Seri cerpen bilik pertama : Memori

9 0 0
                                    

       Rindang mengakar di selasar langit, Anak-anak angin berlarian dengan langkah yang terbirit-birit, dikejar waktu petang. Dalam pelukan ilalang, Rana terpejam untuk waktu yang sangat lama. Ia mengerjap-ngerjap, mengintip sendunya langit sore yang menyala. Sinar petang sempoyongan masuk ke dalam pelataran matanya, menyorot seorang pemuda yang tengah berdiri di hadapannya.

       "Apa kau tahu berapa jarak dari sini menuju surga?"

        Rana tidak paham apa yang dikatakan oleh pemuda itu, ia lantas berucap, "Apa aku sudah mati?"

       "Mungkin." Pemuda itu berjalan mendekat ke arahnya, setiap langkah yang ia ambil, seakan waktu kian melambat  di sekeliling Rana. Matanya enggan untuk terpejam. Dari belahan bumi manakah pemuda ini berasal? Pikir Rana.

       "Kalau begitu apa kau tahu berapa jarak dari sini menuju selasar surga?"

       "Aku tidak tahu apa-apa."

       "Memang seharusnya begitu, Nona muda." Pemuda itu berdiri tepat di hadapannya, ia mengulurkan tangan dengan ramah. "Apa kamu berpikir dari sekian banyaknya tempat, kenapa kamu bisa berada di tempat ini?" Pemuda itu bertanya.

       Rana menyambut uluran tangan si pemuda itu, "Entahlah, aku tidak tahu."

      "Kalau begitu, apa kau ingin mengetahuinya?"

       Rana memiringkan kepalanya, merasa kebingungan. Saat ia hendak berucap, Tiba-tiba mereka berdua sudah berada di tempat yang berbeda. Itu adalah waktu yang sangat singkat. Sepersekian detik, sesingkat seperti saat engkau menjentikkan jari.

        "Di mana ini?" Rana bertanya.
 
        "Rana, apa hal yang sangat kau inginkan di dunia ini?"

        "Hal yang sangat aku inginkan? Entahlah aku-- tunggu! Bagaimana kau bisa tahu namaku!?"

         "Cobalah pikirkan, kau pasti bisa mengingatnya." Si pemuda itu benar-benar menghiraukan pertanyaan Rana.

         Rana berpikir, meskipun mencoba, ingatannya sangat pendek akhir-akhir ini. Sangat sulit untuk kepalanya mengingat lebih jauh. Mie ayam Bi Sah, tanaman anggrek milik Paman Sadam, seratus ribu yang tidak pernah dikembalikan oleh Kakak, handphone milik Nisa--Sahabatnya, cepat lulus kuliah, menerbitkan buku. Semua hal yang bisa ia ingat hanya seputar hal-hal itu.

          Sementara dalam waktu yang cukup sunyi, pemuda itu masih memandang Rana dengan tatapan yang sabar. Seolah-olah ia tahu persis ingatan apa yang mesti Rana ucapkan.

          "Sepertinya sangat sulit untukmu mengingatnya." Pemuda itu sontak beralih, kini ia menatap sebuah lukisan. Atau lebih tepatnya, sebuah coretan di atas sebuah kertas yang tertempel di dinding. Mereka saat ini berada di sebuah ruangan, sepertinya kamar, pikir Rana.

           "Jelek sekali," Celetuk Rana.

           "Begitukah? Sepertinya kita berdua melihat gambar ini dengan cara yang berbeda."

           Mungkin, mungkin benar seperti itu. Namun, dari sudut pandang manapun, bagi Rana. Gambaran di hadapannya tidak berarti apa-apa. Ia tidak bisa merasakan apa-apa, ia tidak merasa kalau gambar itu, istimewa.

           "Kalau begitu, apa yang kau pikirkan tentang gambar ini?" tanya Rana kepada si pemuda.

           "Di suatu hari nanti, anak yang menggambar ini, anak yang sama yang kau bilang gambarnya jelek. Dia akan berhasil menjadi seorang seniman. Karyanya akan sangat dihargai. Ia akan jadi salah satu orang yang beruntung."

         "Bagaimana kau bisa tahu?"

         Lagi-lagi pemuda itu menghiraukan pertanyaan Rana. "Tapi--" ada jeda panjang sesaat setelah pemuda itu membuka mulutnya. "Tapi, andaikan saja dia tidak menyerah."

         "Semua hal itu tidak akan jadi sia-sia." Pemuda itu beralih menatap Rana, "Semua hal buruk yang terjadi, itu tidak akan permanen. Semuanya hanya sementara. Masalah, jabatan, kebaikan orang-orang, kejahatan yang mereka lakukan, hidup juga begitu. Tidak ada yang berlangsung selamanya."

          "Bagaimana kalau anak itu sama sekali tidak bisa melihat akhirnya? Ia merasa semuanya sudah--"

          "Buntu," timpal si pemuda.

          "Jalan keluar tidak selalu muncul ketika kau menginginkannya, meskipun begitu, di dalam hatinya seharusnya ia bisa percaya, kalau kesulitan itu pasti akan akan berlalu. Ya, meski tidak semudah saat aku mengucapkannya."

           Tatapan Rana menyorot ke arah gambar lusuh yang tertempel di dinding. Mungkin bagi orang awam, gambar itu hanyalah sebuah gambar biasa, sama seperti pemikiran Rana. Namun, bagi anak yang menciptakannya. Semuanya adalah pertaruhan. Semua mimpinya dengan murni tertuang di sana, seharusnya tidak ada yang boleh menghujatnya, tidak ada yang boleh.

           "Kenapa kau mengajakku ke tempat ini?" Rana tidak habis pikir. Kenapa si pemuda itu membawanya untuk melihat gambar seorang anak kecil yang sama sekali tidak ia kenal.

           "Sebelumnya aku bilang, sulit untukmu mengingat semuanya seorang diri. Jadi, aku akan membantumu."

           "Kau tidak membantu apa pun. Aku sama sekali tidak mengerti maksud dan tujuanmu saat ini, " Cetoleh Rana.

           "Hanya belum. Kau belum memahaminya. Hanya sesederhana itu, Rana." Pemuda itu kembali berbalik dan berdiri di hadapan sebuah pintu. Rana mengikutinya, ia juga ikut mengintip di sela-sela kayu yang terbuka.

            Pada 1001 malam cerita musim semi, Rana tidak tahu apa yang sedang terjadi di hadapannya. Seluruh isi kepalanya sedang bekerja, menelan informasi yang ada di hadapannya.

------- Bersambung

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Journey To The Middle Of NowhereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang