1

261 28 18
                                    

Karaker milik diri mereka sendiri dan Tuhan
Cerita punya kejupanggang
Tidak ada keuntungan komersil dalam pembuatan fanfiksi kecuali kepuasan batin
Jika ada yang dirasa memplagiasi cerita ini nanti, bisa bilang saya, bakal saya tampol online wkkw
btw saya nulis buat cari temen hype, kalau ada yg mau hype sini saya ga gigit wkwk


Bukanlah hal yang biasa melihat Ten termenung, duduk di pojok ruang dan menopang dagu. Atensi yang lebih muda sepenuhnya berada pada gerimis yang mengotori kaca jendela.

Sejujurnya, bukan sekali dua kali Johnny melihat kekasihnya begini. Namun, untuk kali ini, ada perasaan yang berbeda. Suasana kali ini ... begitu membingungkan. Johnny bisa merasakan dari kejauhan bahwa kekasihnya sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.

Harusnya, Johnny menghindar saja. Akan lebih baik jika ia membiarkan Ten menyendiri dan menyelesaikan urusannya. Sayang hatinya menolak, padahal tahu kalau mood Ten kalau sedang jelek bisa meluluhlantakkan dunia.

Oke, lebay. Tapi anggap saja itu gambaran besar jika Ten sedang bad mood.

Akhirnya, pemuda berambut sebahu itu mendekati kekasihnya perlahan. Ten yang menyadari kekasihnya duduk di sampingnya kini menyandarkan kepalanya di bahu lebar Johnny.

"Ada apa?" tanya Johnny sembari memainkan rambut Ten lembut, mencoba mengusir gelisah yang masih bersarang dalam hati kekasihnya.

Ten sendiri menikmati helaian rambutnya yang dibelai penuh sayang. Cukup lama ia memejamkan matanya dan merapatkan diri mendekat pada Johnny. Setelah dirasa cukup, Ten membuka mata, melirik ke atas di mana Johnny tersenyum hangat.

Oh, Tuhan, betapa bahagianya Ten memiliki Johnny.

Ten lalu melepaskan diri, wajah tertekuk kembali muncul. "Sejujurnya ... menurutku ini hanya hal yang sepele."

Alis Johnny bertaut, meski begitu air wajahnya dengan cepat berubah. Ia tak ingin membuat Ten bertambah bebannya. "Masalah sepele atau tidak, itu tetap saja masalah. Meski begitu, aku yakin kaubisa mengatasinya."

Kini, Ten meremas helai hitamnya frustrasi. Napasnya ia embuskan kuat-kuat. "Bukan masalahku, sih, sebenarnya ... tapi tuh, ughhhhh, bikin gemasss," jemari Ten mengudara, seolah meremas sesuatu yang tidak nyata. Sebagai seorang perfectionist, Ten terkadang suka sekali berpikir lebih rumit dari siapapun. Terkadang, Johnny sendiri tidak mengerti apa yang ada dalam tempurung kepala kekasihnya.

"Kalau bukan masalahmu, harusnya kau tidak perlu memikirkannya, Love."

"Harusnya begitu," ucap Ten dengan nada setuju, meski begitu wajahnya tetap saja murung. "Tapi tuh ... aku gemas, Babe. Sumpah! Winwin tuh ... ugh ...."

Kini mata Johnny berkilat penuh penasaran. "Kenapa dengan adikmu?"

"Dia tuh kayak orang bodoh," Johnny terkejut karena baru pertama kali ini Ten mengatai adiknya seperti itu. "Bagaimana Kun bisa peka kalau pendekatannya buruk begitu."

Hah?

Hah? Bagaimana?

Apa maksudnya pendekatan? Winwin? Kun?

Sebentar, pembicaraan ini mengarah ke mana?

Sadar dengan kebingungan kekasihnya, Ten tertawa kecil. "Kaget, ya? Iya, adikku, Winwin, menyukai sahabat kita yang ketidakpekaannya setebal Tembok Berlin."

Johnny merasa dunia berputar begitu cepat. Kenapa rasanya mengejutkan sekali?

"Tapi dia tidak terlihat menyukai Kun?" tanya Johnny pada akhirnya, senang ketika bisa menata pikiran dan bisa bertanya dengan benar. Karena, hei! Selama sepuluh tahun berteman, ia sama sekali tak memperlihatkan sisi itu.

Malaikat CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang