian mendorongnya perlahan. Tio hanya mengintip tak ingin masuk dan mengganggu Kinar yang sedang tidur tengkurap dengan selimut menutup hampir seluruh tubuhnya.

Cerita Kinar | SELESAI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang