anyelir kuning

10 0 0
                                    

Katakan jika dunia memiliki bunga yang tumbuh dan berkembang layaknya manusia. Berbau dan tercipta di musimnya layaknya bunga. Mereka bukan manusia, tapi juga bukan bunga.

"Aku Laksana Aavir, eksistensi dengan bunga yang tak diharapkan."

***

"Sudah dapat!" tangan mungil itu menggenggam erat dua tangkai bunga. Lavender dan mawar merah jambu, bunga lambang kedua orangtuanya.

Laksana Aavir, ia berlari pulang dari Taman Eijaz di tengah hutan, tempat di mana bunga-bunga berkumpul, apapun musimnya.

Brak! Pintu dibanting sengaja. Laksana lagi-lagi membanting pintu, yang biasa disambut omelan ibu. Tetapi, yang didapat hanyalah suara ringkih dari arah kamar.

Daun pintu kamar terbuka, Laksana sedikit mengintip, takut-takut ia mengganggu. Di sanalah kedua orangtuanya tergeletak di permukaan lantai kayu yang berlumuran darah.

Laksana terpaku, ibunya menyadarinya. Lantas bicara sekuat tenaga, " Aksa, kamu itu lelaki kuat, ya?" Laksana mengangguk kaku. "Jadi, ibu dan ayah tinggal sebentar gapapa ya?" Laksana menggeleng. Ibunya tersenyum, kemudian menatap ayahnya yang sudah membiru.

"Ayah dan ibu sayang Aksa," senyum di bibirnya memudar.

"Kan sudah Aksa bilang gamau ditinggal!" Laksana membentak, menghentakkan kakinya, dan menangis histeris.

***

"Ta, semua sudah siap?" tanya kakaknya memastikan. Yang ditanya masih berusaha menutup koper yang tampak seperti akan patah karena paksaan dan isi yang berlebihan. Benar saja, engsel koper tiba-tiba lepas dari tempatnya, terlempar jauh ke sudut ruangan.

"Hehe..." Pelakunya cengar-cengir. "Ikat kopermu dengan tali yang ada di gudang, tahu sendiri kita cuman punya koper itu." tanggap kakaknya lelah, hingga memijat pangkal hidung adalah hal biasa.

"Sudah siap!" Byakta berseru senang, menggenggam koper yang terikat tali dan terbuka sedikit. Kakaknya tidak peduli itu, kenyataan Byakta sudah siap di depannya saja sudah syukur.

Mereka berjalan bersisihan di antara hiruk-pikuk stasiun kereta. Sang kakak membeli tiket untuk dua orang di kelas ekonomi.

"Ayo naik." ajak kakaknya menarik Byakta, takut tertinggal kereta. "Tidak bisnis?" tanya Byakta menyadari arah gerbong mereka. "Mahal..." Dan Byakta berusaha menahan tawanya.

***

Laksana mengusap matanya, menetralkan pandangan. Dia terduduk di lantai kayu, masih di kamar. Anak itu sadar akan perbuatannya semalam. Cepat-cepat melihat ke letak orangtuanya semalam.

Ia terlambat.

Tubuh ayah, ibunya sudah tidak ada. Menghilang bak tak terjadi apa-apa. Menyisakan setangkai bunga layu di permukaan lantai.

Tungkai kakinya melangkah gontai, menghampiri dua bunga layu. Teringat di kepala akan pembicaraan tentang bunga dengan orangtuanya.

"Aksa, ingat ini, jika kamu menemukan bunga layu, tolong kubur mereka, ya?" Mata Laksana mengerjap polos, menatap ayahnya bingung. "Karena, bunga itu adalah sisa dari mereka yang sudah meninggalkan dunia." timpal ibunya, seraya tersenyum lembut, Laksana hanya mengangguk saja.

Maka, Laksana menangkup dua bunga layu peninggalan mereka, memeluk mereka erat merasakan sisa-sisa kehangatan. "Ayah, ibu, hiks... Jangan tinggalin Aksa, Aksa akan jadi anak baik, kita bareng lagi ya?"

***

Kereta berhenti di satu stasiun. Sebuah desa pinggiran, bukan tujuan mereka sih. Tapi entah kenapa Byakta tanpa sadar melangkah ke peron, setelah melihat anak lelaki sepantarannya sedang mengais tanah dengan tangan kosong.

Lokasinya sedikit jauh dari stasiun. Apalagi Byakta masih menenteng koper talinya. "Gila! Lain kali mending aku lompat dari jendela daripada jalan muter balik begini!" Byakta misuh-misuh sendiri sepanjang perjalanan, sekalian menghina kakaknya karena tak bisa membeli kelas bisnis dan berakhir di gerbong terbelakang.

Mulai tampaklah pengais tanah di balik pohon. "Kau hobi menyakiti diri ya?" Byakta bicara lantang. Lelaki itu menoleh bingung, lagipula siapa lagi selain dirinya di dalam hutan sebelah rel.

Byakta melirik bunga layu di samping Laksana, kemudian tangan-tangan kecil Laksana yang kotor dan berdarah. "Haa..." Byakta melepas kopernya dan menghampiri anak itu-ikut mengais tanah hingga kereta pergi.

Uluran tangan terbuka tepat berada di depan Laksana. "Aksa tidak punya uang." Laksana berujar polos. "Yah, aku Byakta Pradipta." Byakta berkata tidak nyambung. "Sama Aksa?" Laksana memiringkan kepala. "Sama setan!" Byakta berseru kesal.

"Bukannya aku bau dan hina?"

Sunyi.

Baru kali ini ada anak yang sedemikian rupa. Walau, Byakta anak berandal, tapi dia tidak suka diskriminasi.

"Hidungku gak bisa cium bau!" ucap Byakta asal.

"Bohong!"

"T-tidak kok!" Byakta buang muka.

"Hahaha!" Laksana terbahak puas, yang ditertawakan malah menutup wajah karena malu.

***

Seorang remaja lelaki berlari ke arah Laksana. Kemudian, "Aksa! Ayo ke taman-hutan lagi!" Laksana sedikit kesal, balik berteriak, "namanya Eijaz!" Terlihat di sana remaja lelaki itu-Byakta-menatapnya bosan.

Sudah 8 tahun lalu saat Byakta turun dari kereta. Entah bagaimana ceritanya Byakta berakhir di panti asuhan. Hari ini Byakta 16 tahun, berarti mereka akan ke taman Eijaz seharian.

"Hei, sudah 8 tahun ya?" Byakta menatap langit, mereka berjalan bersisihan. "Sejak orangtuamu dibunuh warga desa hanya gara-gara lambang bungamu Anyelir Kuning." Byakta berguman pelan. "Lambang penghinaan." jawab Laksana dengan arti bunganya. "Kau jago bertahan hidup." ujar Byakta bangga.

Jalan setapak, mereka berjalan di atasnya. Hamparan bunga sangat luas, mereka indah dipandang mata. "Bagus banget!" mata Byakta berbinar. Walau, seringkali mereka ke sana.

Langit mempertontonkan senja, sejenak sebelum malam tiba. "Ta, terima kasih sudah menemukanku." Laksana menatap langit berbintang. "Tentu saja," jawab Byakta santai.

"Dan mereka hidup bahagia selamanya." pria itu mengucapkan finis. Bangkit berdiri menghampiri putrinya yang hendak protes. "Kok cuman dikit? Mana 8 tahun itu?!" ujar putrinya kesal. Sang pria mengecup dahi mengerut putrinya. "Dia tidak suka diceritakan, sayang." pria itu tersenyum lembut seraya berjalan ke luar pintu.

"Itu sih sama saja diceritakan, bodoh." Byakta menepuk jidat. Pria itu, Laksana, terkekeh. Menolehkan kepala berkata ke sosok hendak memudar itu, "Ta, terima kasih sudah membantuku mendapat kebahagiaan. Selamat tinggal-" Laksana tersenyum pilu memandang sahabatnya yang menghilang. "-halusinasiku." sambungnya.

Ya, Byakta hanyalah teman khayalannya yang sudah berhasil menemukan kebahagiaan Laksana.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Anyelir KuningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang